Di dermaga Pantai Marina, cinta abadi Aira dan Raka menjadi warisan keluarga yang tak ternilai. Namun, ketika Ocean Lux Resorts mengancam mengubah dermaga itu menjadi resort mewah, Laut dan generasi baru, Ombak, Gelombang, Pasang, berjuang mati-matian. Kotak misterius Aira dan Raka mengungkap peta rahasia dan nama “Dian,” sosok dari masa lalu yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan. Di tengah badai, tembakan, dan pengkhianatan, mereka berlomba melawan waktu untuk menyelamatkan dermaga cinta leluhur mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Vicky Nihalani Bisri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CH - 14 : Bersama Menyambut Fajar
Langit Semarang pagi itu terlihat cerah, dengan sinar matahari pagi yang lembut menyelinap melalui celah-celah awan tipis.
Aira dan Raka berdiri di halaman sebuah gedung kecil di pusat kota, tempat acara peluncuran novel fisik Melodi Laut akan berlangsung.
Gedung itu adalah sebuah toko buku independen yang terkenal dengan suasananya yang hangat dan ramah, dengan dinding-dinding penuh rak buku dan aroma kertas yang khas.
Aira mengenakan dress midi berwarna biru laut yang elegan, rambutnya ditata rapi dengan ikat rambut sederhana, sementara Raka berdiri di sampingnya, tampak gagah dengan kemeja putih dan blazer abu-abu tipis, kameranya tergantung di leher seperti biasa.
Hari ini adalah hari besar bagi Aira, setelah berbulan-bulan bekerja keras, Melodi Laut akhirnya resmi dirilis sebagai novel fisik. Aira merasa campur aduk antara gugup dan bahagia. Dia melirik Raka, yang sedang sibuk mengatur tripod untuk mengabadikan acara ini, dan tersenyum kecil.
Kehadiran Raka di sisinya membuat semua terasa lebih ringan, pria itu telah menjadi pilar utamanya, terutama setelah mereka berhasil melewati masa sulit ketika Raka di Jakarta.
“Aira, kamu siap? Acaranya bentar lagi mulai,” tanya Raka, berjalan mendekat sambil tersenyum. Dia memegang tangan Aira, memberikan rasa tenang dengan sentuhan lembutnya.
Aira mengangguk, meskipun jantungnya masih berdegup kencang.
“Aku siap, Raka. Tapi… aku deg-degan banget. Bagaimana kalau mereka enggak suka novelku? Bagaimana kalau” Raka memotong ucapan Aira dengan lembut, tangannya menyentuh pipi Aira.
“Aira, dengerin aku. Aku tahu novelmu luar biasa. Pembacamu udah suka ceritanya di platform, dan aku yakin mereka bakal lebih suka lagi versi fisiknya. Aku di sini, ya. Kita hadapin ini bareng,” katanya, suaranya penuh keyakinan.
Aira tersenyum, merasa ada kehangatan yang menjalar di dadanya.
“Makasih, Raka. Aku… aku enggak tahu apa yang bakal aku lakuin tanpa kamu.” Acara dimulai tepat pukul 10 pagi.
Ruangan kecil di dalam toko buku itu sudah dipenuhi pengunjung, pembaca setia Aira, teman-teman dari komunitas penulis, dan beberapa wartawan lokal yang tertarik meliput peluncuran ini.
Nadia, sebagai editor Aira, membuka acara dengan sambutan singkat, memuji perjalanan Aira sebagai penulis dan bagaimana Melodi Laut menjadi karya yang begitu menyentuh hati.
Setelah itu, giliran Aira naik ke panggung kecil untuk berbicara.
Aira berdiri di depan mikrofon, tangannya sedikit gemetar saat memegang novel Melodi Laut yang sampulnya didesain oleh Raka, gambar dermaga kecil dengan siluet nelayan dan ombak yang bergerak lembut, menggunakan warna biru laut yang mendalam.
Dia menarik napas dalam-dalam, melirik Raka yang berdiri di barisan depan, tersenyum memberi semangat.
“Selamat pagi, semuanya. Terima kasih banyak sudah datang ke peluncuran novel Melodi Laut,” kata Aira, suaranya awalnya sedikit bergetar tapi perlahan menjadi lebih mantap.
“Novel ini… adalah sesuatu yang sangat berarti buat aku. Aku menulis cerita ini di saat aku sedang struggling, baik sebagai penulis maupun sebagai manusia. Aku hampir nyerah, tapi ada seseorang yang selalu ada buat aku, yang bikin aku percaya lagi sama diri aku sendiri.” Aira melirik Raka, matanya berkaca-kaca.
“Orang itu… adalah Raka. Dia enggak cuma mendukung aku, tapi juga bantu aku bikin novel ini jadi lebih hidup lewat desain cover-nya. Makanya, novel ini bukan cuma cerita tentang Pak Darma dan laut, tapi juga tentang cinta, tentang dukungan, dan tentang bagaimana kita bisa bangkit meskipun hidup penuh tantangan. Aku harap kalian bisa ngerasain emosi yang aku tuangin di sini. Terima kasih,” tutup Aira, diiringi tepuk tangan meriah dari para hadirin.
