Setelah kehilangan anaknya dan bertahun-tahun hidup dalam bayang-bayang penghinaan dari suami serta keluarganya, Amira memilih meninggalkan masa lalu yang penuh luka.
Dalam kesendirian yang terlunta-lunta, ia menemukan harapan baru sebagai ibu susu bagi bayi milik bukan orang sembarangan.
Di sana-lah kisah Amira membuang kelemahan di mulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pemberhentian Kerja
Mia kesal bukan main. Gara-gara Fitri yang terlalu polos, semua jadi runyam. Kenapa juga harus ngaku kalau semua itu atas suruhan Mia? Padahal kalau Fitri sedikit saja pintar menyimpan rahasia, masalahnya tidak bakal muncul lagi ke permukaan. Kasusnya sebenarnya sudah selesai, hukumannya pun sudah dijatuhkan ke Amira dan Fitri. Tapi karena pengakuan itu, nama Mia ikut terseret lagi. Ribet sendiri jadinya.
Di tengah perundungan Mia terhadap Fitri , Amira datang menghampiri mereka berdua. Lebih tepatnya Amira ingin bicara kepada Mia dari hati ke hati.
"Masalah ini gak usah diperpanjang lagi, Mia. Kasihan Mbak Fitri yang terus-terusan kamu salahkan. Aku gak mau nyari musuh. Aku cuma berharap kamu bisa belajar untuk gak iri sama aku. Itu saja sudah cukup."
Mia mendengus. "Ngomong mah gampang, Amira. Iri hati itu sulit untuk diredam, dan kamu itu seperti tidak pernah iri saja kepada orang lain. Tahu kan rasanya gimana? Agak nyelak disini." Sambil nunjuk hati. "Mulut bisa bilang 'aku gak apa-apa', terus bilang senang lah melihat dia senang, tapi dihati rasanya nyelekit, itu sih namanya munafik ya. Itu yang aku gak suka karena bagian kemunafikan. Kalau aku sih, setidaknya aku jujur sama perasaanku."
Amira menghela napas panjang sebelum akhirnya bicara.
"Hidupku gak seindah yang kamu kira, Mia. Aku pernah iri? Pernah banget. Aku iri kepada anak-anak yang masih punya orang tua. Ada ibu tempat mengadu, ada bapak tempat bercanda. Aku gak punya itu semua."
Suasana mendadak hening.
Amira melanjutkan, "Dari rasa iri ku itu, lalu aku berharap, saat menikah nanti, aku bisa dapetin kasih sayang itu dari keluarga suamiku. Tapi yang aku dapat malah kebalikannya. Keluarga yang lebih mirip neraka. Penuh caci maki, hinaan, dan tekanan."
Mia akhirnya bertanya pelan, "Terus kamu gimana waktu itu?"
Amira tersenyum miris. "Aku bodoh. Karena kupikir, cuma mereka satu-satunya keluargaku. Jadi aku tahan semuanya. Aku telan semua luka, karena aku pikir itu bentuk peduli mereka biar aku jadi lebih kuat. Bahkan ketika sahabatku bilang keluarga toxic, aku tetap bela mereka. Sampai tiba waktunya anakku meninggal, disitulah aku baru sadar."
Mata Amira tampak berkaca-kaca, tapi nadanya tetap tenang. "Kematian anakku membuka mataku. Aku gak bisa terus hidup dalam keluarga toxic macam mereka." Persetan dengan cinta pada Ardi. Cinta itu udah mati bahkan sebelum perceraian terjadi. Persetan dengan impian punya keluarga utuh. Buat apa utuh kalau justru bikin hati tambah perih. Amira melanjutkan dalam hati.
Mia masih terdiam, terjebak antara rasa bersalah dan bingung harus berkata apa.
Lalu Amira menatapnya lurus-lurus. "Jadi sekarang, coba kamu bilang, bagian mana dari hidupku yang bikin orang-orang iri? Jangan memupuk rasa iri hati, sebab kisah hidup orang lain berbeda-beda, Mia."
Sedikit demi sedikit, potongan kisah hidup Amira yang dibeberkan tadi mulai menggoyahkan Mia. Otaknya yang selama ini bersawang, penuh prasangka dan amarah perlahan-lahan mulai digunakan sebagaimana mestinya.
Namun, sebelum percakapan mereka bisa berlanjut lebih jauh, datanglah kabar pemanggilan untuk Mia. Seperti biasa, ia diminta masuk ke ruangan Pak Genta. Tapi kali ini suasananya berbeda. Tanpa banyak basa-basi, Mia diberitahu kalau dia telah diberhentikan bekerja.
Kabar itu mengejutkan, tapi bukan hanya Mia yang menerima nasib. Dua orang lainnya pun mendapat keputusan serupa. Bedanya, mereka hanya dimutasi, dipindahkan kembali ke perusahaan sebagai staf, seperti posisi mereka sebelum bekerja di rumah megah itu. Kedua orang itu adalah bagian dari tim pengasuhan dan perawatan Tuan Kecil.
