"Payungmu hilang, langit pun menghujanimu dengan deras, serta angin yang berhembus juga kencang, yang membuat dirimu basah dan kedinginan"
"Ternyata tidak berhenti sampai disitu saja, hujan yang deras serta angin yang berhembus kencang ikut menenggelamkan dirimu dalam banjir yang menerjang"
"Sampai pada akhirnya kamu menghilang dan yang aku temukan hanyalah luka yang mendalam"
~Erika Aura Yoana
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amil Ma'nawi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Capek
"Assalamualaikum" Ucap Alvan yang baru saja masuk kedalam rumahnya. Alvan baru saja pulang dari kampusnya, tak lupa ia juga membawa gajinya dari tempat ia bekerja. Rencananya, Alvan ingin memberikan uang gajiannya pada sang mama.
"Ma, sini ma" Alvan memanggil Hani yang baru saja melintas di dekat pintu kamarnya. Hani pun masuk dan duduk di dekat putranya itu. Sebelum itu, Alvan mencium tangan Hani dan mencium keningnya.
"Ini, ma. Kebetulan Alvan baru terima gaji, dan Alvan mau kasih setengahnya buat mama" Hani tersenyum pada Alvan, ia sangat bangga pada putranya, yang ingin berbagi uang hasil jerih payahnya.
"Masyaa allah, nak. Mama benar-benar bangga sama kamu, terimakasih ya. Tapi, ini pakai aja buat keperluan kamu. Atau kamu simpan aja, siapa tau nanti kamu membutuhkannya"
"Enggak, ma. Alvan maunya ini buat mama, Alvan juga suka tabungin sisa uangnya kok. Terima, ya ma, plis" Hani pun hanya bisa menarik nafas dan membuangnya.
"Begini nak, mama gak butuh uang dari kamu. Karena masih ada papa kan, yang bisa menafkahi mama. Bukannya mama gak mau, tapi..." Tiba-tiba saja sesuatu terlintas dipikiran Hani.
"Yasudah mama terima, tapi kamu harus ikhlas ya, kalau mama kasih uang ini sama Haura" Seketika itu, raut wajah Alvan langsung berubah. Mana mungkin dia bisa ikhlas ketika uang untuk mamanya di berikan kepada orang yang selama ini ia benci.
"Karena dia lebih membutuhkannya" Lanjutnya. Tapi Alvan benar-benar tidak suka, ketika apa apa untuk Haura. "Ma, kenapa si? Uang ini buat mama, Alvan gak ikhlas kalo mama kasih uang ini sama Haura. Kenapa si ma? Gak mama, gak papa terus aja urusin anak itu? Alvan capek ma"
Alvan benar-benar kesal kali ini, dia ingin satu kali saja orangtuanya tidak memikirkan Haura. Karena itu membuat Alvan kesal, sakit hati dan iri. Tetapi Hani, ia malah tersenyum pada Alvan dan menyentuh pipi putranya. "Alvan, kenapa kamu begitu benci pada Haura? Apa Haura pernah berbuat salah sama kamu? Sampai kamu membencinya seperti ini?" Alvan diam tak bisa menjawab pertanyaan dari Hani. Karena, memang Haura tidak pernah berbuat salah padanya. Tapi tentang hal ini Alvan begitu membencinya.
"Tidak kan? Sekarang begini, coba kamu tukar dulu posisi kamu sama posisi Haura..." Perkataan Hani langsung di potong oleh Alvan. "Gak bisa ma, hidup Alvan sama Haura beda" Hani tetap sabar pada putranya itu. "Jika di dunia nyata, mungkin iya. Tapi coba kamu bayangkan dulu. Bagaimana jika kamu berada di posisi Haura, apa kamu akan bisa sekuat dia?
Ketika orang tuanya, meninggalkannya pergi entah kemana, dan yang dia punya hanya kita. Coba, apa kamu akan bisa? Dia harus sendiri, ketika semua anak-anak seusianya di temani orangtuanya, di peluk, di support. Apakah bisa? Dia cuma punya kita, dan kita pun belum bisa memberikan apa yang Haura butuhkan, apa yang Haura inginkan. Meski begitu, Haura tidak pernah meminta apa yang sebenarnya dia inginkan pada kita bukan?
Karena itu, dia butuh peran orang tua, dia butuh peran kakak. Seharusnya kamu bisa jagain dia, kamu hibur dia, kamu bisa buat Haura bahagia, layaknya seorang kakak untuk Haura" Ucap Hani panjang lebar, yang berhasil membuat Alvan terdiam. Tapi, entah dalam diamnya itu, dia luluh ataukah tetap saja seperti itu.
"Tapi ma, gak bisa. Alvan bukan kakak dia, dan Haura bukan adik Alvan" Hani baru tersadar, kalau ternyata putra semata wayangnya belum dewasa dan belum bisa mengerti keadaan seperti ini. Tapi itu tak menjadi masalah, Hani akan selalu mengingatkan putranya itu, dan Hani yakin, kalau seiring berjalannya waktu, Alvan akan menyadarinya sendiri.
HARBY KELABU
Setelah menghabiskan waktu bersama sang mama, Alvan pun pergi ke runah oma, kira-kira saat itu pukul lima lebih dua puluh menit. Alvan menemani oma yang tengah menunggu Haura pulang. Oma begitu terlihat khawatir, disaat jam segini cucunya belum pulang juga dari sekolah.
Hal itu membuat Alvan sangat kesal dan ingin memarahi Haura jika dia sudah datang. Tu anak kemana si? Gak tau apa ini udah sore, oma juga khawatir banget kayaknya. Alvan menghampiri oma dan mencoba untuk menenangkannya.
