Istriku menganut childfree sehingga dia tidak mau jika kami punya anak. Namun tubuhnya tidak cocok dengan kb jenis apapun sehingga akulah yang harus berkorban.
Tidak apa, karena begitu mencintainya aku rela menjalani vasektomi. Tapi setelah pengorbananku yang begitu besar, ternyata dia selingkuh sampai hamil. Lalu dia meninggalkanku dalam keterpurukan. Lantas, wanita mana lagi yang harus aku percaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fitTri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pembayaran Hutang
🌸
🌸
Pagi-pagi sekali villa sudah terang benderang. Kegiatan di tempat itu pun sudah dimulai setelah selesai berkumandangnya adzan subuh, dan suasananya kali ini terasa berbeda.
Bangunan bertingkat dua itu tampak lebih hidup meski kabut masih menyelimuti di kawasan perbukitan tersebut, dan Alendra terpaksa bangun karena mendengar suara riang di lantai bawah.
Asyla, yang tampak sibuk di dapur dengan aroma masakan menguar di udara. Sementara Tirta duduk di lantai beralaskan kain yang entah wanita itu temukan di mana. Asyik dengan beberapa mangkok dan gelas plastik yang sesekali dia pukul. Menimbulkan kegaduhan dan tawa saat suara nyaring timbul karenanya. Ditambah wanita itu yang memang terus berceloteh mengajak putranya berbicara.
“Jam segini sudah masak, memangnya mau ke mana?” Alendra yang menuruni tangga dengan penampilannya yang masih berantakan khas bangun tidur. Rambutnya acak-acakan dan dia sambil mengucak kedua matanya.
“Eh? Bapak sudah bangun? Berisik ya? Maaf.” Asyla memutar tubuh. Rambut digulung, dan dia mengenakan kaos oblong putih miliknya beserta celana pendek kesayangan yang tampak kedodoran di tubuhnya yang tidak terlalu besar itu.
Kenapa juga dia pakai baju yang itu? Batin Alendra.
“Kalau di rumah saya terbiasa kerja jam segini, Pak. Maaf kalau berisik.” ucap Asyla lagi, lalu dia kembali pada wajan di mana masakan sedang diolah. Dia begitu cekatan seolah memang itulah keahliannya. Tubuhnya yang memang semampai bergerak-gerak mengikuti aktifitas tersebut.
***
“Hati-hati, Pak. Kopinya masih panas.” Seperti biasa kalimat itu dia ucapkan saat menyuguhkan kopi untuk sang majikan. Kopi hitam dicampur kental manis yang aromanya segera menguar memenuhi indra penciuman Alendra.
Pria itu dengan tidak sabar segera menyesapnya meski sudah diperingatkan, sehingga dia terkejut saat cairan beraroma khas yang masih panas tersebut menyentuh mulutnya.
“Ppfftthh!!” Segera saja, dia menjauhkan cangkir kopi yang tengah disesapnya itu, dan isi di dalamnya tersembur keluar membasahi dagu dan sebagian pakaian yang dikenakannya.
“Bapak!! Sudah saya bilang hati-hati, kopinya panas!!” Dan Asyla dengan cepat bereaksi. Dia merebut cangkir kopi dari tangan Alendra lalu meletakkannya di meja. Ditariknya beberapa helai tisu kemudian digunakannya untuk membersihkan wajah pria itu.
“Kena ke sini, nggak? Atau ke sini? Bapak sih nggak dengerin saya!!” Wanita itu meracau sambil menyeka bibir, dagu juga sebagian leher Alendra. Dia bahkan hampir saja membersikan pakaiannya yang terkena noda kopi jika saja pria itu tak menghentikannya.
“Cukup!! Saya … Tidak apa-apa.” katanya, yang menggenggam jemari Asyla.
Seketika pandangan mereka bersirobok yang entah mengapa menghadirkan perasaan asing di hati keduanya. Saat rasa hangat dari tangan menjalar ke segala arah.
“Umm … Maaf, Pak.” Asyla bahkan mendadak salah tingkah mendapatkan tatapan seperti itu sehingga dia segera menarik tangannya.
“Saya bersihkan dulu ini, apa Bapak mau sarapan sekarang?” Buru-buru dia menarik cangkir kopi untuk dibawanya ke tempat cuci sekaligus menghindari sang majikan. Namun pria itu malah menghentikannya.
