Apa dasar dalam ikatan seperti kita?
Apa itu cinta? Keterpaksaan?
Kamu punya cinta, katakan.
Aku punya cinta, itu benar.
Nyatanya kita memang saling di rasa itu.
Tapi kebenarannya, ‘saling’ itu adalah sebuah pengorbanan besar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episot 14
"Udah kamu bikin Mama cemas karena susulin Kavi, sekarang kamu maksain datang ke perusahaan.”
Bening mengkhawatirkan menantunya setengan mati. Dia datang tergopoh ke kantor setelah pagi tadi menghubungi Kavi, menanyakan Puja dan mendapat jawaban jika menantunya datang ke perusahaan.
Nomor telepon Puja mendadak tidak bisa dihubungi, perkara lupa mengisi daya.
Sekarang Bening mengumpulkan anak dan menantunya di ruang kerja sang suami yang kebetulan Aji tak bisa bergabung terhubung pertemuan penting di perusahaan kolega.
"Aku beneran uda baikan kok, Ma." Puja terus meyakinkan. "Seminggu di rumah sakit aja bikin aku bosan, kalo harus ditambah sama berdiam diri di rumah, aku rasa aku bisa mati," jelasnya ditutup senyuman bercanda.
"Hh, kamu ini bicara apa?! Kenapa bahas mati segala?!"
Puja terkekeh kecil. "Maaf. Tapi aku beneran udah pulih, Ma. Mama gak perlu secemas itu. Luka di bahu aku udah mulai kering. Aku sanggup kok lakuin aktivitasku kayak biasa."
"Ya ... termasuk itu nyanyi sampe berjam-jam sama Arjuna." Kavi menimpal di dalam hati, cukup sebal mengingat itu saat Puja menjelaskan sebaik apa kondisinya sekarang.
"Tapi kata dokter kamu masih tetep harus banyakin istirahat, Sayang."
"Biarin aja sih, Ma." Kavi menyela ibunya. "Kalo sesuatu ampe terjadi sama dia, bukan salah Mama, bukan salah aku ataupun dokter, salahin dia sendiri aja.”
Bening langsung menghardik dengan ancaman, "Kalo sesuatu terjadi sama Puja, kamu orang pertama yang Mama salahkan!”
“Lho, kenapa aku?" Kavi mendebat.
"Iya kamu! Kamu kan suaminya, jadi kamu yang harus bertanggung jawab penuh atas istrimu!” Bening meradang khas emak-emak.
"Ma!" Kavi memulai pembelaannya. Telunjuknya tegak lurus mengarah pada Puja yang masih diam. "Dia memutuskan apa pun adalah keinginannya sendiri, gak ada hubungannya sedikit pun sama aku! Tolong jangan jadiin aku tumbal kedua kali."
Wajah Bening memerah geram, kesal dengan kelakuan anaknya yang keras kepala dan songong itu.
"Puja nyusulin kamu ke tempat Jun karena dia mencemaskan kamu sebagai istri! Dia gak mau jauh dari kamu suaminya! Gimana bisa kamu bilang gak ada hubungannya sama kamu?! Puja rela mengobankan nyawanya! Trus apa yang bisa kamu kasih sama istrimu ini?! Kamu bahkan gak ada mengunjungi dia di rumah sakit setelah seminggu lamanya dia dirawat. Padahal luka itu kamu yang menyebabkannya!"
Kavi terpelongo dan langsung bungkam. Omelan ibunya menyentil banyak bagian dari perasaannya. Meskipun mengelak dengan kata, 'luka itu kamu yang menyebabkannya', tapi dia tak bisa. Puja memang benar mengorbankan diri untuk dirinya. Seluruh lontaran Bening menuntun matanya menatap Puja yang masih diam tanpa mengangkat wajah dari runduknya itu.
Wanita itu pasti merasa tak nyaman.
Sekarang hati Kavi mulai bertanya-tanya, benarkah Puja setulus itu berkorban untuknya? Benarkah tidak ada apa pun yang dia rencanakan? Tidakkah dia ingin balas dendam karena dulu Kavi sering marah dan menolak perasaannya mentah-mentah?
"Kavi ... Mama cuma mau kamu jangan mengabaikan Puja, mengabaikan istrimu," Bening melanjutkan, tatapan matanya sedikit melembut setelah berhasil mengatur perasaan. "Berperanlah sepantasnya sebagai suami. Jangan membuatnya merasa rendah dan tidak berdaya ada di tengah-tengah keluarga kita. Meski kamu gak suka, berusahalah, Nak, demi Mama dan Papa, juga demi diri kamu sendiri.”
Menyikapi itu, Puja tercenung dengan mata menatap lantai. Beberapa jenis perasaan menyeruak memenuhi rongga dadanya.
