Xavier, dokter obgyn yang dingin, dan Luna, pelukis dengan sifat cerianya. Terjebak dalam hubungan sahabat dengan kesepakatan tanpa ikatan. Namun, ketika batas-batas itu mulai memudar, keduanya harus menghadapi pertanyaan besar: apakah mereka akan tetap nyaman dalam zona abu-abu atau berani melangkah ke arah yang penuh risiko?
Tinggal dibawah atap yang sama, keduanya tak punya batasan dalam segala hal. Bagi Xavier, Luna adalah tempat untuk dia pulang. Lalu, sampai kapan Xavier bisa menyembunyikan hubungan persahabatannya yang tak wajar dari kekasihnya, Zora!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 : Between Us
Luna mendorong pintu apartemen dengan bahu, menguap kecil sambil menendang sepatunya ke sudut pintu. Begitu aroma harum itu menyeruak dari arah dapur, ia spontan mengernyitkan dahi.
Aroma tumisan bawang dan rempah-rempah memenuhi udara, membuat perutnya yang sejak tadi diabaikan langsung memberontak lapar.
Dengan langkah ringan, Luna berjalan ke arah sumber aroma. Dan di sana, di balik meja dapur yang dipenuhi bahan makanan, berdirilah Xavier. Kaus lengan panjangnya digulung hingga siku, dan apron hitam tergantung santai di pinggangnya. Ia sibuk memotong sayuran dengan gerakan cekatan, tak menyadari kehadiran Luna yang kini bersandar di pintu dapur sambil menyilangkan tangan di dada.
"Sejak kapan kau berubah jadi koki?" seru Luna, suaranya setengah menggoda.
Xavier hanya melirik sekilas, sebelum kembali fokus ke talenan.
"Sejak aku sadar kulkas kita cuma berisi air mineral dan saus sambal," balasnya datar.
Luna terkikik, melangkah lebih dekat.
"Harusnya kau bangga, Xavier. Hidup serumah dengan seniman terkenal sepertiku memang penuh kejutan, termasuk keahlian dalam... mengabaikan isi kulkas."
Xavier mendesah, meletakkan pisau, lalu mulai menumis sayuran di wajan.
"Dan aku yang harus bertahan hidup dari kreativitasmu yang berlebihan itu."
"Kalau butuh bantuan, bilang saja. Aku bisa memesan makanan dalam hitungan menit," tawar Luna sambil menjulurkan tangan, mencubit sepotong wortel dari mangkuk.
"Tidak perlu. Aku sudah mulai," kata Xavier, setengah bergumam. "Lagipula, kau butuh makanan sungguhan, bukan junk food."
Ucapan itu, meski terdengar dingin, menghangatkan sesuatu di dalam diri Luna. Ia tahu Xavier perhatian, tapi ia tetap bersikeras memandang semua itu sebagai bentuk perhatian 'seorang teman', tidak lebih.
Ia menarik bangku tinggi di meja dapur dan duduk, dagunya bertumpu di tangan. "Jadi, apa menu spesial kita malam ini, Chef Xavier?"
Xavier menoleh cepat, seolah menahan senyuman. "Spaghetti aglio e olio. Mudah, cepat, dan tidak butuh bahan aneh-aneh."
"Wah, terdengar sangat romantis," goda Luna dengan tawa pelan.
Xavier hanya menggeleng, tak mau terpancing.
"Tenang, aku tidak akan jatuh cinta padamu hanya karena sepiring spaghetti," lanjut Luna sambil pura-pura serius.
Xavier mendesah panjang, kali ini menahan tawa. "Aku lega mendengarnya."
Suasana di dapur itu menghangat, ringan seperti biasa. Tidak ada ketegangan, tidak ada perasaan yang diakui.
Hanya dua teman... berbagi malam setelah hari yang melelahkan.
Atau setidaknya, begitulah Luna meyakinkan dirinya.
"Kau sibuk malam besok?" tanya Luna santai, sambil memutar garpu di jemarinya, memainkan bayangan kecil di atas meja.
"Enggak," jawab Xavier cepat, bahkan terlalu cepat, membuat Luna mengangkat satu alis, menatapnya curiga.
Xavier buru-buru menambahkan, dengan nada lebih terkendali, "Maksudku... jadwalku cukup longgar. Kenapa?"
Luna mengangkat bahunya, pura-pura acuh. "Ada undangan kecil dari galeri. Semacam private gathering untuk para seniman dan kolektor. Aku butuh seseorang untuk... yah, pura-pura jadi temanku, supaya aku tidak terlihat kesepian."
Xavier terkekeh pelan, mengaduk pasta dalam wajan. "Jadi kau mau menyewaku jadi teman sewaan, begitu?"
"Jangan terlalu bangga dulu. Aku pilih kau karena... kau gratis," canda Luna sambil menyeringai.
Xavier mengangguk seolah berpikir keras. "Baiklah. Tapi aku menuntut bayaran dalam bentuk satu loyang brownies."
