menikah dengan laki-laki yang masih mengutamakan keluarganya dibandingkan istri membuat Karina menjadi menantu yang sering tertindas.
Namun Karina tak mau hanya diam saja ketika dirinya ditindas oleh keluarga dari suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 14. minta tolong Karina
Setelah menjalani pemeriksaan lebih lanjut, Aldo kini dipindahkan ke ruang rawat inap VVIP, dengan peralatan medis canggih dan tim dokter yang berpengalaman. Ruangan yang luas dan nyaman, dengan jendela yang besar dan terang, membuat Andrew dan Lusi merasa lega dan berharap bahwa Aldo akan sembuh lebih cepat dengan perawatan yang lebih baik.
Aldo, yang kini sudah membuka matanya, memandang sekitarnya dengan mata yang masih terlihat lemah dan tidak fokus. "Papa..." ucapnya dengan suara yang lemah dan tidak jelas. Andrew, yang melihat putranya sudah membuka matanya, pun mendekat dengan langkah yang cepat dan khawatir.
"Iya, ini papa. Aldo butuh sesuatu?" tanya Andrew dengan suara yang lembut dan penuh kasih sayang, berusaha untuk menenangkan Aldo. Ia memegang tangan Aldo dengan lembut dan memandangnya dengan mata yang penuh kasih sayang.
Aldo menggelengkan kepalanya dengan lemah. "Mama Karina mana, Pa?" tanyanya dengan suara yang masih terdengar lemah dan tidak jelas.
Andrew terdiam sejenak, mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan Aldo. Ia memandang Aldo dengan mata yang penuh kasih sayang, berusaha untuk menemukan jawaban yang tepat untuk putranya.
"Besok biar papa jemput mama Karina, ya. Sekarang Aldo bobok lagi..." sahut Lusi, yang ikut mendekat ke arah Aldo dengan senyum yang lembut dan penuh kasih sayang.
Aldo mengangguk lemah, lalu menutup matanya kembali. Andrew memandangi mamanya, seolah tidak setuju dengan ucapan yang Lusi barusan katakan. Ia memandang Lusi dengan mata yang terlihat khawatir dan tidak setuju.
"Ma..."
Tak ingin mengganggu Aldo yang baru saja mulai terlelap tidur, Lusi menggeret tangan Andrew keluar dari ruang inap Aldo. Andrew mengikuti Lusi keluar dari ruangan, menutup pintu dengan pelan agar tidak mengganggu Aldo.
Mereka berdua berdiri di luar ruangan, saling memandang dengan ekspresi yang sulit diartikan. Wajah Andrew terlihat khawatir dan tidak setuju, sedangkan Lusi terlihat tenang dan berusaha untuk menenangkan Andrew.
"Ma... Mama itu sadar tidak dengan apa yang mama ucapkan? Aku tidak ingin ya ma, Aldo ketergantungan dengan wanita itu," kata Andrew dengan suara yang terdengar khawatir dan tidak setuju. Ia memandang Lusi dengan mata yang terlihat serius, berusaha untuk membuat Lusi memahami kekhawatirannya.
Lusi menghela napas panjang, untuk menghilangkan kelelahan dan kesabaran yang telah habis. "Andrew, bisa tidak sekali-kali turunin egomu itu! Apa salahnya kamu minta tolong sama Karina, demi kesembuhan anakmu sendiri," katanya dengan suara yang terdengar kesal dan tidak sabar. Ia memandang Andrew dengan mata yang terlihat tajam dan menghakimi.
"Aldo akan segera sembuh dengan penanganan di rumah sakit ini, tanpa harus menghadirkan Karina," ucap Andrew dengan suara yang terdengar teguh dan tidak mau kompromi. Ia kemudian kembali masuk ke dalam ruang rawat inap Aldo, meninggalkan Lusi yang masih terlihat kesal dan tidak sabar.
Lusi menatap nanar kepergian anaknya, mencoba memahami mengapa Andrew bisa begitu teguh dan tidak mau kompromi. Ia kemudian memijat pelipisnya yang terasa pusing, seolah-olah ia sedang mencoba untuk menghilangkan kelelahan dan kesabaran yang telah habis.
