Demi biaya pengobatan ibunya, Alisha rela bekerja di klub malam. Namun kepercayaannya dikhianati sang sahabat—ia terjerumus ke sebuah kamar hotel dan bertemu Theodore Smith, cassanova kaya yang mengira malam itu hanya hiburan biasa.
Segalanya berubah ketika Theodore menyadari satu kenyataan yang tak pernah ia duga. Sejak saat itu, Alisha memilih pergi, membawa rahasia besar yang mengikat mereka selamanya.
Ketika takdir mempertemukan kembali, penyesalan, luka, dan perasaan yang tak direncanakan pun muncul.
Akankah cinta lahir dari kesalahan, atau masa lalu justru menghancurkan segalanya?
Benih Sang Cassanova
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibu.peri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LIMA TAHUN KEMUDIAN
California, Amerika Serikat
Mentari pagi menyelinap malu-malu lewat jendela kaca besar di sebuah rumah bergaya modern minimalis yang berada di kawasan elit San Marino, California. Di dalamnya, seorang gadis kecil berambut panjang kecokelatan berlari-lari kecil di atas lantai marmer, mengenakan gaun berwarna pastel.
"Mommy!" pekiknya nyaring sambil memeluk kaki seorang wanita muda yang sedang mengenakan blazer putih dan high heels.
Wanita itu tersenyum lembut. Wajahnya tetap cantik meski tanpa polesan makeup yang berlebihan. Ia adalah Alisha, yang kini telah menjadi seorang ibu sekaligus model paruh waktu untuk merek fashion di Los Angeles.
Alisha berjongkok dan membelai pipi sang putri, Althea, yang kini berusia lima tahun. Matanya cokelat gelap, dengan tatapan tajam seperti seseorang.
“Iya, sayang. Mommy harus bekerja. Thea main di rumah sama nenek Martha, ya.”
Thea mengerucutkan bibirnya. Tapi alih-alih merengek, ia malah menyilangkan tangan di dada dan menatap ibunya penuh perhitungan. “Mommy.. Thea mau ikut. Siapa tahu di luar sana ada calon Daddy untuk Thea.”
Alisha terbelalak. “ALTHEA!”
Thea langsung tersentak, tapi buru-buru berlari masuk ke kamarnya sambil tertawa kecil. “Ups! Kabuuuuuur...”
Alisha mengusap wajahnya dengan satu tangan, lelah. Lagi-lagi sang putri bicara tentang Daddy. “Astaga... anak ini” gumamnya jengkel. Thea memang anak yang pintar—terlalu pintar untuk usianya. Tingkahnya sering kali membuat Alisha ingin tertawa dan frustrasi dalam waktu bersamaan.
“Biarkan saja, itu tandanya dia cerdas.”
Suara lembut datang dari arah dapur. Martha, wanita paruh baya dengan rambut memutih rapi diikat ke belakang, membawa secangkir teh hangat. Ia adalah satu-satunya orang yang menemani Alisha sejak ia pergi dari Kanada.
“Pergilah, nanti kamu terlambat. Ajak saja, siapa tahu kali ini, thea akan menemukan Daddy baru untuknya,”
Ucap Bibi Martha sambil tersenyum. Alisha hanya bisa menghela napas, lalu berdiri mengambil tasnya.
"Baiklah Bi... Alish pergi dulu ya," ucap Alisha mencium pipi Martha, lalu bergegas keluar.
Bibi Marta hanya memandangi kepergian mereka. Ia tahu, Alisha tidak pernah suka saat seseorang membahas tentang Daddy dari Thea. Seolah itu sebuah trauma baginya, dan bibi martha tidak ingin bertanya apapun tentang itu.
*
Di halaman rumah, sebuah mobil Porsche berwarna silver berhenti tepat di depan pagar otomatis. Klakson berbunyi tiga kali—kode khusus yang tak asing lagi bagi Alisha.
TIN.. TIN.. TIIINNN...
"Alish! Cepatlah! Aku bisa mati kepanasan di dalam mobil ini!" teriak seorang wanita dari dalam.
Alisha meringis sambil buru-buru turun dari tangga rumah. “Cerewetmu tidak pernah berubah.”
Itulah Elsa, sahabat Alisha yang ia temui secara tidak sengaja tiga tahun lalu di rumah sakit. Elsa adalah manajer modeling dengan lidah tajam tapi hati selembut kapas. Hubungan mereka yang semula karena insiden kecil—Elsa menabrak Alisha di parkiran rumah sakit—berkembang menjadi persahabatan yang erat.
