Diambang putus asa karena ditinggal sang kekasih saat hamil, Evalina Malika malah dipertemukan dengan seorang pria misterius. Adam Ardian Adinata mengira gadis itu ingin loncat dari pinggir jembatan hingga berusaha mencegahnya. Alih-alih meninggalkan Eva, setelah tahu masalah gadis itu, sang pria malah menawarinya sejumlah uang agar gadis itu melahirkan bayi itu untuknya. Sebuah trauma menyebabkan pria ini takut sentuhan wanita. Eva tak langsung setuju, membuat pria itu penasaran dan terus mengejarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ingflora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14. Tender
Eva tak nyaman dilirik Lindon karena lirikannya menyiratkan kebencian. Ia menyudahi nasi gorengnya yang tinggal sedikit dan segera berdiri.
"Kamu mau ke mana?" Adam ternyata memperhatikannya.
"Eh, aku sudah kenyang. Aku ...."
"Gak boleh begitu! Habiskan dulu nasinya! Gak boleh buang-buang makanan! Kamu dari tadi aku lihat makannya sedikit. Nanti bayimu kelaparan bagaimana!?"
Eva menatap Adam dengan heran. Kenapa tiba-tiba Adam cerewet sekali dengannya? Ia bahkan bisa melihat Lindon dan Shanti melihat aneh ke arah Adam. "Nanti aku makan lagi."
"Tidak bisa! Duduk di sini! Tunggu sampai kamu lapar lagi!"
Eva memang tidak biasa meninggalkan makanan tersisa. Akhirnya ia kembali duduk dan makan lagi demi agar suasana di meja itu kembali damai.
"Nanti setelah ini potongkan aku apel ya!"
Eva menoleh. Kenapa sekarang setiap habis makan, Adam makan apel? Rasa-rasanya dulu tidak begitu. Saat pandangannya kembali, kini Lindon dan Shanti tengah menatap ke arahnya. Keruan saja, Eva salah tingkah. "Kenapa aku terlihat seperti penjahat sih?" Ia akhirnya makan sambil menunduk.
Padahal Lindon dan Shanti hanya heran saja, kenapa Eva yang seperti bukan siapa-siapa, memenuhi seluruh perhatian Adam hingga keduanya kembali menatap ke arah Adam.
Adam terlihat santai karena senang Eva kembali. "Ayo teruskan makannya," ajaknya pada paman dan sepupunya.
Seusai makan, Eva memotong apel untuk Adam di dapur. Setelah itu, ia menyuruh salah satu pembantu untuk memberikan piring berisi potongan apel itu pada Adam.
"Oh, iya, Bu." Uning membawanya ke meja makan.
Adam terkejut melihat pembantunya yang mengantar piring buah, bukan Eva. "Di mana Eva?"
"Eh, di dapur."
Adam langsung berdiri tanpa berkata apa-apa dan bergegas ke dapur.
"Apalagi sih ini ... ahh!" Lindon meletakkan sendoknya karena kesal. Ia diabaikan Adam hanya karena mencari Eva.
Eva tak ada di dapur. Seketika pikiran Adam memikir tempat lain di rumah itu. Ia segera ke sana. Benar saja, Eva sedang berjalan-jalan di kebun belakang. "Eva!!"
Gadis itu terkejut. Suara Adam sangat keras hingga ia hampir terloncat dari tempat ia berdiri.
"Eva, kenapa kamu di sini!" Adam datang menghampiri dengan tergesa-gesa. Ia meraih lengan Eva dengan kasar. "Apa kamu tahu? Kamu terlarang ada di sini!?"
Eva mendongak. "Apa?"
"Kamu dengar kata-kataku barusan 'kan!?" ujar Adam geram. Ia sudah menduga Eva akan kembali ke kebun belakang.
"Kenapa aku tidak boleh ke sini?"
"Karena aku tidak mau kamu pergi memanjat lagi!!" Wajah pria itu mulai memerah karena menahan amarah.
"Pak, aku sudah tahu, jadi aku tidak akan melakukannya, kenapa Bapak cemas begini sih?" Eva hampir tertawa sebab Adam terkesan berlebihan.
"Ah, aku tak percaya itu! Ayo, temani saja aku di meja makan!" Pria itu menarik Eva hingga gadis itu terpaksa ikut.
Shanti dan Lindon melihat Eva kembali bersama Adam. Rasanya aneh, kenapa Eva harus dilibatkan dalam pembicaraan mereka.
"Eva, kita sedang membicarakan bisnis. Sebagai sekretaris, walaupun masih training tapi kamu harus ikut mendengarkan karena mungkin saja, aku akan melakukan meeting dengan beberapa staf mengenai inti sari pembicaraan hari ini. Karena aku tidak mau mengulang, sebaiknya kamu dengarkan baik-baik apa yang akan aku katakan sekarang."
Ucapan Adam membuat Eva terpaksa duduk dan mendengarkan. Adam sengaja bicara begitu agar Lindon tak menaruh curiga kenapa ia memaksa Eva untuk duduk bersama di sana.
Adam menarik kursinya dan kembali duduk. Ia menggeser kursi merapat ke meja. "Sampai di mana tadi? Oya, tentang pabrik baru."
"Kenapa aku tidak boleh pegang proyek ini?" tanya Lindon penasaran. Baginya ini adalah proyek yang bisa menambah tebal uang di kantongnya, tapi Adam tak mau memberikan proyek itu padanya.
"Ada banyak pertimbangan. Intinya Paman lebih cocok kerja di kantor daripada di luar. Biar kerja di luar aku yang handle." Adam bicara dengan tenang. Tentu saja. Ia adalah pimpinan, dan siapa pun tak boleh membantahnya kecuali Eva. Hanya gadis ini yang susah ia atur jalan pikirannya. Ia melirik gadis itu dan masih saja dongkol.