“Kembalikan kopinya, Syl.” pintanya.
“Saya buatkan lagi, Pak. Ini sudah nggak bagus.”
“Tidak apa-apa, masih bisa diminum.”
“Ngak, Pak. Ini bekas.”
“Iya, bekas saya sendiri, tidak apa-apa.”
“Tapi—”
“Asyla!” Lagi, tatapan mereka bertemu dan membuat keduanya tertegun untuk beberapa saat. “Dari kemarin saya nggak minum kopi, jadi biarkanlah hari ini saya menikmatinya seperti biasa.” Lalu Alendra benar-benar merebut kopinya dari tangan Asyla.
“Eee ….”
“Sekarang, siapkanlah sarapannya. Bukankah kita mau ke rumah mertuamu?” Lalu, kali ini dengan hati-hati Alendra menyesap kopinya. “Ini enak, Syl. Kemarin saya bikin nggak seperti ini.” Kemudian dia mengalihkan topik pembicaraan.
Asyla mundur, lalu masih dengan salah tingkah dia kembali ke area masak. Mengambil peralatan makan dan sebuah wadah berisi nasi. Dia meletakkannya di meja kemudian mengambil dua wadah berisi sayur dan ayam yang dimasak dengan bumbu pekat.
“Bahan makanan sudah habis, Pak. Sepertinya kita harus belanja. Eh, maksudnya saya yang harus belanja.”
Alendra hanya mendengarkan.
“Beras juga tinggal sedikit, bumbu-bumbu hanya ini yang tersisa. Dan gas juga—”
“Iya, nanti kita belanja.”
Asyla terdiam.
“Kamu kalau belanja suka ke mana? Apa di sini ada tukang sayur keliling?” tanya pria itu seraya meletakkan cangkir kopinya yang sudah habis. “Atau ke pasar? Apa dekat?” tanya nya lagi yang kembali menatap Asyla.
“Um … Kemarin-kemarin di tukang sayur dekat rumah sih, tapi sekarang kayaknya ….”
“Mungkin ke pasar saja, ya? Nanti siang deh.”
“Hah?”
“Kebetulan hari Sabtu, saya ‘kan libur. Jadi sepertinya bisa antar kamu ke pasar.”
“Masa Bapak antar saya ke pasar? Nanti apa kata orang?”
“Memangnya kenapa?”
“Ya masa majikan antar pembantunya ke pasar?”
Alendra terkekeh. “Dulu waktu saya masih bujangan sering kok disuruh mama antar asisten rumah tangga ke pasar. Apa salahnya?”
“Masa?”
“Iya. Katanya biar saya tau kalau hidup itu bukan hanya seputar belajar dan bekerja. Tapi ada siklus lain yang berputar di sekitar kita.”
Kini Asyla yang terdiam.
“Mama saya keras soal pelajaran hidup. Beliau menuntut anak-anaknya untuk bisa melakukan banyak hal. Jadi, mengantar kamu ke pasar bukanlah hal baru bagi saya.”
“Baik, Pak.” Asyla menanggapi, setelahnya seperti biasa dia mengisi piring pria itu, lalu kembali ke area masak. Meraup tubuh mungil putranya kemudian meninggalkan tempat itu untuk membiarkan Alendra memulai kegiatan sarapannya.
***
“Nanti, apapun yang terjadi di dalam sana, kamu menurut saja apa kata saya, ya?” Dua orang itu kini telah tiba di depan rumah Maysaroh.
“Memangnya apa yang mau Bapak lakukan?”
“Tidak ada. Hanya saja, kamu tidak usah menanggapi apapun. Serahkan semuanya kepada saya. Oke?”
Asyla menatap pria di sampingnya. Kenapa dia mati-matian membelanya? Mereka bahkan baru saja bertemu sebulan yang lalu dan berinteraksi karena urusan pekerjaan.
“Padahal Bapak nggak usah terlalu begini, Pak.”
“Ssstt! Dari kemarin itu terus yang kamu bilang. Bisa diam tidak?”
“Masalahnya saya jadi nggak enak sama Bapak.”
“Kenapa merasa nggak enak? Saya di sini hanya karena rasa kemanusiaan. Kalau nggak ada itu, mana mungkin saya mau menolong kamu?”
“Bapak kasihan sama saya?”
