⚠️ sebelum baca cerita ini wajib baca Pengantin Brutal ok⚠️
Setelah kematian Kayla dan Revan, Aluna tumbuh dalam kasih sayang Romi dan Anya - pasangan yang menjaga dirinya seperti anak sendiri.
Namun di balik kehidupan mewah dan kasih berlimpah, Aluna Kayara Pradana dikenal dingin, judes, dan nyaris tak punya empati.
Wajahnya selalu datar. Senyumnya langka. Tak ada yang tahu apa yang sesungguhnya disimpannya di hati.
Setiap tahun, di hari ulang tahunnya, Aluna selalu menerima tiga surat dari mendiang ibunya, Kayla.
Surat-surat itu berisi kenangan, pengakuan, dan cinta seorang ibu kepada anak yang tak sempat ia lihat tumbuh dewasa.
Aluna selalu tertawa setiap membacanya... sampai tiba di surat ke-100.
Senyum itu hilang.
Dan sejak hari itu - hidup Aluna tak lagi sama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim elly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 5
Mobil Brio berwarna lemon mendarat di depan rumah Romi malam itu. Lampu depannya masih menyala terang, memantul di permukaan jalan yang basah sisa hujan sore.
“Mobil siapa ini?” tanya Anya sambil menatap heran ke luar jendela.
“Nggak tau,” ucap Romi, sama terkejutnya.
Tepat saat itu, ponsel Romi berdering. Ia mengangkatnya. “Ya?”
“Itu mobil Aluna udah datang?” suara Axel di seberang terdengar santai.
“Oh… ini punya Aluna? Tapi dia belum punya SIM! Lo gila, Xel,” ucap Romi setengah menahan tawa.
“Dia ngerengek minta dibeliin. Kalau minta ke lo, lo bakal nolak nggak?” tanya Axel.
Romi diam sejenak, lalu terkekeh. “Iya juga sih.”
“Biarin aja, kakeknya polisi, aman,” ucap Axel, tertawa kecil.
“Ok-ok, mana anaknya?” tanya Romi.
“Di rumah kakeknya. Gue telepon dulu,” jawab Axel santai.
“Oke,” ucap Romi menutup teleponnya.
Sementara itu, di rumah Dimas, ponsel Aluna berdering. Ia baru saja terbangun, rambut masih acak-acakan.
“Hallo…” ucapnya lemas, suara masih serak karena tidur.
“Sayang, tidur ya? Udah datang mobilnya,” ucap Axel lembut dari seberang.
“Wah, masa, Pah!?” Aluna langsung bangun, matanya berbinar. Ia berlari kecil keluar kamar dan segera menuju rumah Romi.
****
Di café tempat Axel duduk, seorang wanita di hadapannya memandangi reaksi Axel tadi dengan cemberut.
“Kok kamu gitu sama anak kamu?” ucap Vera, suaranya agak kesal.
“Gitu gimana?” tanya Axel sambil menyesap kopinya santai.
“Mesra banget,” ucap Vera dengan nada setengah iri.
Axel meletakkan cangkirnya perlahan, menatap Vera datar. “Kan tadi aku udah bilang, kita nggak usah lanjut kalau kamu nggak suka sama anak aku.”
Vera menghela napas panjang. “Aku ke sini cuma mau mastiin aja… dia anak kandung kamu?” tanyanya, melipat tangan di dada, tatapannya tajam.
“Iya,” jawab Axel singkat, tenang tapi tegas.
“Dari istri kamu?”
“Iya lah. Aku nggak pernah zina,” ucap Axel, menatap ke arah jendela, suaranya dalam dan sedikit tajam.
Vera terdiam sejenak, lalu berkata pelan, “Oke… aku mau coba terima dia.”
Axel menatapnya tajam, lalu berkata datar, “Dia yang bakal mutusin kamu cocok apa nggak jadi ibunya.”
“Pliss deh, Xel… masa gini sih?” protes Vera.
“Ya emang gitu konsepnya. Lagian aku nggak maksa kamu. Kamu yang mau sama aku, kok nggak mau diatur? Satu lagi, aku nggak akan pernah lupain mantan istriku, oke? Jadi kalau mau mundur, mundur dari sekarang.”
Nada suaranya dingin tapi tegas, membuat Vera hanya bisa menarik napas berat.
“Ok… aku akan coba temui Aluna,” ucapnya akhirnya sambil meneguk kopi.
Axel hanya mengangkat bahunya, seolah tidak peduli.
Keesokan paginya, Aluna bahagia bukan main. Ia mengendarai mobil barunya menuju sekolah. Mobil kecil berwarna lemon itu tampak mencolok di antara jajaran mobil siswa lain.
Aluna turun dengan wajah jutek khasnya, tas disampirkan di bahu. Ia berjalan sambil memainkan ponsel tanpa menoleh ke sekitar.
“Good morning, Aluna!” sapa seorang siswa yang lewat.
