PENDEKAR Mabuk memiliki nama asli Suto Wijaya Kusuma dan dia adalah seorang pendekar pembela kebenaran dan menumpas kejahatan. Perjalanan nya dalam petualangannya itu banyak menghadapi tantangan dan rintangan yang sering kali membuat nyawa nya terancam. Namun pendekar gagah dan tampan itu selalu punya solusi dalam menghadapi permasalahan tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ikko Suwais, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PART 17
KICAU burung pagi telah hilang sejak tadi. Mereka sudah malas berkicau jika matahari mulai tinggi, karena merasa dicuekin oleh sesama penghuni bumi, termasuk manusia. Hilangnya kicau burung membuat hutan di kaki Bukit Jelaga itu menjadi sunyi.
Di sela-sela sunyi itu ada suara tangis mengharukan hati orang yang mau terharu. Suara tangis itu terdengar samar-samar, seakan diredam oleh kerimbunan semak serta pepohonan hutan. Entah apa alasan suara tangis itu ada di hutan tersebut, yang jelas suara tangis itu datang dari mulut seorang perempuan. Belum diketahui, apakah perempuan itu muda atau tua, cantik atau keriput, tapi sepasang telinga lelaki sedang menyimaknya dari kejauhan.
Suara tangis itu lebih mengharukan hati si pemilik telinga lelaki, karena di sela-sela tangis terdapat syair tembang yang merobek hati. Syair duka itu tersusun dengan sendirinya, karena curahan hati yang meratap pilu.
"Sunyi sepi sendiri, sejak ditinggal mati tiada kawanku lagi, hidupku sendiri Sahabat karibku, telah meninggalkan daku
Kudoakan semoga masuk surga hampa kini harapan, kekasih tak bernyawa yang kuterima sengsara, esok siapa yang bayar
hutang...".
Ada senyum trenyuh di wajah si pendekar gelap. Senyum haru itu memaksa si pendekar gelap untuk makin dekati ratap tangis itu. Semakin menuju ke tepian hutan semakin jelas isak tangisnya. Namun isak tangis yang meratapkan tembang itu se-
gera hilang ketika mendengar langkah kaki menginjak ranting kering.
"Ooh...?! Sii... siapa itu?!" si penyandang tangis terkejut dan menjadi takut. Matanya yang basah oleh air mata dan keringat itu memandang ke arah semak-semak dengan tegang.
Ternyata si penyandang tangis adalah seorang gadis cantik berwajah mungil dengan rambut dikepang dua. Gadis itu mengenakan gaun bawah merah jambu yang dirangkap jubah lengan panjang warna kuning kembang-kembang merah. Dengan giwang merah sekecil biji ketimun, dan kalung emas berliontin batu merah cabe, gadis itu tampak lebih cantik
dan menawan.
Krusakk, kusak, kraakkk...!
"Sssi... siapa... siapa di situ?! Maa... manusia apa singa?!" sapanya dengan suara a bergetar. la melangkah mundur hingga merapat dengan sebatang pohon, bersiap untuk larikan diri.
"Jawablah, hai makhluk di balik semak. Siapakah kau? Manusia atau kera?!"
"Kera..." jawab suara si makhluk di balik semak.
"Oh, jangan... jangan mendekatiku! Aku takut kera! Pergilah sana ke bangsamu, sesama kera!" Tapi si makhluk di balik semak justru nekat keluar dari persembunyiannya.
Bruuss..! la menerabas dedaunan semak, lalu sunggingkan senyum tipis yang mengejutkan hati si gadis.
"Ooh...?I" si gadis segera menutup mulutnya dengan jari tangan yang lentik setelah ia memekik. Matanya semakin lebar dan tampak bundar indah.
"Ampun, Kera. Ampuuun... aku tidak bermaksud
mengganggu tidurmu, Kera." Lelaki muda yang punya wajah ganteng dan postur tubuh atletis itu dongkol-dongkol geli. Akhirnya pemuda Itu berkata dengan suara agak keras,
namun berkesan kalem.
"Aku bukan kera! Aku manusia sepertimu juga
yang punya nama Suto Sinting!"
"Manusia?" gumam lirih si gadis. "Suto Sinting?! Ooh... apakah... apakah kau juga ingin membunuhku?!" Pemuda tampan yang ternyata adalah murid sinting sl Gila Tuak alias si Pendekar Mabuk itu segera gelengkan kepala sambil lebarkan senyum
agar tak kelihatan menyeramkan. la sendiri heran, mengapa gadis cantik berusia sekitar dua puluh dua tahun itu merasa takut, sedangkan saat itu Suto sudah hadir bersama senyum yang sering menggetarkan hati para wanila.
