NovelToon NovelToon
Danyang Wilangan

Danyang Wilangan

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Horror Thriller-Horror / Mata Batin / Roh Supernatural
Popularitas:7.1k
Nilai: 5
Nama Author: neulps

RONDHO KANTHIL SEASON 2

4 tahun setelah tragedi yang menjadikan Desa Wilangan tak berpenghuni. Hanum masuk usia puber dan kemampuan spesialnya bangkit. Ia mampu melihat kejadian nyata melalui mimpi. Hingga mengarah pada pembalasan dendam terhadap beberapa mantan warga desa yang kini menikmati hidup di kota.
Hanum nyaris bunuh diri karena setiap kengerian membuatnya frustrasi. Namun seseorang datang dan meyakinkannya,
“Jangan takut, Hanum. Kamu tidak sendirian.”

CERITA FIKTIF INI SEPENUHNYA HASIL IMAJINASI SAYA TANPA MENJIPLAK KARYA ORANG LAIN.
Selamat membaca.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon neulps, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Nightmare

Hanum turun dari mobil Febri. Diciumnya dengan hormat punggung tangan kanan pria itu lalu masuk ke halaman depan panti asuhan. Febri menatap gadis itu yang berjalan dengan tegap, terlihat sangat dewasa. Febri beranjak masuk ke mobil. Memasang seatbelt, lalu melirik ke arah balkon rumah Taufan di samping kiri panti asuhan.

Febri hanya menatap pemilik rumah itu yang juga sedang memperhatikan dirinya. Kemudian Febri melajukan mobilnya, pulang. Meski waktu telah berlalu empat tahun sejak kecelakaan tragis itu, masih sangat segar di ingatan Febri ketika Taufan mengamuknya yang baru sadarkan diri dari koma beberapa hari. Butuh waktu lama untuknya pulih dari rasa sedih dan trauma.

Tak hanya kehilangan mama, Febri ditinggal pergi sahabat yang ia kasihi, sepupu manisnya, bahkan tiga teman yang menjadi anggota kelompok KKN yang diketuainya. Jadi ia sempat mengamuk balik Taufan karena tak terima kakak kedua Ozza itu menyalahkannya bahkan mengutuknya untuk sekalian tak usah hidup. Febri marah. Febri dendam.

Biantara mati-matian merukunkan adik dan teman karibnya itu lagi. Meski hingga sekarang tak ada interaksi berarti, setidaknya kedua pria itu tak lagi berkelahi. Meski canggung, sejatinya mereka sudah saling memaafkan. Sempat tak sengaja bertemu saat ziarah kubur, lalu sepakat untuk saling memahami luka batin satu sama lain.

“Pak Febri?” panggil Nayla yang duduk di kursi penumpang.

Sontak lamunan Febri buyar. Ia segera mengangguk lalu menginjak gas dengan pelan. Diliriknya pantulan wajah Nayla di kaca spion tengah. “Kamu dapet keluarga baru yang baik ya, Nay?”

Nayla yang sedang menguap langsung mingkem. Ia menunduk, lalu mengangguk. “Pak Raihan mantan suami Mbak Mira, ya?” Ia balik bertanya.

Febri tak menjawab. Sorot matanya tajam menatap arah depan. Kedua tangannya memegang setir dengan erat. Raihan yang pernah membebaskannya dari jerat hukum itu membuatnya teringat pada Mirandani ketika menarik tangannya lalu memperkenalkannya sebagai kekasih. Febri buru-buru mengalihkan pandangan sambil mengeratkan gigi. Sekuatnya menahan untuk tak menangis lagi, ada anak murid yang bersamanya saat ini.

Canggung. Nayla merasa tak enak hati karena menyebut nama wanita cantik yang telah tiada itu. Papa angkatnya yang memberi tahunya bahwa Mirandani sempat berpacaran dengan ketua kelompok KKN dan Nayla langsung paham. “Emm... Beliau ngangkat aku jadi anak setahun setelah tragedi desa, setelah istri pertamanya meninggal dunia,” terang Nayla.

Kemudian Nayla meruntutkan kisahnya.

Raihan dan istrinya tak memiliki keturunan kandung. Setelah menikahi Mirandani pun Raihan menuruti keinginannya untuk tak melahirkan anak. Setelah bercerai dengan Mirandani, Raihan dan istri pertama mengadopsi dua anak kembar sepupu sang istri yang menjadi yatim piatu. Sebulan kemudian tragedi longsor di Desa Wilangan terjadi. Setahun kemudian istri pertama meninggal, lalu Nayla diadopsi.

“Kak Eka sama Kak Dwi indigo juga kayak aku, Pak. Mereka yang ngajarin aku ngehajar lelembut. Meski aku udah digembleng sama mendiang Ayah tapi sejak dilatih kakak-kakak aku jadi lebih berani.”