Aluna tak menjawab. Ia hanya menaikkan sedikit alisnya, dingin.
Ia duduk di bangkunya, tegak, rapi, dan terlihat seperti gadis yang perfeksionis.
“Aluna, tugas udah selesai belum?” tanya Risa yang baru datang sambil ngos-ngosan.
“Sudah,” jawab Aluna singkat tanpa menatap.
“Mau dong, gue belum kelar,” ucap Risa.
“Di tas. Cari,” ucap Aluna datar.
Risa langsung nyengir dan membuka tas Aluna tanpa malu.
“Al, lo tadi naik mobil?” tanya Tari yang baru keluar dari toilet.
“Hmm. Why?” sahut Aluna santai.
“Keren lo! Kita main yuk,” ajak Tari semangat.
“When?” tanya Aluna lagi tanpa ekspresi.
“Habis pulang sekolah,” jawab Tari cepat.
“Ok,” ucap Aluna pendek.
Risa masih sibuk menyalin tugas dengan panik.
“The teacher will come in five minutes, Risa. Hurry up,” ucap Aluna sambil menatap jam tangannya.
“Wait, wait! Akh, shit, salah lagi!” seru Risa panik.
Tak lama, guru datang. Risa tepat selesai di detik terakhir.
“Hay, Aluna! Ada acara pulang sekolah?” suara Ray muncul dari belakang, nada suaranya menggoda.
“I’m going,” jawab Aluna tanpa menoleh.
“Where, honey?” tanya Ray, terkekeh kecil.
“Minggir, Ray,” ucap Aluna dengan tatapan tajam.
“You’re beautiful, babe,” goda Ray.
“But you’re my friend. Gue nggak akan pacaran sama teman gue sendiri, you know,” ucap Aluna sambil melipat tangan di dada.
“Ayolah, Aluna… ini yang keberapa lo nolak gue?” Ray masih mencoba, setengah bercanda, setengah serius, lalu merangkul bahunya.
“Hayu,” ucap Tari.
“Hmm,” ucap Aluna pelan, tapi membiarkan Ray tetap merangkulnya. Meski dingin, semua tahu Ray adalah pelindung Aluna di sekolah.
“Mau ke mana kalian?” tanya Ray.
“Shopping,” jawab Aluna singkat.
“Ikut,” ucap Ray tanpa ragu.
“Let’s go,” ucap Aluna sambil masuk ke mobilnya.
Ray ikut dengan mobilnya sendiri. Mereka pun berangkat ke mall.
Di dalam butik, Risa sibuk memilih baju. “Lo ulang tahun ya, Al?” tanyanya sambil memandangi rak dress warna pastel.
“Hmm,” jawab Aluna datar.
“Nggak dirayain?” tanya Tari.
“Nggak suka keramaian gue. Ngapain,” jawab Aluna sambil melirik cermin, menata rambutnya yang panjang.
Ray muncul membawa kotak kecil. “Ini kado dari gue,” ucapnya sambil tersenyum manis.
Aluna menatap kado itu. “Kapan lo bawa?” tanyanya curiga.
“Barusan aja. Udah dibayar, dibungkus dulu,” ucap Ray sambil terkekeh.
“Thanks,” jawab Aluna tanpa senyum, tapi matanya sedikit melembut.
“Kita nonton yuk, Al!” ajak Tari riang.
“Boleh,” ucap Aluna.
Usai belanja baju, mereka pergi ke gedung bioskop. Film yang mereka tonton ternyata tentang kehilangan sosok ibu.
Di tengah film, Aluna meneteskan air mata. Ia menatap layar, tapi pikirannya melayang jauh. Ia mendapat kasih sayang besar dari Anya, Romi, Axel, kakek, dan neneknya… tapi tetap saja, ada ruang kosong dalam hatinya—rindu yang tak pernah padam pada sosok ibunya, Kayla.
“Hey, kenapa?” tanya Ray pelan.
“Peluk gue,” ucap Aluna lirih sambil mengusap air matanya.
Ray langsung memeluknya erat. Di pelukan itu, Aluna menangis sejadi-jadinya. Tangis yang selama ini ia tahan pecah begitu saja.
Beberapa orang menoleh, menatap mereka.
“Buset…” bisik Tari sambil melirik sekeliling.
“Udah, malu,” ucap Risa, tapi ikut terharu.
“Udah, udah, jangan nangis,” ucap Ray lembut sambil mengelus punggung Aluna.
“Ok… I’m fine,” ucap Aluna, berusaha tersenyum lagi dan duduk tegak, menatap layar dengan mata yang masih basah.
Usai nonton, mereka makan bersama, suasana lebih tenang. Tapi di dalam hati Aluna, suara ibunya tetap menggema… seolah dari kejauhan, masih memeluknya dengan cinta yang sama besarnya seperti dulu.
Bersambung...
Pengenalan visual.
Aluna kayara.
Rayhan alvaro
Baskara pratama
tapi aku suka ama anaknya🤣