"Apakah wajahku sudah seangker kuburan keramat?!" pikir si Pendekar Mabuk sambil menggantungkan bambu sedepa yang disebut sebagal bumbung tuak sakti itu.
"Nona manis, aku bukan seorang pembunuh, darahku bukan darah pembunuh. Kau tak perlu takut padaku," ujar Pendekar Mabuk dengan tutur kata dan suara yang lembui menenangkan hati si gadis.
Hati itu menjadi lebih tenang lagi setelah memperhatikan Suto cukup lama. Hati si cantik akhirnya mengakui, pemuda ber-
baju buntung warna coklat dan celana putih kusam
itu memang tidak pantas untuk ditakuti. Wajah ganteng dengan rambut sepundak lurus tanpa ikat kepala dan sorot mata yang lembut itu akhirnya membuat ketegangan si gadis pun surut.
Pendekar Mabuk sendiri menatap si gadis tiada berkedip, karena kecantikan gadis itu adalah kecantikan yang alami, polos, dan punya nilai orisinil sekal. Tanpa make-up, tanpa operasi plastik, dan tanpa mantra-mantra pemikat apa pun. Wajah itu adalah wajah imut-imut yang enak dipandang dan indah dikhayalkan.
"Gadis ini pantas menjadi buah khayalan menjelang tidur. Hmmm.. tambah satu lagi bahan khayalanku sebelum aku tidur nanti," Suto Sinting membatin sambil makin dekati gadis itu. Si gadis diam saja, karena ia sudah yakin bawa yang mendekat bu-
kan jenis kera atau monyet.
"Mengapa kau ada di tempat ini, Nona?
"Aku... hmmm... aku... aku menangis," jawab sigadis dengan gugup, karena seperti baru sadar dari mimpinya. Mimpi bertemu dewa ganteng yang pantas dinamakan dewa slebor.
"Ooo, jadi kalau kau mau menangis, kau lari ke hutan ini, baru bisa menangis?!" Si gadis menggeleng, ia menengok ke arah be-
lakang, menatap pada sebongkah batu besar yang memanjang seperti punggung kerbau tanpa kaki itu.
Kemudian menatap Suto lagi dengan air mata bergulir membasahi pipinya yang berwarna merah dadu. la tampak sedih, dan senyum Suto pun dikurangi agar tak berkesan menertawakan kesedihan si gadis.
"Apa yang terjadi sebenarnya, Nona?!" Tanya Suto dengan serius.
"Kedua sahabatku.. hancur bersama... Lesmana. Ooh... Hik, hik, hik, hik...."
Gadis itu akhirnya menangis lagi secara terang-terangan. Naluri kejantanan Suto segera menggerakkan tangannya dan meraih gadis itu dalam pelukan. Si gadis tak malu-malu lagi untuk curahkan tangis dukanya di dada bidang si pemuda tampan Itu.
Pendekar Mabuk mengusap-usap kepala si gadis dengan bujukan-bujukan bersuara lembut. Sambil memeluk si gadis, mata Suto pun tertuju pada batu yang mirip punggung kerbau itu. Dahi Suto Sinting berkerut melihat tiga gundukan abu dan arang, seperti bekas api unggun.
"Apa yang aneh? Apa yang membuat gadis ini menangis melihat ke arah sana?" pikir Suto Sinting walau mulutnya meluncurkan kata-kata lembut untuk menenangkan tangis si gadis.
Setelah ratap tangis itu mereda, tinggal isaknya yang sesekali menyentakkan dada mengguncang kepala, murid si Gila Tuak dan Bidadari Jalang itu akhirnya ajukan tanya kembali tentang sepotong nama yang tadi disebutkan si gadis.
"Siapa Lesmana itu, Nona?"
"Putra dari Paman Tumenggung."
"Ada apa dengan Lesmana?!"
"Dia.., dia hancur. Hancur bersama Siswatama dan Sukesni."
"Hancur bagaimana? Hmm... oh, ya... duduklah sini dulu dan jelaskan maksudmu, Nona!" Gadis itu didudukkan pelan-pelan di sebatang pohon yang telah lama tumbang. Di sltu si gadis
mengeringkan air matanya dengan kain lengan jubahnya yang longgar. Sebenarnya Suto Sinting ingin sekali mengeringkan air mata ltu.
☺🙏💪
mampir yaaa