Aku adalah seorang gadis desa yang dijodohkan oleh orang tuaku dengan seorang duda dari sebuah kota. dia mempunyai seorang anak perempuan yang memasuki usia 5 tahun. dia seorang laki-laki yang bahkan aku tidak tahu apa isi di hatinya. aku tidak mencintainya dia pun begitu. awal menikah rumah tangga kami sangat dingin, kami tinggal satu atap tapi hidup seperti orang asing dia yang hanya sibuk dengan pekerjaannya dan aku sibuk dengan berusaha untuk menjadi istri dan ibu yang baik untuk anak perempuannya. akan tetapi semua itu perlahan berubah ketika aku mulai mencintainya, namun pertanyaannya apakah dia juga mencintaiku. atau aku hanya jatuh cinta sendirian, ketika sahabat masa lalu suamiku hadir dengan alasan ingin bertemu anak sambungku, ternyata itu hanya alasan saja untuk mendekati suamiku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia greyson, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14
Hari-hari berlalu dengan cepatnya, dan dengan kehangat yang Amira rasakan dirumah ini, dia sudah merasakan kebahagiaan di rumah ini, bukan kesepian lagi, melainkan hidup dengan damai dan tenang.
Malam itu, rumah terasa lebih tenang dari biasanya. Maira sudah tidur lebih awal karena kelelahan setelah bermain seharian. Amira baru saja selesai menata dapur ketika suara langkah kaki Arif terdengar di belakangnya.
“Mira…”
Amira menoleh pelan. Arif berdiri di ambang pintu dapur, matanya menatap lembut namun dalam.
“Ada yang bisa aku bantu, Mas?”
Arif menggeleng pelan, lalu menghampirinya. “Aku cuma pengen ngomong… kalau kamu udah cukup lama jadi istri yang sabar. Dan malam ini, kalau kamu nggak keberatan… aku ingin meminta hakku sebagai suami.”
Amira terdiam, jantungnya berdebar cepat. Tapi bukan karena takut, melainkan karena kehangatan dan keberanian yang perlahan menjalar di antara mereka.
Dia menatap Arif dalam, lalu berkata pelan, “Aku sudah jadi istrimu, Mas. Sejak lama. Tapi malam ini… akhirnya aku juga bisa merasa jadi istri yang sesungguhnya.”
Arif mengulurkan tangan, dan Amira menyambutnya. Tak perlu banyak kata karena malam itu, mereka tak lagi terikat karena perjodohan. Mereka menyatu karena hati yang mulai saling percaya.
Setelah semua keheningan dan perasaan yang tak lagi ditahan, mereka berbaring berdampingan. Tak ada jarak seperti malam-malam sebelumnya. Hanya ketenangan, dan desiran napas yang terdengar lebih damai dari biasanya.
Amira menoleh, menatap wajah Arif yang kini terlihat lebih tenang. “Mas…”
“Iya Mira?"
“Terima kasih karna kamu sudah mulai untuk menerima kehadiran aku.”
Arif menggenggam jemarinya. “Aku yang harusnya bilang terima kasih. Kamu nggak pernah nyerah, bahkan saat aku terus menutup pintu buat kamu, kamu tetap berusaha untuk memperjuangkannya agar hubungan kita semakin baik.
Amira tersenyum kecil. “Aku nggak tahu bisa sekuat itu juga, Mas. Tapi setiap kali lihat Maira dan kamu rasanya aku tahu, aku memang ditakdirkan untuk berada di sini bersama kalian berdua."
Arif menatapnya dalam. “Dulu aku pernah takut membuka hati lagi, Mira. Karena aku pikir, kalau aku mencintai orang baru, itu sama saja melupakan Rani. Tapi malam ini, aku sadar… cinta itu nggak terbagi. Ia tumbuh dengan bentuk yang berbeda.”
Amira menahan haru, lalu menyentuh pipi Arif perlahan.
“Dan kamu…” Arif melanjutkan dengan suara yang rendah, “bentuk cinta yang baru itu. Yang aku pelajari dengan perlahan. Tapi pasti.”
Malam itu bukan tentang hasrat. Tapi tentang dua hati yang akhirnya menyatu dengan kesadaran, keikhlasan, dan cinta yang mulai tumbuh dari luka yang perlahan sembuh.
Amira menyandarkan kepalanya di dada bidang milik Arif, mendengar detak jantungnya yang tenang. Tidak ada kata, hanya kehadiran. Pelukan Arif terasa berbeda malam ini. Lebih tulus, lebih melindungi. Bukan karena kewajiban, tapi karena ingin.
“Aku sempat nggak percaya bisa sampai di titik ini, Mas,” bisik Amira tanpa mengangkat kepala.