Setelah sambutan, acara dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Beberapa pembaca bertanya tentang inspirasi di balik Melodi Laut, tentang proses kreatif Aira, dan bahkan tentang rencana cerita berikutnya.
Aira menjawab dengan penuh semangat, merasa ada koneksi yang terjalin dengan pembacanya. Raka, dari barisan depan, terus mengambil foto, matanya penuh kebanggaan saat melihat Aira bersinar di panggung.
Setelah sesi tanya jawab, acara dilanjutkan dengan sesi tanda tangan. Aira duduk di meja kecil, menandatangani novel-novel yang sudah dibeli oleh pembaca, sambil sesekali mengobrol dengan mereka.
Banyak yang memuji ceritanya, mengatakan bahwa mereka menangis membaca perjuangan Pak Darma, dan Aira merasa air mata bahagia terus menggenang di matanya.
Raka berdiri di sampingnya, sesekali membantu mengatur antrean atau sekadar memberikan senyuman penyemangat.
Setelah acara selesai, Aira dan Raka memutuskan untuk merayakan dengan makan siang di sebuah warung kecil di dekat toko buku.
Mereka memesan nasi pecel dengan lauk tempe goreng dan es teh manis, duduk di meja kayu sederhana sambil menikmati suasana yang santai.
Aira menatap Raka, yang sedang asyik memakan tempe, dan tersenyum kecil.
“Raka… makasih, ya. Aku enggak bakal sampe di titik ini tanpa kamu,” katanya, suaranya lembut.
Raka menoleh, tersenyum hangat.
“Aira, aku yang harus makasih. Kamu bikin aku jadi orang yang lebih baik. Aku seneng bisa jadi bagian dari perjalananmu, dan aku bangga banget sama kamu hari ini,” katanya, tangannya meraih tangan Aira di atas meja.
Mereka makan dalam suasana yang penuh kehangatan, berbagi cerita tentang acara tadi dan rencana mereka ke depan.
Aira merasa ada kedamaian yang melingkupi mereka, kedamaian yang datang dari cinta yang mereka miliki, dan dari mimpi-mimpi yang kini mulai terwujud.
Setelah makan, Raka mengajak Aira untuk pergi ke bukit Ungaran, tempat mereka pertama kali menghabiskan waktu bersama setelah menjadi pasangan.Perjalanan ke bukit Ungaran terasa penuh nostalgia.
Aira memeluk pinggang Raka erat saat mereka melaju dengan motor, angin sejuk menerpa wajahnya. Sampai di bukit, mereka duduk di tempat yang sama seperti dulu, menghadap ke arah kota Semarang yang kini berkilauan dengan lampu-lampu sore.
Matahari mulai terbenam, menciptakan pemandangan yang indah, dan Aira bersandar di bahu Raka, merasa ada kebahagiaan yang meluap di hatinya.
“Raka… aku ngerasa hidupku lengkap banget hari ini,” kata Aira, suaranya lembut.
“Novelku rilis, pembacaku suka, dan… kamu ada di sini sama aku. Aku… aku enggak tahu gimana caranya aku bayar semua yang udah kamu lakuin buat aku.” Raka memeluk pundak Aira, mencium keningnya dengan penuh kasih.
“Aira, kamu enggak perlu bayar apa-apa. Aku lakuin semua ini karena aku sayang kamu. Dan… aku juga ngerasa hidupku lengkap karena ada kamu. Aku… aku pengen kita terus bareng kayak gini, Aira. Aku pengen kita nikah, bikin keluarga, ngejar mimpi bareng.” Aira menatap Raka, matanya berkaca-kaca tapi penuh kebahagiaan.
“Aku juga pengen itu, Raka. Aku… aku mau nikah sama kamu, bikin masa depan bareng kamu,” katanya, suaranya gemetar karena haru.
Raka tersenyum lebar, menarik Aira ke dalam pelukannya.
“Aku janji, Aira. Kita bakal wujudkan semua itu bareng. Aku sayang kamu, selamanya.” Mereka duduk dalam pelukan, menatap fajar baru yang perlahan muncul di cakrawala, bukan hanya fajar di langit Semarang, tapi juga fajar dalam hidup mereka.
Aira merasa bahwa semua perjuangan, rasa rindu, dan tantangan yang mereka lalui telah membawa mereka ke titik ini, titik di mana mereka siap menyambut masa depan bersama, dengan cinta yang lebih kuat dari sebelumnya.
Malam itu, saat mereka pulang, Aira memandang langit Semarang yang dipenuhi bintang, gelang di pergelangannya terasa hangat di kulitnya.
Di dalam hatinya, dia tahu bahwa ini bukan akhir dari cerita mereka, ini hanyalah awal dari bab baru, bab yang akan mereka tulis bersama, dengan cinta sebagai pena dan mimpi sebagai kertasnya.
padahal niatnya ya itu author bikin cerita yang bisa nyentuh, memaknai setiap paragraf, enggak sekedar cerita dan bikin plot... kamu tahu, aku bikin jalan cerita 3 hari itu menghabiskan 15 bab 🤣🤣
mampir bentar dulu yaa... lanjut nanti sekalian nunggu up 👍
jgn lupa mampir juga di 'aku akan mencintaimu suamiku' 😉