“Mana keponakanku?!” tanya Elsa begitu kaca mobil terbuka. Matanya celingukan mencari sosok kecil yang selalu menyambutnya.
Belum sempat Alisha menjawab, pintu rumah terbuka.
"Aunty Els!" teriak Thea sambil berlari cepat ke arah mobil.
Elsa langsung turun dari mobil, membuka tangan dan menggendong Thea dengan mudah. “Duh, anak kecil manis ini makin berat! Kamu makan apa sih, hmm?”
"Aunty Elsa, aku mau ngomong penting!" bisik Thea sambil menutupi telinga Elsa dengan tangannya.
“Oke, oke... Ayo kita bisik-bisik.” Elsa tertawa geli sambil membawa Thea masuk ke mobil.
Setelah Alisha masuk dan mereka mulai melaju, Thea mencondongkan tubuh ke depan dari kursi belakang, mengusap bahu Elsa dengan gaya serius.
“Aunty, Thea sudah memutuskan.”
“Memutuskan apa?” Elsa mengernyit heran, sambil melirik dari kaca spion.
Thea menjawab dengan ekspresi serius, “Thea mau punya Daddy. Tapi bukan Daddy biasa. Harus tampan, kaya, dan bisa main tembak-tembakan.”
Alisha yang duduk di sebelah Elsa mendesah pelan, lalu menepuk jidat. “Oh Tuhan…”
Elsa tertawa terpingkal-pingkal. “Tampan, kaya, dan bisa main tembak-tembakan? Kamu cari Daddy atau seorang penjahat?”
“Serius Aunty. Mommy tidak boleh sendiri terus. Kasihan.. Dia suka ngomong sendiri di kamar kalau malam, kadang bicara tentang Smith, Thea kira itu nama makanan.”
Alisha langsung menoleh ke belakang dengan tatapan membunuh. “Thea!!”
Melihat itu, Thea langsung diam, ia tidak berani lagi bicara, jika ibunya sudah marah. Sedangkan Elsa menahan tawanya, ia tahu. Alisha paling tidak suka membahas pria.
**
DIBELAHAN BUMI LAIN – KANADA
W.S Corporation
Langit Kanada siang itu terlihat kelabu, namun suasana di lantai tertinggi gedung W.S Corporation justru dipenuhi aura tegang. Seorang pria duduk tegap di balik meja besar berlapis kaca. Jasnya rapi, dasinya presisi dan rambutnya ditata sempurna ke belakang. Tatapan matanya fokus menatap berlembar-lembar dokumen yang memenuhi meja. Dialah Theodore Smith—dulu dikenal sebagai pria flamboyan dan pemuja pesta, namun kini, ia berubah menjadi seorang CEO yang disegani.
Sudah lima tahun berlalu sejak peristiwa yang mengubah hidupnya. Tidak ada lagi klub malam, tidak ada lagi wanita berganti setiap pekan. Hidupnya kini hanya dipenuhi angka, rapat, dan target perusahaan.
“Tuan, nanti siang Anda dijadwalkan rapat dengan perwakilan investor dari California, lalu pukul tiga akan ada presentasi dari divisi ekspansi internasional.”
Suara itu berasal dari Jimy, asisten kepercayaannya. Pria muda itu berdiri sambil memegang iPad, wajahnya serius menunggu instruksi.
Theo tidak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan sambil mencoret-coret di atas dokumen. Konsentrasinya tak tergoyahkan.
Hingga tiba-tiba—klik—pintu ruangannya terbuka lebar. Seorang pria dengan kemeja abu-abu dan wajah tak tahu malu melangkah santai, tanpa permisi, lalu menjatuhkan diri ke atas sofa kulit di sudut ruangan.
Melihat itu, Jimy langsung pamit undur diri.
“Theo, kau tidak bosan hidup begini terus? Tiap hari kerja, rapat, kerja, rapat… Kau bukan robot, dude.”
Suara santai penuh ejekan itu datang dari Juna, sahabat lamanya.
Theo menghela napas. Ia meletakkan dokumen, lalu berjalan pelan ke arah sofa dan duduk di hadapan Juna.
“Kalau hanya datang untuk mengganggu, lebih baik kau pergi saja. Aku sedang tidak punya waktu.”
Nada bicaranya dingin, namun tidak mengusir. Mereka terlalu dekat untuk saling sungkan.
