Seorang pria yang tak sengaja di dunia lain, kereta api, lalu pria itu harus berfikir keras dan menghadapi masalah yang berada di dunia di tempati sekarang.
Sambil ditemani oleh rekan rekannya menjelajahi dunia Baru, pria itu mendapatkan banyak teror yang mengerikan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Taiga あいさか x hmd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kota Zenith Selatan
Aku meninggalkan ruangan misterius itu dari balik lemari yang dipenuhi buku-buku. Setelah aku menyelesaikan membenahi lemari itu untuk menutupnya, aku langsung bergegas ke hadapan Selfia.
“A-a ada apa, Selfia?” Aku masih grogi akibat buru-buru merapikan ruangan tadi.
“Apakah kamu ingin ikut denganku? Menyelidiki wilayah South Zenith.”
“Ada apa memangnya di wilayah sana?” tanyaku.
“Kita harus cari tahu apa penyebab warga di sana ingin memberontak.”
“Baiklah, aku akan ikut denganmu.”
“Tapi—”
“Apakah Charlos akan ikut?”
“Tidak,” jawab Selfia dengan dingin. “Charlos akan di kota ini, untuk menjaga kota.”
“Baiklah, ayo ikut denganku. Aku tak punya banyak waktu.”
“Ah—baiklah, Selfia, tunggu aku!” teriakku.
Sebelum pergi, aku disuruh menyamar menjadi rakyat jelata bersama Selfia agar penyelidikan ini berjalan lancar. Setelah selesai, kami bergegas keluar kota menggunakan kuda. Aku menggunakan kuda kemarin, pemberian sang kusir delman.
Di tengah perjalanan ke South Zenith, aku berbincang dengan Selfia.
“Fia, memangnya separah apa pemberontakan di sana?”
“Pemberontakannya masih belum dilaksanakan, jadi aku harus mengetahui penyebabnya untuk meminimalisir korban.”
“Jadi begitu ya...”
Dari kejauhan, aku masih diteror dengan sosok Yubia, orang yang kemarin menghancurkan bola sihir yang kutemukan di goa.
Setelah lama di perjalanan, kami pun sampai juga ke kota South Zenith. Di gerbang masuk kota, penjagaan sangat ketat oleh pasukan Zenith. Ciri khas pasukannya adalah berbaju biru, berjubah biru, serta bersenjata bermata dua.
Di pintu masuk gerbang:
“Hei, Fia. Apakah kamu membawa baju ganti? Baju yang biasa kita pakai.”
“Tenang saja, sudah kusiapkan kok,” jawab Selfia sambil tersenyum manis.
“Ngomong-ngomong, kota ini ramai juga ya. Tetapi banyak sekali vandalisme di sini.”
Aku melihat berbagai coretan. Karena aku tak bisa membaca tulisan selain tulisan formal, aku melihat tulisan di dunia Lumineria ini masih sangat orisinal.
Aku dan Selfia mencari penginapan, dan kami menemukan penginapan sederhana yang bisa dipakai oleh dua orang.
“Ahhh, akhirnya bisa istirahat juga.”
“Tempat ini lumayan sempit deh, ah... sebal.”
“Aku baru tahu, kamu tak menyukai kesederhanaan.”
“Ah bukan begitu, Zafi. Ta-ta-tapi—” Selfia bicara sambil memerah pipinya.
“Haha, aku bercanda. Namanya juga bangsawan, mana suka yang begini.”
“Tapi... ah sudahlah, ayo kita langsung keluar.”
“Hadeh, baru saja ingin istirahat.”
Kami pun keluar untuk menjelajahi kota South Zenith. Kami mampir ke tavern untuk makan dan minum karena kami sangat lelah dari perjalanan panjang.
Di tengah menunggu makanan, kami mendengar ada seseorang yang gelisah dengan kebijakan bangsawan yang memimpin negeri ini.
“Apa!? Ingin menjadikan hutan jadi pertanian lagi!?” Dia kesal dan menghentak meja.
“Percuma banyak pertanian, kalau ujung-ujungnya ngawur.”