****
Semalam, Lusi memutuskan untuk pulang ke rumah menggunakan taksi, setelah hari yang panjang dan melelahkan di rumah sakit. Kini pagi-pagi, Lusi sudah bersiap untuk kembali ke rumah sakit, dengan semangat yang baru dan harapan yang lebih besar untuk kesembuhan cucunya.
Namun, sebelum ke rumah sakit, Lusi teringat akan permintaan cucunya yang ingin bertemu dengan Karina. Lusi merasa sedikit ragu-ragu, karena Andrew masih belum mau mengijinkan Aldo bertemu dengan Karina. Tapi, Lusi juga tidak ingin mengecewakan cucunya, yang sedang berjuang untuk sembuh dari penyakitnya.
"Ah sudahlah, aku ke rumah Karina saja. Urusan Andrew tidak setuju, belakangan saja," gumam Lusi, dengan suara yang terdengar pelan dan penuh keputusan. Ia telah memutuskan untuk mengambil tindakan yang ia anggap tepat, demi kesembuhan cucunya.
Setelah menimbang-nimbang, Lusi akhirnya memutuskan untuk pergi ke rumah Karina terlebih dahulu. Ia ingin mempertemukan Aldo dan Karina dengan harapan supaya Aldo cepat sembuh. Dengan semangat yang baru, Lusi memesan taksi online, dan tidak lama kemudian, taksi yang dipesan sudah datang.
Lusi segera masuk ke dalam taksi, dengan langkah yang cepat. Ia duduk di dalam taksi, dengan mata yang terlihat fokus dan penuh tujuan, siap untuk melanjutkan perjalanannya ke rumah Karina.
"Pak, ke alamat xxxx, ya!" kata Lusi memberitahukan alamat tujuan dengan suara yang jelas dan tegas.
"Baik, Bu," jawab supir taksi dengan suara yang ramah dan sopan.
Sekitar satu jam kemudian, taksi yang Lusi tumpangi akhirnya tiba di alamat tujuan, lebih tepatnya di depan gang rumah Karina. Lusi membayar biaya taksi dengan cepat dan turun dari kendaraan, dengan langkah yang ringan dan penuh antisipasi.
Lusi berjalan menyusuri gang yang sempit dan tenang. Ia berjalan pelan-pelan, seolah-olah ia sedang mencoba untuk mengumpulkan keberanian dan mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Karina.
Setelah beberapa saat berjalan, Lusi akhirnya menemukan rumah milik Karina, yang terlihat sederhana namun rapi dan terawat dengan baik. Lusi berhenti di depan pintu, mengambil napas dalam-dalam untuk mempersiapkan diri.
Tok.. Tok.. Tok.. Lusi memberanikan diri mengetuk pintu dengan suara yang pelan namun jelas, berharap bahwa Karina akan segera membuka pintu dan menyambutnya.
"Assalamu'alaikum..." suara Lusi terdengar jelas dan sopan, berharap untuk mendapatkan sambutan yang baik dari penghuni rumah.
"Wa'alaikumsalam... Sebentar," terdengar suara dari dalam rumah.
Ceklek... Pintu pun terbuka, dan ternyata yang datang bukan Karina melainkan Rani, yang terlihat dengan wajah penasaran. "Maaf, ibu mau cari siapa?" tanya Rani.
Lusi tersenyum dan menjawab dengan sopan, "Maaf, pagi-pagi begini mengganggu. Saya ingin bertemu dengan Karina. Karina nya ada?" Ia berharap untuk dapat bertemu dengan Karina secepat mungkin.
Rani memperhatikan Lusi dengan seksama, dari atas sampai bawah, seolah-olah ia sedang mencoba untuk mengenali tamu yang tidak dikenalnya. Ini karena Rani baru melihat Lusi sekali ini, dan ia ingin memastikan bahwa Lusi tidak memiliki niat yang tidak baik.
"Oh, mbak Karin. Sebentar, saya panggilkan dulu," kata Rani. Ia kemudian kembali masuk ke dalam rumah, mencari keberadaan kakak iparnya, Karina. Ternyata, setelah dicari-cari, Karina sedang di dapur memasak.
"Mbak Karin, ada yang nyari di depan," kata Rani dengan suara yang pelan.
"Siapa?" tanya Karina dengan suara yang penasaran dan ingin tahu. Ia berhenti sejenak dari memasaknya dan memandang Rani dengan mata yang terlihat ingin tahu.