Juna menyeringai lebar. “Hahaha! Demi Tuhan, ekspresi seriusmu itu benar-benar membuatku ingin melemparmu pakai bom.”
“Kau datang hanya untuk mengejek?” balas Theo datar.
“Tentu tidak. Aku datang karena aku khawatir. Setiap kali aku hubungi, kau selalu bilang sibuk. Seolah-olah dunia akan runtuh jika kau berhenti bekerja.. satu jam saja.”
Theo hendak berdiri, tapi ucapan Juna berikutnya membuatnya diam di tempat.
“Apa kau masih mencari wanita itu? Yang terakhir kali bersamamu... di Kanada lima tahun lalu?”
Hening sesaat. Sorot mata Theo berubah. Jelas sekali, topik itu masih menjadi rahasia baginya.
“Gerry sudah mencarinya ke seluruh penjuru. Jejaknya hilang. Seolah dia ditelan bumi.” Theo menunduk sesaat, lalu bersandar.
Juna menaikkan satu alis. “Kau yakin tidak ada yang menyembunyikannya? Mungkin… seseorang?”
Theo menatap sahabatnya dengan serius. “Itu yang sedang kupikirkan. Mungkinkah... ada yang sengaja menjauhkan dia dariku?”
Juna tertawa kecil. “Theo, kau terlalu dramatis. Dia hanya pelayan. Maksudku... mungkin dia punya alasan. Bisa jadi dia kabur karena malu. Atau, kemungkinan lainnya—” Juna berhenti, menatap Theo lurus. “Dia ha mil...”
Ucapan itu seperti bom. Theo tiba-tiba berdiri dan menghantam meja dengan kedua tangannya.
“Sial! Aku baru ingat! Aku... tidak memakai pengaman dan aku bahkan mengeluarkan didalam berkali-kali!”
“Astaga... Jadi, bagaimana jika wanita itu ha mil?” Juna ikut berdiri, wajahnya antara cemas dan bingung.
Theo berjalan mondar-mandir, gelisah. “Kalau dia ha mil… dan mengandung anakku… kenapa dia tidak pernah mencariku?”
“Mungkin dia takut. Atau... mungkin dia ingin anaknya tumbuh tanpa seorang pria sepertimu. Pasti dia tahu, kau seorang b*jingan.”
Theo menghentikan langkahnya. Matanya menatap kosong. “Atau mungkin... dia sudah mati. Bvnvh diri karena ketakutan. Itu sebabnya tidak ada jejaknya.”
Juna mengerutkan dahi, tidak yakin apakah ucapan itu hanya dugaan atau firasat buruk. Ia mendekat dan menepuk bahu Theo.
“Hey... Dengar. Kalau pun benar dia ha mil, kalau pun dia punya anak darimu... bukan berarti semuanya berakhir. Kau punya sumber daya. Minta tim investigasi khusus mencarinya lagi.”
Theo mengacak-acak rambutnya, merasa kesal jika mengingat tentang Alisha yang membuatnya menjadi pria tidak normal.
"Jika bertemu dengan wanita itu, apa kau akan menikahinya?," Tanya Juna.
"Aku tidak berminat untuk menikah," jawab Theo acuh.
Juna hendak menjawab, tapi seperti biasa—mulutnya justru memilih berkata seenaknya.
“Sebaiknya kau harus menikahinya. Siapa tahu kau bisa sembuh, jadi Kau tidak perlu repot-repot membayar wanita malam untuk tidur denganmu lagi. Kau hanya Tinggal bilang, ‘Sayang, aku ingin menjelajahi bukit dan lembah hari ini’, dan istrimu akan langsung pasrah. Gratis, bersih, dan tanpa kontrak sewa!”
Ia tertawa keras, jelas sedang mencoba mencairkan suasana.
Theo menatapnya tajam. “ Jangan buat aku ingin melemparmu dari gedung ini.”
BRUK!
Kaki Theo dengan mulus menendang betis Juna.
“AWW!! Theo, kau manusia tidak punya hati!” ringis Juna, sambil memegangi kakinya yang nyaris mati rasa.
“Lain kali jangan bicara soal 'gunung dan lembah' kalau kau masih ingin punya kaki.” ujar Theo datar.
Di tengah gurauan dan rasa frustasi itu, tak seorang pun dari mereka tahu… bahwa jauh di belahan bumi lain, seorang gadis kecil berusia lima tahun sedang sibuk memaksa ibunya mencarikan seorang pria yang ia sebut “Daddy”.