“Ya, aku setuju denganmu. Itu bangsawan nggak punya pikiran apa gimana, dah. Suhu di sini aja nggak cocok buat tanaman yang dia pikirin.”
“Dasar bangsawan nggak ada otak!” Dia marah-marah dan berteriak, mengagetkan aku dan Selfia.
“Ah, benar. Lagi pula, ke mana upah penuh kami yang bekerja di sektor pertanian itu? Kata mereka yang bekerja di sana, mereka malah harus membayar upah dari hasil pertanian!”
“Hahaha, bangsawan itu berpikir dia Daendels!” ejeknya.
Aku berekspresi heran—nama Daendels jadi “Denduls”?
Akhirnya, yang aku tunggu-tunggu bersama Selfia datang: makanannya! Enak banget.
Setelah kami makan, kami berjalan-jalan di area kota dan menemukan banyak sekali gembel yang terlantar. Aku jadi mengingat keadaanku di dunia asliku.
Aku dan Selfia mendatangi daerah kumuh dan menanyakan mengapa mereka bisa seperti ini. Kami bertanya kepada seorang veteran tempur, mantan jenderal tertinggi suruhan Siluet, tetapi hidupnya kini terlantar.
“Halo, Kakek. Apakah kami boleh tahu, sebenarnya mengapa banyak sekali gembel di sekitar perkotaan?” tanya Selfia.
“Oh, itu karena kota ini tak dapat dana dari ibu kota Zenith. Sudah lama sekali kami dilantarkan oleh Kerajaan Zenith.”
“Jadi, apakah Kakek tahu alasan beberapa kelompok pemberontak di sini?”
“Ah, iya, aku mengetahuinya. Itu karena mereka tidak suka dengan sifat bangsawan di sini. Selalu berbuat curang dan tidak adil terhadap golongan miskin di kota ini.”
“Oh, terima kasih telah meluangkan waktu untuk bercerita ya, Kek,” kata Selfia sambil tersenyum tulus.
Setelah selesai mengamati dan mengobrol dengan warga setempat di area kumuh itu, kami bertemu dengan bangsawan yang memimpin kota ini. Kami tak sengaja menabraknya karena tak melihatnya.
“Ah, maafkan aku, Tuan!”
“Kalau punya mata, dipakai dong, sialan! Dasar miskin menyusahkan!” bentak bangsawan itu dengan kasar.
“Tolong jangan bentak sahabatku. Ini salahku tak mengawasiny,” jawabku.
“Hei, kau pecundang! Kalau punya teman, diperhatikan dengan baik dong!”
“Jadi, apakah kau bisa membelikan dan menggantikan kaca ini?”
Kami berdua kebingungan ingin menjawab apa.
“Maaf, Tuan. Kami tidak bisa.”
Bangsawan sombong itu menendang kami sampai terjatuh.
“Kalian sangat amat menyusahkan!”
Semua warga melihat aksi bangsawan sombong itu, dan mereka tampak geram.
Setelah kami berhasil menyamar menjadi rakyat jelata, misi kami selanjutnya adalah menyamar menjadi pekerja bangsawan itu.
:
Malam hari
“Wah, brengsek itu bangsawan.”
“Pantas saja warga di sini ingin menggerakkan aksi pemberontakan.”
“Aku juga kaget, Zafi. Kok bisa bangsawan itu terpilih di sini.”
“Ah, entahlah. Ngomong-ngomong, rencanamu untuk besok apa?”
“Tenang.” Selfia tersenyum seperti biasa.
Dia menuju lemari dan menunjukkan baju pelayan bangsawan. Selfia bilang kami akan pura-pura menjadi suruhan dari keluarga bangsawan itu.
“Tapi, apakah kamu tahu keluarganya?”
“Tahu dong. Keluargaku kan menganalisis semua anggota bangsawan di Kerajaan Zenith.”
“Wah, Selfia sangat hebat.” Aku tertawa sedikit.
“Ah, makasih, Zafi.”
Kami pun tidur untuk melanjutkan penyamaran esok hari.
Keesokan harinya
Kami bangun dan langsung mengganti baju yang telah direncanakan Selfia. Setelah itu, kami langsung menghampiri rumah bangsawan itu.