"Oma, udah ya oma jangan khawatir. Bentar lagi Hora pasti pulang kok" Alvan mengelus kedua pundak oma dengan lembut.
"Tapi Haura belum pulang, nak. Gak biasanya dia pulang sesore ini, oma takut dia kenapa-napa" Sampai akhirnya, air mata menitik dari mata oma. Beliau begitu khawatir, takut akan sesuatu terjadi pada cucunya. Ia sangat menyayangi Haura lebih dari Alvan, semua orang tau, Haura sudah besar dan bisa menjaga diri, tapi tidak bagi oma. Bagi oma, Haura adalah cucu kecilnya, yang masih polos.
Beberapa menit kemudian, seseorang yang sedang oma tunggu datang. "Assalamu'alaikum, oma" Ucap Haura dengan senyuman khas miliknya. Tetapi oma merasa ada pemandangan aneh dari Haura. Yaitu baju sekolah yang tampak kotor, jilbab dan bajunya terlihat basah. Dengan tatapan panik oma menghampiri Haura dan bertanya-tanya padanya.
"Ya allah, sayang? Kenapa baju kamu kotor seperti ini? Kenapa bisa? Apa yang terjadi? Kamu gak kenapa-napa kan sayang? Oma khawatir sama kamu" Oma menitikkan air mata di hadapan Haura, yang mana hal itu membuat Haura sangat merasa bersalah. Haura mengangkat tangannya, dan menghapus air mata oma.
"Oma jangan sedih, maaf ya Haura pulang telat banget. Haura baik-baik aja kok, tadi cuma jatoh ke got, kesenggol angin oma, hhe" Oma tertawa kecil sambil menghapus air matanya. "Mana ada kesenggol angin, nak. Kamu ini ada ada aja"
"Yaudah omanya jangan nangis lagi, Hauranya kan udah pulang. Maaf ya, Haura udah bikin oma khawatir. Haura sayang oma"
"Iya iya, sayang. Yaudah kamu mandi, ini udah mau maghrib. Lain kali kalo mau pulang telat bilang dulu sama oma, biar oma gak khawatir" Oma memperingati Haura sambil berjalan bersama Haura kedalam rumah. Haura melihat ke arah Alvan dengan tatapan datar saat dirinya melewati Alvan.
Selesai mandi, Haura duduk di depan cermin dan melihat lebam lebam yang ada di wajahnya. Haura mengompresnya dengan sendiri, setelah tadi ia mengambil es batu dari dalam kulkas.
"Awwh,,, sakit banget. Ahh" Haura meringis ringis di dalam kamarnya. Karena lukanya terasa begitu ngilu saat di kompres dengan es. Untung saja, oma tidak menyadari bahwa ada luka lebam di wajahnya. Karena tadi luka lembamnya terhalang oleh dedaunan yang menempel di wajah Haura.
Di waktu yang bersamaan, pintu kamar Haura terbuka. Haura sedikit terkejut, ia langsung berdiri dan menutupi luka lebamnya dengan tangannya. Haura tidak berani memutar tubuhnya untuk berhadapan dengan seseorang yang sudah masuk kedalam kamarnya tanpa izin.
"Heh" Alvan memutar tubuh Haura untuk berhadapan dengannya. Disitu Haura masih menutupi luka lembamnya. "Kemana aja lo? Pulang sesore ini? Lo pikir oma gak khawatir sama lo? Heuh!" Haura memutar bola matanya, malas berurusan dengan orang yang saat ini ada di hadapannya.
"Haura tau oma khawatir sama Haura, dan oma akan selalu khawatir kalo Haura gak pulang tepat waktu" Haura mencoba untuk membela dirinya sendiri. "Kalo lo tau, terus kenapa lo malah lakuin itu?! Lo malah ngelakuin hal yang bisa bikin oma khawatir! Lo udah bikin oma na..." Perkataan Alvan langsung di potong begitu saja oleh Haura.
"Udah Avan udah! Haura capek, Haura baru pulang, Haura mau istirahat, hiks" Perkataan Haura penuh dengan penekanan. Haura terisak saat mengatakannya, tangannya pun mengepal dan melupakan luka lebam di wajahnya.
"Wajah lo kenapa?" Haura menepis tangan Alvan yang berusaha meraih wajahnya. "Jangan peduliin Haura... Keluar ya?"
"Enggak, tapi wajah lo kenapa, Hor?" Alvan mencoba memaksa, tetapi Haura lebih memaksa lagi. "Haura bilang keluar, dan jangan sok peduli!" Ucapnya dengan rahang yang mengeras. Akhirnya, Alvan hanya bisa menurut. Baru kali ini, Alvan melihat Haura semarah itu padanya. Sejauh ini Haura selalu diam jika ia marahi, tapi kali ini berbeda.
Kenapa anak itu? Kok kayak ada bekas pukulan di wajahnya Alvan berniat untuk mengetuk pintu kamarnya, namun ada satu hal, yang membuat Alvan membatalkan niatnya. Yaitu suara isakan tangis dari dalam bilik Haura.
Dia nangis?
Bersambung...
Hauranya kenapa ya bisa gitu? Apakah ada sesuatu yang terjadi? Atau apa memang benar dia terjatuh ke selokan?
Mana aku tau...
Markijut...
Jangan lupa like, komen dan votenya untuk Haura...
yg penting bersatu kan?
wkwkwk
mksdnya, thor????
salken, Thor