“Ya iyalah, apa lagi? Kalau kemarin saya membiarkan kamu menikah dengan lelaki tua itu, saya yakin hidup kamu akan tersiksa. Mungkin selamanya. Memangnya kamu mau seperti itu?”
Asyla menggelengkan kepala.
“Makanya. Sekarang ini saya sedang mencoba membebaskan kamu, Asyla.”
“Tapi gimana cara saya membalasnya nanti? Kayaknya berat, Pak.”
Alendra tertawa pelan. “Jangan dulu pikirkan soal itu. Bukankah kamu mau terus bekerja sama saya?”
“Memangnya bisa begitu?”
“Tentu saja bisa.”
“Nanti gaji saya dipotong untuk bayar hutang, Pak?”
“Bukankah kemarin kamu sendiri yang bilang begitu?” Alendra mengingatkan kembali ucapan Asyla semalam. “Mungkin kamu akan bekerja selamanya dengan saya.”
Asyla tetap menatapnya yang penuh keyakinan. Lalu di saat yang bersamaan pintu rumah Maysaroh terbuka, dan sosok mertuanya yang muncul dari dalam.
“Saya pikir kamu bohong!” Perempuan itu melangkah melewati pintu, dan dengan pongahnya menatap Alendra juga Asyla yang baru saja tiba.
“Laki-laki yang dipegang itu janji dan ucapannya, Bu. Jadi saya tidak mungkin berbohong.”
“Ya sudah, mana uangnya?” Maysaroh menengadahkan tangannya, meminta apa yang Alendra janjikan semalam.
“Langsung saja begitu? Tanpa mukadimah dulu atau apa?”
“Alah, saya tidak suka basa-basi. Lagipula, biar semuanya cepat selesai!!”
Alendra menggelengkan kepala, masih tidak percaya ada manusia macam perempuan ini.
“Cepat lah!”
“Sabar, Bu. Sebelumnya saya akan meminta kunci mobil lebuh dulu.”
“Tidak bisa. Serahkan uangnya, baru saya berikan kuncinya sama kamu.”
“Itu ‘kan hanya sebagai jaminan. Uangnya ada di sini.” Alendra menepuk tas selempang berwarna hitam yang sejak tadi ditentengnya. Benda itu tidak begitu besar untuk ukuran wadah di mana uang sebanyak 150 juta rupiah berada, seperti yang diminta oleh Maysaroh. Asyla bahkan merasa penasaran karena pria itu tidak mau menunjukkannya.
“Ya sudah, cepat berikan!!”
“Tunggu dulu, Bu. Biarkan Asyla mengambil pakaiannya dulu. Lagipula Saksi nya juga belum sampai.” Namun Alendra mengulur waktu.
“Saksi apa?”
“Saksi, orang yang akan menyaksikan serah terima uang dan mobil saya.”
“Alah, pakai saksi segala!”
“Agar kuat secara bukti, Bu. Saya nggak mau ada masalah di kemudian hari, apalagi untuk Asyla.” Dengan tenangnya Alendra berbicara.
“Ribet kamu ini!”
“Lebih ribet Ibu yang dengan konyolnya menjual menantu dan cucu sendiri demi uang.” Kalimat itu menohok ego Maysaroh sehingga membuat wajahnya memerah seketika. “Saya aneh saja, melihat seberapa mampu Ibu, tapi demgan teganya menyerahkan Asyla hanya karena ditawari uang. Benar-benar tidak bisa dipercaya!”
“Diam kamu! Tidak usah ikut campur. Kamu nggak tau apa-apa.”
“Ya ya ya. Dalam hal ini memang Ibu yang paling tau.”
“Jangan banyak bicara lah. Cepat selesaikan urusan ini agar saya bisa menebus tanah dari juragan Somad!” Perempuan itu mendelik. Dia masih saja merasa kesal kepad Asyla karena memilih ikut dengan pria asing itu daripada menurutinya untuk menikah dengan juragan Somad.
“Biarkan Asyla mengambil pakaiannya dulu, Bu."
"Ya sudah, sana!"
Asyla pun masuk untuk mengambil pakaiannya. Tak banyak yanh dia bawa, hanya satu ransel dan satu tas kecil milik Tirta. Dia memang tak punya banyak pakaian karena tidak mampu membeli. Hasil kerjanya selama ini hanya dinikmati untuk makan, dan sebagian diberikan kepada mertua.