“Oh iya, Selfia. Nama bangsawan di kota ini siapa?”
“Namanya adalah Ahmados.”
“Keren juga.”
“Biasanya, nama keren itu mencurigakan,” kata Selfia dengan nada mengejek.
Kami pun sampai di rumahnya.
Tok tok tok.
“Siapa di sana?”
“Kami pelayan Anda.”
“Pelayan? Apakah aku menyewa kalian?”
“Kami utusan dari keluarga Anda.”
“Keluarga?”
“Ahmadis, nama abang Anda. Dan Ahmadun, nama ayahanda.”
“Oh, kalau begitu silakan masuk.”
Dia membukakan pintu. Setelah itu, kami langsung masuk ke dalam rumahnya.
“Tunggu, aku akan memperkerjakan kalian dulu. Tapi sebentar, siapa namamu?”
“Namaku?”
“Iya, kau yang lelaki.”
“Madun. Namaku Madun!”
“Oke, Madun ya. Kau akan kerja di bagian pengurus perdagangan bisnisku.”
“Dan kau, yang cewek... ah, kau sangat cantik sekali. Bisakah kau menjadi pelayan pribadiku?”
“Eh—” Selfia memasang muka kesal sedikit, agar tidak terlihat marah.
“Tentu saja, Tuan Ahmados.”
“Ah, aku sudah tahu kau akan menjawab itu.” Ia tertawa stres.
Pekerjaan pertamaku, aku disuruh menganalisis perdagangan bisnis yang akan diekspor ke negeri sebelah. Barang-barang ini berasal dari Kerajaan Zenith.
Sebelum menganalisis, aku memeriksa data dari Kerajaan Zenith. Setelah kulihat, data dan jumlah total sangatlah berbeda jauh.
Aku mulai mencurigai bahwa Ahmados telah menyuap atau menggelapkan anggaran dari kerajaan.
Setelah selesai, aku langsung membawa gerobak barang itu ke pengantar barangnya.
“Hei, apakah kau karyawan baru di sini?”
“Ah, betul. Aku diutus dari keluarga Ahmados.”
“Wow, keren sekali.”
“Apakah kau yakin bekerja di sini?”
“Yakin sekali. Memangnya kenapa?”
“Ahmados sangat licik, loh,” dia membisikkan padaku.
“Bahkan membayar upah kami tergantung suasana hatinya.”
“Tapi mengapa kau tak keluar, jika diupah seenaknya begitu?”
“Entahlah. Kalau aku keluar, mungkin keluargaku akan tersiksa.”
“Kejam sekali.”
“Haha. Semangat ya, Madun.”
Di lain sisi...
“Selfiaaa!!!” ucap Ahmados dengan teriakan kencang.
“A-a-ada apa, Tuan?!”
“Tolong pijat badanku!”
“Siap, Tuan!”
Selfia memijat badan Ahmados. Namun setelah itu, ia diminta melakukan hal-hal aneh olehnya. Selfia pun pura-pura sakit perut dan segera menuju toilet.
Di perjalanan ke bawah, Selfia mendengar percakapan dari samping ruangan.
“Hei, kapan obat-obatan ini akan diantar!?”
“T-tapi, Tuan... ini kan dilarang.”
Pria itu memukul karyawannya.
“B-risikkk! Laksanakan saja perintahku!”
“Baik, Tuan. Aku akan mengantarkannya besok.”
“Bagus.”
Tak sengaja, Selfia menjatuhkan vas bunga.
Suara pecah.
“Hei, siapa di sana?”
Selfia langsung mengumpat ke balik dinding.
“Lah... tak ada siapa-siapa.”
“Sungguh aneh.”
Setelah selesai menghadapi pekerjaan gila itu, Selfia langsung berlari ketakutan ke arahku.
“Zafiii!!”
“Bangsawan itu benar-benar cabul!”
“Ayo kita pulang sekarang!”
“Ah, benar. Jam kerja kita juga sudah habis. Saatnya kembali.”
Kami pun kembali dan beristirahat di penginapan sederhana kami.