Sejujurnya yang dikatakan Bening sudah sangat benar. Dia merasa kecil di lingkup keluarga Manggala. Siapa dirinya sampai harus menuntut banyak. Hanya seorang Puja yang menikah demi sebidang rumah peninggalan ayah.
Terutama terhadap Kavi sendiri, Puja merasa seperti sampah. Menuntut cinta? Perhatian atau seluruh hidup pria itu?
“Apa aku terlalu serakah?” hati Puja mencicit, mulai meragukan dirinya sendiri. Meninggikan nilainya tanpa memikirkan perasaan Kavi yang sedari awal jelas-jelas sudah menolak, bahkan secara terang-terangan menyerukan kebenciannya, apakah itu berlebihan?
”Benar, meski Mama mengatakan demi mereka sendiri termasuk Kavi, tapi di sini tetap aku yang serakah.”
Jadi ....
"Udah, Ma. Jangan paksa Kavi lagi. Aku gak apa-apa dan baik-baik aja." Puja berdiri. "Aku harus balik ke pekerjaanku, jadi aku pamit, ya.”
Bening dan Kavi melengak ke sosok itu. Ada atmosfer aneh yang tiba-tiba melingkupi Puja.
Jika Bening menunjukkan secara gamblang perasaannya melalui ekspresi, Kavi menyalurkan melalui tatapan mata.
"Puja!" Panggilan Bening terlambat. Pintu sudah tertutup setelah mendorong Puja ke luar dan menjauh cepat.
Di kubikel kerjanya ....
Puja masih diam menatap layar komputer yang menyala. Pikirannya terus melayang di bawah kendali perasaan yang terasa aneh.
"Puja!"
Pandangan wanita itu terbanting sontak ke asal suara. "Jimmy!”
Pria itu datang dengan beberapa helai berkas di tangan. "Kenapa? Ada masalah sama pekerjaannya?
"Ah, nggak kok. Semua aman," kilah Puja, membalutkan senyum semanis biasa.
Walaupun skeptis, Jimmy mengangguki dulu. "Ini berkas yang harus kamu kerjain. Gak perlu buru-buru, kerjain aja semampunya kamu." Dia paham Puja belum sepenuhnya pulih, wanita itu pasti memaksakan diri demi kewajiban sebagai pekerja.
"Oke, Jim." Puja menerima berkas itu dan membacanya. "Segera aku kerjakan."
“Good.”
Keadaan itu tak lepas dari pantauan mata Kavi yang saat ini berdiri di sebuah sisi, di luar dinding kaca ruangan itu. Dia baru dari mengantar ibunya ke parkiran, dan langsung tertarik untuk melihat istrinya yang tadi menunjukkan sikap tidak biasa sebagai penutup.
Tempat kerja Puja berada satu lantai dengan ruang CEO--Kavi, kecuali ruang kerja Aji Manggala yang tadi dikunjungi Bening, berada di tahap paling puncak gedung perusahaan.
Usai dengan tugasnya terkait Puja, Jimmy keluar dan mendapati Kavi berdiri menatap ke arah dalam.
Tidak ada kata per kata panjang, dia hanya menyapa singkat dan alakadar, ”Kav.” Kemudian berlalu begitu saja.
Kavi menatap punggung pria itu semakin jauh hingga menghilang berbelok ke ruang lain.
"Apa dia juga termasuk dalam antrean?" gumamnya dengan senyuman kecut, lalu pergi setelah sesaat memandang Puja yang mulai sibuk bekerja.
Jam istirahat ....
Kavi akan keluar untuk makan siang bersama seorang teman yang tadi menghubungi melalui ponsel.
Janjian di sebuah resto tidak jauh dari kantor perusahaan.
Tiba di tempat, seorang wanita berpakaian kantoran minim melambai tangan di selingkar kursi, segera Kavi menghampirinya untuk bergabung. Sebut saja Olivia, teman dari masa kuliah Kavi yang cintanya tidak dibalas oleh lelaki itu. Tapi mereka tetap berteman baik.
Satu meter menuju sampai, langkah Kavi terhenti setelah tak sengaja melihat ada dua orang yang sangat dia kenal sedang asyik makan seraya mengobrol riang, di kursi bagian pojok terhalang satu vas bunga berukuran besar.
"Jun!" Lalu mengintip pandang ke orang yang bersamanya. "Puja!” Sima wajahnya mulai tak bagus. “Ngapain mereka berdua-dua di sini?”
jadi lupakan obsesi cintamu puja..
ada jim dan jun, walaupun mereka belum teruji, jim karena kedekatan kerja.. jun terkesan memancing di air keruh..