"Saya juga minta kunci mobilnya dulu, Bu. Baru saya akan serahkan uangnya.” Alendra kembali berbicara setelah Asyla keluar.
“Uang dulu.”
“Kunci mobil dulu.” Ini lebih terlihat seperti negosiasi untuk penyerahan sandera dari pada proses pembayaran hutang, hingga akhirnya ada beberapa orang yang muncul.
“Kenapa seperti mau tukar sandera?” Pak Pardi yang semalam sengaja ditelepon untuk hadir pagi itu angkat bicara. Rupanya Alendra mengatakan segala hal padanya sehingga pria itu bersedia datang untuk membantu memberi solusi. Selain memang ada jadwal pulang kampung juga untuk keluarganya.
“Ibu ini ngeyel.” Alendra menggerutu seperti seorang bocah mengadu pada ayahnya. Hubungan antara sopir dan majikan di antara mereka memang begitu karena pak Pardi sudah bekerja di keluarganya sejak dia masih kecil.
“Ya memang. Baru tau ya?”
“Makanya saya panggil Bapak ke sini.”
“Keputusan yang bagus.” Mereka berdiri bersisian. Alendra di tengah, di sisi kanannya Asyla yang menggendong Tirta, lalu di kanannya ada pak Pardi, ketua Rt dan seorang kerabat yang memang diajak pula untuk menjadi saksi pada hari itu.
Alendra tidak mau ambil resiko, karena uang yang dia keluarkan untuk membantu Asyila bukanlah jumlah yang kecil. Bukan soal nominal, tapi lebih ke berjaga-jaga saja agar semuanya lebih aman untuk asisten rumah tangganya itu. Walau bagaimanapun mereka tinggal di sana yang otomatis bisa saja berinteraksi lagi suatu hari nanti.
“Untuk bayar hutang saja kamu sampai membawa satu rombongan. Takut sama saya?” ucap Maysaroh masih dengan segala keangkuhannya. Dia memang dikenal seperti itu oleh para tetangga, apalagi keluarga pak Pardi yang sudah mengenalnya sejak dulu.
“Bukan soal takut, Bu. Tapi ini hanya sebagai jaminan kalau Anda tidak akan macam-macam di kemudian hari.” Alendra mengeluarkan dua lembar kertas yang sudah disiapkan sejak semalam.
“Uang yang saya bayarkan itu nggak sedikit, jadi saya memerlukan tanda tangan Ibu sebagai bukti dan persetujuan.”
“Alah, pakai tanda tangan segala!!”
“Terserah Ibu. Kalau mau uangnya ya silahkan tanda tangan. Kalau tidak mau ya tidak apa-apa.”
“Hey, mobil kamu masih ada di sini. Bukan kah kamu bilang saya bisa menjualnya kalau kamu nggak bayar?”
“Tapi surat-suratnya ada di saya dan Ibu nggak bisa sembarang menjual. Nggak ada orang yang mau beli mobil tanpa surat. Kalau saya sih bisa beli lagi.”
Maysaroh terdiam. Benar juga apa yang lelaki itu bilang. Sepertinya dia harus menuruti apa yang dikatakan. Mudah saja, hanya tanda tangan kan? Batinnya.
“Ya sudah, cepat sini!” Akhirnya dia menyerah. Bayangan tentang uang 150 juta jika sudah di tangan telah menguasai pikirannya. Dia bisa menebus tanah sebesar 20 juta, hutang uang kepada juragan Somad yang tidak seberapa, tapi ada sisanya untuk dipakai beli perhiasan.
Uuhh, senang sekali.
“Tanda tangan saja di sini.” Alendra menunjuk bagian yang sudah ditulis nama Maysaroh dan ditempeli materai untuk ditanda tangani, dan sebelumnya dirinya sudah melakukannya juga.
Beruntung perempuan itu menandatanganinya tanpa banyak drama sehingga dengan cepat semuanya selesai.
“Sudah, mana sini uangnya!!” ucapnya lagi, seperti habis kesabaran.
Alendra tak menggubris, tetapi dia menatap pak Pardi dan dua orang di dekat mereka.
“Nah, Pak Pardi, Pak Rt dan Kang Jaja. Tolong jadi saksi ya kalau urusan ini sudah selesai. Saya membayar kepada bu Maysaroh sehingga hutang Asyla lunas mulai hari ini. Dan tolong dijaga, jika sewaktu-waktu ada masalah tolong ditindak lanjuti karena semuanya jelas sudah selesai hari ini.”