Febri melirik lagi Nayla dari spion. Sedikit takjub pada gadis berwajah jutek yang sebenarnya baik hati itu. Ia masih ingat betul saat pertama kali bertemu Nayla di tugas melukis umbul-umbul. Bahkan dirinya mendapat penglihatan gadis itu sedang meraung di antara warga yang kalang kabut sambil memegang obor. Beruntung Nayla tak hadir di pasar malam, jadi Febri menganggap bahwa penglihatan itu hanyalah sebuah firasat akan terjadinya tragedi besar melalui Nayla yang menjadi perantara.

Febri berdeham. “Kamu dapet banyak temen, kan?”

Nayla mengangguk sambil tersenyum sedikit. “Iya! Aku bersyukur bisa menjalani masa mudaku sama mereka.”

Febri mendengus tawa. “Nayla. Kalo yang menghuni sekolah itu ngelunjak dikit, kamu langsung musnahin aja. Jangan kasih ampun. Mereka nggak seharusnya ganggu pemandangan kita.”

Nayla tergemap. Kuduknya meremang. Nasihat Febri menyiratkan kebengisan. Karena selama ini tak pernah sekalipun makhluk-makhluk itu mengganggunya dengan berlebihan. Hanya menjahilinya kadang-kadang. Jadi ia tak pernah berpikir untuk mengusir mereka selamanya dari sana.

Perlahan Nayla menggerakkan bola matanya ke arah kaca spion tengah. Dilihatnya sorot mata tajam Febri yang sedang fokus pada jalanan. Seketika itu juga Nayla tersadar, bahwa Febri tak boleh disinggung. Nayla memastikan bahwa mulai sekarang ia akan bersikap lebih hati-hati.

***

Setelah mandi, Hanum merasa ngantuk tak tertahan. Handuk basah ia sampirkan di pagar ranjang. Lalu merebahkan diri di kasur dan terlelap dengan cepat tanpa sempat menarik selimut. Meski begitu, ia bisa merasakan secara samar ada sebuah tangan yang tiba-tiba menggerayangi kakinya. Naik ke betis, ke lutut, lalu ke paha.

Hanum tak suka. Ia kesal karena merasa diganggu saat sedang ngantuk berat. Ia entakkan kakinya hingga tangan kasar itu terlepas dari sana. Entah orang, entah hantu, Hanum ingin menghardik pemilik tangan itu. Tapi matanya tak bisa terbuka, berat, sepat, dan atas alisnya terasa ngilu.

Pendar cahaya kecil yang meliuk seperti api lilin tertiup angin membayang di kelopak mata Hanum yang tertutup rapat. Mengernyit, Hanum yakin sebelumnya tak menyalakan lilin. Di tengah kebingungannya, indra penciuman Hanum menangkap bau wangi dupa yang menyeruak. Diimbuhi bau kemenyan, jeruk, dan bedak bayi.

Sejurus kemudian tangan besar nan kasar kembali naik di kakinya. Mengusap, bahkan menggerayang secara acak. Hanum kembali menyentakkan kaki. Tapi kedua tangan itu malah memegang kakinya dengan kuat sambil menggeram marah.

“Jangan!” jerit Hanum.

Barulah Hanum tersadar. Suaranya terdengar berbeda. Begitu pun dengan kaki yang ia gerakkan, lebih panjang dan berat dari miliknya. Siapa?

Hanum mengernyit dalam-dalam kemudian sekuatnya membuka mata meski berakibat membuat sakit kepala. Dan ia pun sontak membelalak mendapati sosok pria gempal berkulit legam sedang menatapnya intens, mulut menyeringai, helaan napas memburu, sorot mata penuh napsu.

“Pergi kamu!” hardik Hanum. Ia berusaha bangkit tapi pria itu lebih dulu menangkap bahunya. Ia ditekan dengan kuat hingga kembali terbaring di kasur. Pria itu lalu menciumi lehernya. Hanum histeris. Kepalanya menoleh ke sana kemari sambil tangan berusaha mendorong badan si pria supaya menjauh darinya.

Saat menoleh ke samping kanan, Hanum melihat pantulan dirinya di cermin sebuah lemari. Betapa Hanum terhenyak melihat sosok perempuan dengan wajah yang bukan miliknya. Siapa?

Begitu pula keberadaan sesaji dan perlengkapan ritual yang terletak di depan lemari membuat Hanum tak bisa berpikir jernih. Sekuat tenaga ia dorong pria itu yang makin berbuat ganas, menyobek piyamanya, bahkan menelusupkan tangan ke dalam celana. Hanum tak habis pikir. Ia sudah dilatih oleh tim Febri selama dua minggu, tapi tetap tak kuasa melawan pria asing itu. Mungkin karena ini hanyalah mimpi?

“AAAKKKH!!” jerit Hanum lagi.

Si pria tampak melotot marah. Dibekapnya Hanum dengan bantal. “Kalau kamu teriak, kamu bisa membangunkan semua orang!”

Hanum kesal. Ia ingin bangun dari mimpi buruk ini. Di tengah kondisi dirinya yang kian merasa sesak sedangkan bagian bawah tubuhnya berontak karena mengalami pemaksaan, Hanum coba konsentrasi.

Lalu—

Hanum merasa ada tepukan di pipinya. “Num!” panggil sebuah suara.