Arif membelai pelan rambutnya. “Aku juga. Tapi aku bersyukur kita nggak saling menyerah.”
Hening sejenak.
Amira kemudian berkata lirih, “Malam ini, rasanya aku benar-benar jadi istrimu.”
Arif mengencangkan pelukannya. “Karena kamu memang sudah jadi bagian dari aku, Mira. Dari hidupku. Dari rumah ini.”
“Kalau aku tahu begini rasanya dicintai pelan-pelan,” Amira menghela napas lembut, “aku nggak akan pernah takut menunggu.”
Arif menunduk, mengecup keningnya pelan. “Terima kasih karena sudah menunggu. Dan maaf karena membuatmu menunggu selama itu.”
Malam itu, mereka tidak hanya menyatu secara fisik. Tapi juga menyatukan rasa, menyambungkan hati yang dulu dipisahkan oleh jarak waktu dan bayang-bayang masa lalu.
Dan ketika mereka tertidur, untuk pertama kalinya sejak pernikahan itu terjadi tak ada rasa sepi di antara mereka.
****************************************
Cahaya pagi menyelinap lembut lewat celah jendela. Suara burung terdengar sangat berisik dari luar, menandakan hari telah berganti.
Amira yang terbiasa terbangun lebih dulu. Ia menoleh ke sisi tempat tidur dan mendapati Arif masih terlelap, wajahnya terlihat damai. Hatinya terasa hangat untuk pertama kalinya sejak menikah, ia merasa benar-benar diterima baik oleh Arif.
Ia bangkit perlahan, lalu menuju dapur. Seperti biasa, ia menyiapkan sarapan sederhana: nasi goreng, telur dadar, dan teh manis hangat. Tapi ada semangat baru dalam setiap gerakannya.
Tak lama kemudian, Arif masuk ke dapur dengan pakaian santai. “Wangi banget,” katanya sambil tersenyum kecil.
Amira menoleh, sedikit salah tingkah. “Mas udah bangun? Mau sarapan?”
Arif menghampirinya, mengambil dua gelas dan membantu menuangkan teh. “Boleh. Tapi hari ini, aku bantu ya.”
Amira terdiam sejenak, lalu tersenyum. “Tumben…”
“Kan sekarang udah resmi jadi pasangan yang benar-benar jalanin hidup bareng. Jadi ya… aku mulai dari hal kecil dulu.”
Suasana itu begitu hangat. Tak lama, suara langkah kecil terdengar.
“Maira lapar…” suara Maira terdengar dari arah tangga, membuat keduanya menoleh sambil tertawa kecil.
“Pas banget, sayang, mama udah siapin sarapan,” kata Amira sambil menuntun Maira ke meja makan.
Mereka duduk bertiga di meja, menikmati sarapan sederhana dengan tawa kecil dan percakapan ringan. Tak ada lagi kecanggungan. Tak ada lagi jarak.
Arif memperhatikan keduanya, lalu tanpa sadar berkata, “Aku bersyukur akhirnya rumah ini beneran jadi rumah. Karena kalian.”
Amira menoleh, matanya berkaca-kaca. Tapi ia hanya menjawab dengan satu senyuman yang penuh makna.
Dan pagi itu, bukan hanya sekadar pagi biasa itu adalah awal dari kehidupan yang mulai terasa utuh.
Setelah sarapan, Amira dan Arif mengantar Maira ke pintu depan. Maira tampak ceria, mengenakan seragam sekolah barunya. Wajahnya penuh semangat, seakan sekolah bukan hanya tempat belajar, tetapi juga tempat untuk semakin dekat dengan Papa dan Mama Sambungya itu.
“Jangan lupa pakai masker ya, Nak. Ibu tunggu di rumah nanti, kalau sudah pulang,” ujar Amira sambil memastikan tas sekolah Maira sudah terisi dengan benar.
Maira mengangguk dan memeluk Amira erat. “Iya, Ma. Terima kasih ya, udah nganterin aku ke sekolah.”
Arif yang berdiri di samping mereka tersenyum melihat kedekatan itu. “Hati-hati di jalan, Maira. Mama juga jaga diri baik-baik.”
Maira mengangguk, lalu berlari kecil ke arah kelasnya. Amira dan Arif kemudian pulang dengan langkah tenang. Mereka berdua saling bertukar pandang, seolah tak ingin kehilangan momen ini.
Sebelum masuk ke kelasnya, Maira berhenti sejenak dan menoleh ke arah mereka. “Mama, Papa, aku sayang kalian,” kata Maira dengan wajah ceria, sambil melambai-lambai.
Amira dan Arif saling berpandangan, hati mereka terasa hangat. “Kami juga sayang kamu, Maira,” jawab Amira, suaranya sedikit bergetar.
Arif menambahkan, “Semangat di sekolah, Nak.”