para mahasiswa dari Institut Seni Indonesia tengah melakukan projek pembuatan filem dokumenter ke sebuah desa terpencil. Namun hal tak terduga terjadi saat salah satu dari mereka hilang di bawa mahluk ghoib.
Demi menyelamatkan teman mereka, mereka harus melintasi batas antara dunia nyata dan alam ghoib. Mereka harus menghadapi rintangan yang tidak terduga, teror yang menakutkan, dan bahaya yang mengancam jiwa. Nyawa mereka menjadi taruhan dalam misi penyelamatan ini.
Tapi, apakah mereka sanggup membawa kembali teman mereka dari cengkeraman kekuatan ghoib? Atau apakah mereka akan terjebak selamanya di alam ghoib yang menakutkan? Misi penyelamatan ini menjadi sebuah perjalanan yang penuh dengan misteri, dan bahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uswatun Kh@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30
Daffa tersungkur, beban di punggungnya terasa seberat dunia. Kaki lecet, lutut berdarah terkena ranting tajam. Queen menangis, air matanya membasahi pipi, tangannya tetap menggenggam erat tubuh Wati. Daffa tak mampu lagi melangkah, ia terduduk, tubuhnya merosot, Wati masih terbaring di punggungnya.
"Daffa! Ayo, kamu pasti bisa! Aku bantu!" seru Queen.
Daffa hanya bisa terengah-engah, napasnya tersengal-sengal, tak mampu menjawab.
"Queen, kamu pegang senter ini. Aku akan bantu Daffa menggendong Wati," kata Valo, suaranya tegas, memberi sedikit harapan di tengah keputusasaan.
Queen mundur, menerima senter itu, tangannya masih gemetar. Valo sigap membantu, mengangkat tubuh Wati dari punggung Daffa. Sinar fajar mulai menembus dedaunan, menebarkan cahaya remang yang menerangi wajah-wajah mereka yang lelah dan penuh harap.
"Ayo... kita harus keluar dari sini," bisik Queen.
"Tapi bagaimana? Kita bahkan tersesat!" Valo panik.
Tiba-tiba, jemari Baghawati bergerak. Dengan lemah, tangannya menunjuk sebuah arah, seakan membimbing mereka keluar dari belantara gelap. Queen menatap Wati, mata gadis itu masih terpejam, tetapi petunjuknya sudah cukup. Seberkas harapan menyingsing bersama matahari pagi.
Dengan hati bimbang, mereka mengikuti arah yang ditunjukkan tangan Wati.
"Semoga ini petunjuk," gumam Daffa, suaranya nyaris tak terdengar di antara dedaunan.
Ketakutan mencengkeram hati mereka, bayangan gelap terus membayangi setiap langkah. Namun, tekad Queen untuk bertahan hidup membakar semangatnya.
Tiba-tiba, jeritan Queen memecah kesunyian, "Aaakkhhhh!!"
"Ada apa, Queen!?" Daffa dan Valo serempak bertanya, jantung mereka berdebar kencang.
Mata Queen terpaku ke atas, tubuhnya menegang. Air mata membanjiri wajahnya. Mereka mengikuti arah pandang Queen, lalu terperanjat. Arin tergantung di dahan pohon, lehernya terjerat tanaman rambat yang kuat. Matanya melotot, lidahnya menjulur, wajahnya pucat pasi. Kematian telah merenggut Arin. Tangis Queen pecah, diikuti isak tangis Daffa dan Valo. Rasa horror dan putus asa menyelimuti mereka.
"Kita harus pergi! Jangan sampai kita semua terjebak di sini!" seru Daffa, suaranya bergetar, mencoba mengendalikan kepanikan.
Dengan langkah berat, meninggalkan Arin yang telah tiada, mereka melanjutkan perjalanan. Rasa bersalah menghantam hati Queen. "Maafkan aku, Rin..." bisiknya, air mata terus mengalir.
Kelelahan mulai menyergap Valo, keringatnya membasahi pakaian. Di kejauhan, samar-samar terlihat sebuah gapura—gapura yang sama seperti saat mereka pertama kali memasuki hutan misterius itu.
"Itu... itu gapuranya!" seru Queen, suaranya bercampur haru dan lega.
Mereka berlari, napas tersengal-sengal. Akhirnya, mereka sampai di gapura itu. Sebuah senyum lega terukir di bibir mereka, langkah mereka kini penuh semangat, melewati gapura menuju kehidupan baru.
Angin berembus kencang, menerpa tubuh mereka yang lelah dan penuh luka. Mereka melewati gapura, dunia di luar terasa begitu berbeda, begitu nyata. Valo ambruk di depan gapura, tubuhnya lemas. Ia perlahan membaringkan Wati di rerumputan hijau. Ketiganya duduk berdampingan, saling berpelukan, kelelahan dan kesedihan memenuhi hati mereka.
"Akhirnya... kita bebas," bisik Valo, suaranya bergetar.
Air mata membasahi pipi mereka, haru dan duka bercampur menjadi satu. Rasa kehilangan teman-teman mereka sungguh menyesakkan dada.
"Bagaimana nasib mereka semua?" isak Queen, air matanya tak terbendung.
"Kita berdoa agar mereka tenang di sana," jawab Daffa, suaranya terisak.
Queen dan Valo mengangguk, kepala mereka tertunduk lesu.
Tiba-tiba, suara yang familiar memecah kesunyian, "Bagaimana kalian bisa keluar dari sana?"
Mereka menoleh cepat. Pak Prabu!
Daffa bangkit, amarah membakar dadanya. "Bapak harus menjelaskan semuanya! Kami sudah tahu siapa Bapak sebenarnya!" Suaranya bergetar menahan kemarahan.
Pak Prabu tersenyum sinis, "Benarkah? Baguslah. Aku tak perlu memperkenalkan diri lagi."
"Kenapa Bapak tega?! Kenapa Bapak merenggut nyawa teman-teman kami?!" teriak Queen, tangannya mengepal erat.
Daffa menyerbu Pak Prabu, melayangkan pukulan. Namun, Pak Prabu dengan cepat mengelak. Sebuah keris muncul di tangannya, berkilau mengancam. Ia hendak menusuk Daffa, tetapi Valo dengan sigap menghalangi.
"Daffa, awas!" teriak Valo.
Sebuah suara "Jleb..." menggema, diikuti jeritan Queen yang mengiris hati. Valo terdiam, keris Pak Prabu tertancap di perutnya.
"Valo!!" Tangisan Queen pecah, menggema di antara pepohonan.
Saat Queen dan Daffa terpaku pada Valo yang terluka parah, sebuah pukulan keras dari belakang membuat mereka jatuh pingsan. Kegelapan menelan mereka.
.
.
BERSAMBUNG
lanjut
💪💪💪💪