Luna tertawa. "Sepakat. Brownies spesial ala toko roti depan galeri."
Mereka bertukar pandang sejenak, senyuman ringan menghiasi wajah masing-masing. Tanpa banyak kata, ada kehangatan samar yang mengalir di antara keduanya — kehangatan yang begitu akrab, tapi belum berani diakui lebih dari itu.
Xavier lalu memindahkan spaghetti ke atas piring, menyodorkannya pada Luna. "Ayo makan. Sebelum kau berubah pikiran dan memesan pizza."
Luna mengambil piring itu, matanya berbinar cerah. "Dengan berat hati, aku akui, kau mungkin satu-satunya dokter yang masakannya layak dipertahankan."
Obrolan hangat penuh canda berlanjut di meja makan.
Xavier, dengan nada setengah malas, mulai menceritakan tentang kejadian lucu di rumah sakit tadi pagi ketika ia membantu rekannya menghadapi seorang pasien kecil yang keras kepala menolak suntikan, dan malah bersembunyi di bawah ranjang sampai dua suster kewalahan membujuknya keluar.
"Bayangkan saja," kata Xavier sambil mengangkat alis, "anak itu bersembunyi sambil mengancam, 'Kalau dokter jahat itu mendekat, aku akan berubah jadi ninja!'"
Luna meledak dalam tawa, garpunya hampir terlepas dari tangan. "Astaga, aku bisa membayangkan ekspresi panikmu!"
"Aku tidak panik," sanggah Xavier pura-pura serius, "aku hanya... mempertimbangkan negosiasi damai."
"Hah, dokter galak sepertimu negosiasi damai? Dunia benar-benar sudah aneh," sindir Luna, menyeringai nakal.
Xavier menggelengkan kepala, tawa kecil lolos dari bibirnya. "Pada akhirnya aku menyuapnya dengan cokelat. Sungguh tak terhormat."
"Tapi manjur," balas Luna cepat, matanya berkilat geli.
Malam itu, di bawah cahaya hangat dapur, mereka berbagi cerita kecil yang entah kenapa terasa lebih berharga daripada hal-hal besar. Tawa Luna memenuhi ruangan, suara ceria yang sudah lama tidak Xavier dengar secara utuh. Ada sesuatu di dalam dirinya yang diam-diam mengendur, seolah semua kelelahan hari itu perlahan sirna.
Malam itu, setelah piring-piring kosong tersusun rapi di bak cuci, Luna menguap lebar dan meregangkan tubuh.
"Aku duluan, ya. Besok aku harus berangkat lebih pagi," katanya, mengambil gelas air putih lalu berjalan santai ke arah kamarnya.
Xavier hanya mengangguk dari sofa, menyandarkan tubuh lelahnya sambil mengikuti langkah Luna dengan tatapan diam.
"Selamat malam, Dokter Sibuk," seru Luna sambil melambai sebelum menghilang di balik pintu.
Pintu kamar tertutup, menyisakan keheningan yang terasa lebih berat dari biasanya.
Xavier mendesah panjang. Ia mendongakkan kepala, menatap langit-langit seakan mencari jawaban yang tak pernah benar-benar ia tanyakan.
Xavier bangkit perlahan, langkahnya menuju pintu kamar Luna.
Tanpa mengetuk, ia membuka pintu perlahan, suara engsel berdecit pelan dalam keheningan.
Cahaya lampu tidur remang-remang membuat sosok Luna yang terlelap tampak begitu damai di atas ranjang. Wajah mungilnya terbenam di bantal, nafasnya berirama lembut.
Ia berjalan mendekat, lalu tanpa banyak berpikir, ia menunduk dan menindih tubuh Luna dengan hati-hati, berusaha tidak membangunkannya dengan gerakan tiba-tiba.
Wajah mereka begitu dekat. Xavier menatap lama, menghafal setiap garis wajah yang selalu ia rindukan.
Dengan satu gerakan lembut, ia mengecup bibir Luna yang terkatup rapat.
Sebuah ciuman singkat, penuh kerinduan yang dipendam terlalu lama.
Bibirnya hanya menyentuh permukaan, seakan takut Luna akan terbangun.
Namun, tepat saat ia hendak menarik diri, kelopak mata Luna perlahan terbuka.
"Kau butuh asupan, Dok?" tanya Luna setengah berbisik.
"Iya," jawabnya jujur, "tapi sepertinya kau terlalu lelah untuk itu."
Luna merentangkan tangannya, mengundang Xavier ke dalam pelukannya. "Aku bisa toleransi untuk malam ini." Luna kembali memejamkan matanya. "Tapi ingat, jangan terlalu banyak menuntut gaya."
Senyum tipis muncul di wajah Xavier. "Kau bisa melakukannya sambil tidur," bisiknya di telinga Luna.
To Be Continued>>>
semangaaattt ya thor
Aku dukung 🥰