Mengapa mereka diperlakukan berbeda? Belum ada yang tahu pasti. Tapi para pekerja lama di rumah itu sudah paham betul, keputusan Tuan di rumah itu selalu datang lebih dulu, alasannya baru dimengerti beberapa hari kemudian.
Yang pahit bagi Mia, dia diminta pergi hari itu juga. Tanpa pamitan, tanpa diberi kesempatan menjelaskan apapun. Semua harus terjadi dalam senyap. Itu yang diminta Pak Genta.
Sementara dua orang lainnya masih diberi waktu beberapa hari untuk menyelesaikan tugas mereka.
Yang lebih menyedihkan lagi, Amira tidak tahu apa-apa. Ia benar-benar menyangka semuanya berjalan baik-baik saja. Bahkan Ika, yang biasanya paling cerewet soal kabar di rumah, memilih bungkam. Tidak ada satu kata pun ia ucapkan pada Amira tentang apa yang terjadi.
Waktu itu, Amira sedang fokus menjalani hukuman yang jujur saja terasa aneh dan membingungkan baginya. Saking anehnya, ia bahkan tidak berani untuk menjelaskan kepada siapa pun. Kalau ada yang bertanya, ia hanya menjawab singkat, "Dipotonng gaji." Padahal kenyataannya jauh berbeda.
Hukumannya adalah, ia diminta menghabiskan seluruh uang yang masuk ke rekeningnya saat vonis dijatuhkan. Harus habis, tidak boleh ada sisa, juga tidak boleh ditabung atau disisihkan semacam dipindahkan ke rekening lain. Sudah jelas itu artinya uang tersebut benar-benar harus di pakai tapi bukan dalam bentuk investasi.
Amira sempat mengira jumlahnya kecil, mungkin hanya sebatas nominal satu bulan gaji. Tapi begitu ia membuka isi saldonya dan melihat nominal yang masuk, ia terdiam lama, terkejut bukan main. Angka itu besar, sebesar cicilan mobil selama lima tahun.
Yang lebih membuatnya bingung lagi, ternyata vonis hukuman itu bukan gabungan antara dia dan Fitri, seperti yang sempat ia kira. Mereka dihukum secara terpisah, masing-masing dengan waktu dan cara yang berbeda. Tidak ada ada yang tahu satu sama lain tentang hukuman tersebut.
Awalnya, Amira kebingungan. Uang sebanyak itu mau diapakan? Perintahnya jelas harus dihabiskan, tidak boleh tersisa. Tapi mau dipakai untuk apa dia masih tidak tahu.
Ia sempat duduk lama di depan layar HPnya, membuka aplikasi belanja, menatap angka di rekening, lalu menutupnya lagi. Bingung sekali.
Kenapa nggak punya duit bingung, punya duit terlalu banyak juga jadi bingung?
Sampai suatu ketika, ia teringat ucapan Bi Nunik dengan hinaannya yang masih terngiang-ngiang di kepala sewaktu bersinggungan di alun-alun.
Sepertinya aku tahu harus ngapain. Amira tersenyum cerah.
...****...
Ardi dan Lisa akhirnya resmi menikah. Setelah sekian lama dibujuk, Lisa pun setuju untuk tinggal di rumah Ardi. Namun, keputusan itu tidak berlangsung lama. Sesekali Lisa pulang ke rumah tanpa kabar. Pokoknya wanita itu berlaku seenaknya dia saja.
Selama tinggal di rumah Ardi, Lisa sering membuat kehebohan. Suatu hari, dia mengangkut semua barang milik Shinta dan suaminya ke ruang tengah. Semua orang di rumah itu terkejut, tidak percaya dengan yang mereka lihat.
"Ada apa ini, adik ipar?" tanya Shinta bingung.
"Udah lama numpang, mestinya kamu balik aja ke rumah mu sendiri." Tidak hanya itu, Lisa juga menagih utang Shinta, hutang lama saat membangun rumah.
"Sekalian bayar hutangnya ke Mas Ardi. Hutang kok tidak dibayar-bayar!"
Shinta tertegun, tidak percaya dengan ucapan adik iparnya.
"Lho, kamu kenapa sih, Lis? Ini kakak iparmu, lho. Kamu lagi ngelindur ya? Atau jangan-jangan kamu lagi mimpi... Nggak mungkin kamu bersikap seperti ini."
Lisa mendengus. "Ngelindur apanya. Ini beneran. Lagian, kamu udah berumah tangga, masa masih jadi benalu aja? Suruh suami kamu cari duit lah, jangan bisanya minta terus!"
Shinta langsung mengadu ke ibunya Ardi. "Bu, kok Lisa gitu sih?" tanyanya setengah panik.
Ibunya Ardi hanya bisa geleng-geleng kepala. Ia pun bingung dan heran melihat perubahan sikap menantu kesayangannya itu.
.
.
Bersambung.
Terlena dengan bab ini, karena ikut merasakan kehilangan seperti Arga.
Sehingga ia tahu, mana yang tulus mana yang modus