Eva sebenarnya tidak nyaman. Ia tahu Lindon tak suka ia ada di situ. Sebagai orang tak berguna sebaiknya ia menjauh, itu yang dipikirkannya ketika memilih jalan-jalan di taman belakang. Tak disangka, ia diperlukan oleh Adam.
"Tapi rasanya itu akan membebanimu dalam bekerja. Biarkan hal-hal kecil seperti ini aku yang pegang."
Adam tersenyum miring. "Dan membiarkan kamu melakukan penindasan pada para kandidat kontraktor? Heh, kamu pikir aku boddoh? Yang terjadi, bangunan pabrik tidak akan bertahan lama karena biayanya dipangkas olehmu. Kamu pikir aku juga tidak tahu, kamu telah mengambil dana perusahaan beberapa kali?" "Karena ini tender, aku ingin lihat tawaran terbaik dan desain yang bagus. Ini karena aku ingin menyesuaikan dengan kebutuhanku."
"Itu aku bisa lakukan ...."
"Tidak, kamu sebaiknya di kantor saja, Paman. Biarkan yang muda saja yang mengerjakan pekerjaan yang banyak gerak. Kebetulan aku juga banyak pekerjaan lain yang membutuhkan aku untuk terus keluar kantor. Jadi urus saja internal kantor karena aku yakin, Paman yang senior dihormati di kantor selain aku. Karena itu Paman sangat penting berada di kantor."
Lindon menghela napas. Helai rambut putihnya sudah lumayan banyak, itu karena rambut aslinya, pirang mendekati putih. "Ya sudah. Jadi sudah berapa banyak kandidatnya?"
"Ada beberapa yang sudah aku hubungi. Mereka sedang membuat proposal jadi aku menunggu."
"Bawalah Shanti bersamamu agar dia bisa belajar banyak." Lindon masih berharap Shanti bisa menggantikannya.
"Oh, bukankah Paman minta Shanti untuk menduduki posisi accounting? Posisi ini tidak keluar kantor kecuali diperlukan. Nanti orang akan curiga, Shanti masuk lewat jalur orang dalam, karena bekerja tidak pada tempatnya, 'kan? Penilaiannya jadi tidak logis."
Lindon mengeratkan gigi gerahamnya. Sulit sekali mendapat persetujuan Adam padahal keponakannya. "Apa tidak ada yang bisa aku bantu. Aku tidak enak serasa makan gaji buta." Ia masih mencari cela.
"Tidaklah. Apa kata orang nanti bila aku memberimu pekerjaan yang berat. Nanti dikiranya aku jahat lagi, dengan paman sendiri." Kalimat itu mengandung sindiran, membuat mulut Lindon terkunci.
"Ya tidaklah. Buktinya aku masih kuat bekerja. Aku bukan orang yang lemah."
"Aku percaya itu, Paman. Tapi percayalah, keputusanku sudah benar." Adam melirik Shanti. "Nanti apa kata Shanti, bila tiba-tiba Paman sakit saat berada di luar. Aku pasti yang disalahkan." Ia tersenyum datar.
"Oh ... tidak mungkin! Aku masih sehat kok sampai sekarang."
"Sudahlah, Paman. Kalau butuh pekerjaan tambahan, nanti ku carikan, tapi yang internal."
"Eh, tidak usah-tidak usah!" Lindon melirik Shanti sekilas sambil menggoyang-goyangkan kedua tangan. "Biar aku urus yang ada saja, cukup."
Kembali Adam tersenyum tipis. "Ya, sudah. Oh ya, cake-nya belum dipotong. Aku ingin coba." Ia melirik Eva. "Tolong, kamu potong kuenya dulu."
Eva berdiri lalu mengambil bungkusan plastik yang ada di meja. Ia kemudian membawanya ke dapur.
***
Eva sedang asyik makan sepotong bolu pisang sambil menonton TV. Hidupnya serasa jadi seorang putri, mau apa pun ada yang membuatkan. Dulu hidupnya tidak semudah sekarang. Apa-apa harus bikin sendiri atau mengumpulkan uang dulu baru bisa terwujud. Itu pun ia masih pelit untuk mengeluarkan.
Dari lantai atas, tanpa Eva sadari, Adam memperhatikan dirinya. Pria itu begitu nyaman melihat gerak-gerik Eva dari jauh yang hanya menonton TV. Setidaknya terhindar dari bahaya.
Terdengar ponsel berbunyi. Adam menyalakan ponselnya yang kebetulan ia pegang. "Halo."
"Iya, Pak. Wanita itu masih sulit ditemukan. Pak Lindon sejauh ini tidak ada pergerakan yang berarti."
Bersambung ....
tapi aku nggak mau kalo cuma sekedar like👉🏻👈🏻
semoga semakin semangat updatenya akak othor!!🙏🏼💪🏼💪🏼
lagian siapa juga yang tahu klo Eva istrimu...
makanya dari awal lebih baik jujur,ini pake bilang sodara lagi
padal aku dari kemarin uda ngumpulin bab, biar bisa d baca maraton, taunya pas baca langsung hbis😭😭
"berharap ada adegan kissing nya"
pas scroll eeh malah ketemu iklan habib jaffar, langsung baca istigfar karena tau yg ku pikirkan itu dosaaaaa😭🤣🤣
ini masalahnya di keyboardmu apa emang kebijakan dari mt/nt?
sekedar nanya aja nggak ada maksud lain mak🙏🏼🙏🏼