Rani hanya mengendikkan bahunya, kemudian berlalu pergi tanpa menjawab pertanyaan Karina. Ia meninggalkan Karina yang masih penasaran tentang siapa yang mencarinya.
Sebelum menemui orang yang mencari dirinya, Karina menyelesaikan memasaknya yang sedikit lagi matang. Ia memperhatikan masakannya dengan seksama, memastikan bahwa masakannya sudah matang dan siap disajikan.
Setelah masakannya matang, Karina mematikan kompor dan membersihkan tangan dengan handuk. Baru kemudian ia menemui orang yang mencarinya, dengan wajah yang ceria dan penasaran.
"Maaf, ibu cari saya?" tanya Karina dengan suara yang ramah dan sopan, berharap untuk menyambut tamu dengan baik.
Lusi pun berbalik badan menghadap Karina, dengan senyum yang lebar dan hangat. "Karina, apa kabar?" tanyanya dengan suara yang penuh kasih sayang.
"Tante Lusi, yaampun aku kira Tante tadi siapa," jawab Karina dengan suara terkejut, ia tidak menyangka bahwa tamu yang mencarinya adalah Lusi.
"Tante, pagi-pagi kesini, ada perlu apa?" imbuh Karina, dengan suara yang penasaran dan ingin tahu tentang kehadiran Lusi di rumahnya.
"Sebelumnya, saya minta maaf nak Karina, pagi-pagi sudah mengganggu waktunya," kata Lusi dengan suara yang sopan dan meminta maaf. "Aldo sakit, dan saat ini sedang berada di rumah sakit," tambahnya dengan suara yang khawatir.
"Aldo sakit apa, Tante?" tanya Karina dengan suara yang penasaran dan khawatir. Ia merasa khawatir tentang keadaan Aldo dan ingin tahu lebih lanjut tentang penyakitnya.
"Semalam Aldo demam tinggi, nak Karina," jawab Lusi dengan suara yang khawatir. "Sampai-sampai, Aldo mengigau memanggil nama nak Karina terus," tambahnya dengan suara yang sedih.
"Aldo memanggil nama saya, Tante?" tanya Karina.
Lusi mengangguk dengan suara yang sedih. "Kalau nak Karina tidak keberatan, apa bisa nak Karina datang ke rumah sakit untuk menemui Aldo sebentar saja," pinta Lusi dengan suara yang meminta tolong.
Karina bingung, harus menjawab apa. Ia merasa khawatir tentang keadaan Aldo, tapi juga tidak mungkin pergi dari rumah.
"Karina tidak boleh pergi, dia sibuk," belum sempat Karina menjawab, tiba-tiba Bu Marni sudah menyahut dengan suara yang keras dan marah. "Tidak ada hubungan antara cucu ibu dengan menantu saya. Kalau cucu ibu sakit, ya itu bukan urusan Karina."
Karina memejamkan matanya sejenak, seolah-olah menahan emosi. Ia merasa sedih dan khawatir tentang keadaan Aldo, tapi juga merasa tidak enak untuk melawan ibunya.
"Tante Lusi, mungkin nanti saya akan ke rumah sakit untuk menjenguk Aldo," kata Karina dengan suara yang pelan dan tidak enak. "Tapi mohon maaf sebelumnya, bukan saya bermaksud mengusir Tante. Tapi untuk saat ini lebih baik Tante pulang dulu saja."
"Iya, saya mengerti," jawab Lusi dengan suara yang sedih dan memahami. "Maafkan Tante ya Karina, sudah membuat keributan. Kalau begitu saya permisi dulu."
"Iya Tante, hati-hati di jalan," kata Karina dengan suara yang pelan dan tidak enak, berharap bahwa Tante Lusi akan selamat dalam perjalanannya.
"Heii Bu, dengar ya! Karina tidak boleh menemui cucu ibu!" teriak Bu Marni dengan suara yang keras dan marah, meskipun Lusi tidak menggubrisnya dan telah berpaling untuk pergi. Bu Marni masih terus berteriak, ia ingin memastikan bahwa Karina mendengar dan memahami larangannya.
Sementara itu, Karina hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan Bu Marni, seolah-olah ia merasa tidak ingin berdebat lagi dengan ibunya. Ia memilih untuk kembali masuk ke dalam rumah, meninggalkan Bu Marni yang masih terus berteriak.