Ke tiga orang yang dimaksud pun menganggukkan kepala.
“Kunci mobil saya, Bu?” pinta Alendra kepada Maysaroh sambil menyodorkan tas selempang kepadanya. Dan dengan malas perempuan itupun melakukan hal yang sama.
“Urusan kita selesai, jadi saya permisi?” ucap Alendra kemudian.
“Tunggu, saya belum hitung uangnya. Kenapa tas nya kecil sekali? Memangnya uang 150 juta sebanyak ini?” Dia membuka tas kemudian mengeluarkan isinya.
“Hey, ini bukan 150 juta!!” Kemudian Maysaroh berteriak setelah dua gepok uang pecahan seratus ribu dia keluarkan. Tulisan di masing-masing kertas pengikatnya bahkan tertera 10 juta rupiah.
“Ini hanya 20 juta!!” teriaknya lagi, membuat Alendra berbalik.
“Memangnya siapa yang bilang akan membayar 150 juta?”
“Semalam kamu bilang begitu!!”
“Semalam saya hanya bilang akan membayar hutangnya Asyla.”
Maysaroh menatap nanar.
“Hutang dia hanya segitu, kan? Bekas operasi caesar. Selebihnya, biaya hidup dia cari sendiri. Jadi kenapa harus membebankan hutang Anda padanya?” Alendra menoleh ke arah Asyla yang tengah menatapnya, lalu dia tersenyum sambil mengedipkan sebelah mata.
“Tapi selama ini dia numpang di rumah saya!”
“Hanya numpang, bukan ngontrak. Lagipula kalau ngontrak nggak akan mungkin seharga 130 juta, kan? Memangnya harga kontrakan di kampung ini semahal itu?”
Maysaroh tampak murka. Dia hampir saja meradang kalau pak Pardi tidak maju dan berbicara.
“Suratnya sudah Eceu tanda tangani, kan? Itu sebagai bukti kalau Eceu setuju dengan pembayarannya. Bisa dibaca lagi kalau penasaran.”
Perempuan itu membaca kertas yang tadi diserahkan kepadanya. Dan ya, memang di sana tertera pembayaran yang hanya berjumlah 20 juta saja.
“Kurang ajar, kalian menipuku!!”
“Tidak menipu, Bu. Hanya melakukan hal yang benar. Hutang Asyla ‘kan memang segitu. Sebenarnya sih nggak harus dibayar karena itu salah satu kewajiban keluarga Anda untuk bertanggung jawab setelah suaminya yang anak ibu itu meninggal. Lagipula seharusnya dia punya warisan, kan? Kalaupun bukan dari hasil kerjanya, ya minimal warisan dari Ibu lah. Jadi sebenarnya Asyla nggak hutang apa-apa.” Alendra berbicara dengan mudahnya sementara Maysaroh meremat kertas di tangan.
“Jangan macam-macam, saya merekam ini dari tadi lho.” Lalu Alendra menunjukkan ponsel yang memang dalam mode merekam sejak terjadi pembicaraan itu. “Saya bisa berikan ini ke polisi dan menuntut Ibu dengan pasar pemerasan. Ditambah perdagangan manusia dan penipuan. Aksi Ibu ini seperti rentenir saja, dan itu ilegal.”
Wajah Maysaroh tampak memucat.
“Sebaiknya terima saja, Ceu. Daripada dilaporkan ke polisi. Iya nggak Pak Rt?” Pak Pardi menimpali yang semakin membuat perempuan itu tak berkutik.
“Jadi, saya permisi, Bu?” ucap Alendra yang buru-buru menjauh. Diraihnya tas berisi pakaian di tangan Asyla kemudian dia tarik wanita itu masuk ke dalam mobil. Dan setelahnya, mereka pergi meninggalkan tempat tersebut.
🌸
🌸
Ini perempuan main nyelonong masuk tempat tinggal orang aja, bok permisi kek🤦♀️
Listy ini mangkin lama mangkin ngelunjak kayaknya
Ale bukan hanya ga rela kalo Syla disuruh-suruh tapi yang pasti dia ga rela Syla dilirik laki² lain.
Kekecewaan Ale akibat pengkhianatan sedikit demi sedikit mulai terkikis dengan kehadiran, Syla dan Tirta.