“EMP—PHAAHHH!!” Hanum membuka mata bersamaan dengan napas yang terembus bebas. Tersengal, terbatuk, kepala pening, pandangan berputar. Hanum mendapati dirinya berada di kamarnya lagi kali ini. Diliriknya seseorang yang membangunkannya.

“Kamu baik-baik aja?” tanya Taufan.

Hanum sontak bergidik melihat pria yang menjadi kepala panti itu. Lalu menggeleng cepat sambil berpikir, “Pria serem tadi bukan Pak Taufan!”

Hanum mengedar pandang. Di sekelilingnya ada teman-teman sekamar yang memandangnya dengan tatapan heran. Lalu napas memburu Hanum berangsur normal. Ia yakin hal mengerikan tadi hanyalah mimpi. Betapa ia bersyukur karena bisa segera bangun. Meski sudah tak takut hantu, nyatanya Hanum lebih takut akan perlakuan jahat manusia karena trauma di masa kecil yang sering dikasari ibunya.

“Saya nggak apa-apa, Pak. Cuma mimpi buruk.”

“Yaudah, kalo gitu kamu minum dulu,” ujar Taufan sambil meraih segelas air putih yang dibawa seorang anak lalu ia serahkan pada Hanum. “Bapak balik, ya. Kalo ada apa-apa lagi, kalian cepet telepon kayak tadi.”

Tiga teman Hanum mengangguk cepat. Taufan menepuk bahu Hanum lalu beranjak pergi.

***

Keesokan paginya, Hanum berhenti di depan gerbang sekolah menanti Nayla turun dari mobil yang saban hari mengantar kakak kelasnya itu. “Pagi, Num!” sapa Nayla, penuh semangat seperti biasa.

Lalu keduanya berjalan bersama. Tapi langkah Hanum tiba-tiba berhenti tepat di depan pos satpam. Mahesa mengernyit. “Ada apa?”

Hanum menoleh pelan ke arah dalam pos. Smart TV kecil yang terpasang di dinding pos menayangkan satu berita dengan volume yang tak diset keras. Tapi gendang telinga Hanum bisa menangkap suaranya dengan jelas.

“Num?” panggil Nayla saat Hanum berjalan pelan menuju pintu pos. Mau tak mau ia ikut juga. Lalu mengarahkan pandangan ke layar TV yang ditatap Hanum dengan mata lebar.

“.....ditemukan sudah tak bernyawa di dalam kamarnya dalam kondisi kepala dibekap bantal dan bagian bawah tubuhnya tanpa busana.”

DEG!

Napas dan detak jantung Hanum tak beraturan. Ia merasa familier dengan lokasi dalam video berita itu. Kasur kecil, lemari kaca di samping kanannya, dan kendi yang pecah berserakan dengan bunga-bunga di lantai.

“Saat ini pelaku pembunuhan sekaligus rudapaksa tersebut masih buron. Polisi juga menganggap ada keganjilan karena TKP dipenuhi bau kemenyan.”

Nayla dan Mahesa tampak sama-sama terkejut lalu saling pandang. “Kamu kenal orang di berita itu, Num?” celetuk Mahesa.

Hanum menggeleng. “Saya nggak kenal, Pak. Tapi saya mengalami momen mengerikan itu.”

1
Lyvia
suwun thor u/ upnya
reska jaa
aq bca dini hari thour.. senang aja ad kegiatan sambil mencerna mkann 🤭
n e u l: monggo monggo
terima kasih /Joyful/
total 1 replies
Ali B.U
ngeri,!
lanjut kak
n e u l: siap pak! /Determined/
total 1 replies
Andini Marlang
Ini lebih menenangkan 🥴🥴🥴🥴🥴
Bukan teror aja tapi ktmu org2 psikopat langsung 😔
n e u l: /Cry/
total 1 replies
Lyvia
lagi thor
n e u l: siap /Determined/
total 1 replies
Ali B.U
next
Andini Marlang: Alhamdulillah selalu ada Pakdhe Abu ... Barakallahu fiik 🌺
total 1 replies
Lyvia
suwun thor u/ upnya
Ali B.U
lanjut
n e u l: siap pak /Determined/
total 1 replies
Andini Marlang
makin seru ...💙💙💙💙💙

apa kabar ka ..... insyaa Allah selalu sehat juga sukses karya2 nya 🌺 🤲aamiin ......
Andini Marlang: Alhamdulillah sae .....🌺

sami2 .... Barakallahu fiik 💙
n e u l: alhamdulillah
apa kabar juga bund?
aamiin aamiin 🤲 matur suwun setia mengikuti karya ini ☺️
total 2 replies
Ali B.U
next
Lyvia
suwun thor u/ upnya
n e u l: sami-sami /Joyful/
total 1 replies
Ahmad Abid
lanjut thor... bagus banget ceritanya/Drool/
Lyvia
suwun thor u/ upnya
Ali B.U
next
Lyvia
suwun thor u/ upnya
Ali B.U
next
reska jaa
wahhh.. masih sempat up.. thank you👌
Lyvia
suwun thor u/ upnya
Ali B.U
next
Yulia Lia
lanjut thoor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!