Saat ini, semua orang sudah berkumpul di meja makan untuk menikmati sarapan pagi. Menu kali ini hanya oseng-oseng tahu campur tauge dan juga telur dadar, yang terlihat sederhana namun lezat. Tapi bagi Bu Marni masakan Karina sangat membosankan.
"Rudi, ibu bosan makan makanan kaya gini. Udah seminggu tidak pernah masak ayam," ucap Bu Marni dengan suara yang terdengar bosan dan tidak puas. Ia memandang Rudi dengan mata yang terlihat mengharapkan perubahan.
"Iya, mas. Aku juga bosen banget, pengen makan ayam atau ikan gitu," sahut Rina.
Rudi menghela napas berat. "Untuk saat ini, aku tidak bisa memberikan uang banyak untuk membeli sayur. Kalian yang sabar ya, seminggu lagi gajian kok, nanti setelah gajian pasti Karina akan masak ayam atau ikan," katanya dengan suara yang terdengar lelah dan tidak berdaya.
"Bilang dong kalau mau makan ikan. Tenang mas, besok aku bakalan masak ikan," kata Karina dengan santainya.
Rudi melotot tajam, ia sedang mencoba untuk memahami apa yang Karina maksud. "Karin, kamu kan tadi dengar, kalau aku lagi tidak bisa ngasih uang banyak buat beli sayur."
Karina tersenyum penuh arti, seolah-olah ia sedang mencoba untuk memberitahu Rudi bahwa ia memiliki rencana lain. "Tenang mas, uang belanja 30 ribu juga cukup kok buat beli ikan."
"Yang benar, kamu?" tanya Rudi penasaran. Ia memandang Karina dengan mata yang terlihat penasaran.
Karina mengangguk dengan suara yang terdengar mantap. "Benar dong. Oh ya mas, aku boleh ijin untuk ke rumah sakit," katanya dengan suara yang terdengar mengharapkan izin.
"Kamu sakit?" tanya Rudi dengan suara yang terdengar khawatir.
"Tidak mas, aku mau..."
"Menjenguk anak selingkuhannya," sahut Bu Marni dengan suara yang terdengar kasar dan tidak sopan. Ia memandang Karina dengan mata yang terlihat tidak suka.
"Bu.. Ibu itu apa-apaan sih. Aldo itu bukan anak selingkuhanku, mas," kata Karina dengan suara yang terdengar kesal.
"Tidak boleh! Kamu tidak boleh pergi ke rumah sakit," ucap Rudi dengan lantang dan tegas. Ia memandang Karina dengan mata yang terlihat tidak mau kompromi.
****
"Bagaimana keadaan Aldo, Ndrew?" tanya Lusi dengan suara yang khawatir dan ingin tahu tentang keadaan cucunya.
Andrew menghela napas berat. "Secara keseluruhan, kesehatan Aldo tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Ma. Hanya saja, anak itu menolak untuk makan dan terus menanyakan tentang Karina," katanya dengan suara yang terdengar khawatir.
Lusi berjalan menuju brankar Aldo, kemudian duduk di kursi yang ada di samping brankar. Ia memandang Aldo dengan mata yang terlihat penuh kasih sayang dan khawatir. "Aldo, makan dulu ya sayang, biar cepat sembuh! Oma suapin, ya," katanya dengan suara yang terdengar lembut dan mengajak.
Lusi mengambil mangkok berisi bubur yang ada di atas nakas. "Ayo, buka mulutnya... Aaaaaa.." ucap Lusi, berusaha untuk membuat Aldo membuka mulutnya dan makan.
Namun, Aldo menggelengkan kepalanya, tetap menolak suapan dari Oma-nya dan malah menangis kencang. "Aku mau sama mama Karina! Huhuhu.." tangisnya terdengar sedih dan tidak berhenti.
Lusi merengkuh tubuh mungil Aldo ke dalam pelukannya, tangan Lusi bergerak mengelus-elus pucuk kepala Aldo. Tak tega rasanya, melihat cucunya menangis seperti ini.
"Assalamu'alaikum..." ucap seseorang dengan suara yang terdengar sopan. Suara itu terdengar dari arah pintu, dan Lusi serta Andrew memandang ke arah itu untuk melihat siapa yang datang.
Bersambung...
lanjut Thor, penasaran!
wong data semua dari kamu