El Gracia Jovanka memang terkenal gila. Di usianya yang masih terbilang muda, ia sudah melanglang buana di dunia malam. Banyak kelab telah dia datangi, untuk sekadar unjuk gigi—meliukkan badan di dance floor demi mendapat applause dari para pengunjung lain.
Moto hidupnya adalah 'I want it, I get it' yang mana hal tersebut membuatnya kerap kali nekat melakukan banyak hal demi mendapatkan apa yang dia inginkan. Dan sejauh ini, dia belum pernah gagal.
Lalu, apa jadinya jika dia tiba-tiba menginginkan Azerya Karelino Gautama, yang hatinya masih tertinggal di masa lalu untuk menjadi pacarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Beyond Crazy
...Bagian 13:...
...Beyond Crazy...
...💫💫💫💫💫...
Label setengah gila yang disematkan kepada Jovanka memang tidak datang tanpa alasan. Terlepas dari tingkahnya yang absurd dan cenderung nekat, beberapa keputusan yang dia ambil juga terkadang diikuti masalah baru yang lebih rumit dan berbahaya.
Kalau ini gadis normal, mereka pasti akan ketakutan, kalang kabut mencari bantuan agar sumber pengganggu yang mengancam keselamatannya bisa disingkirkan. Tetapi karena ini adalah Jovanka, alih-alih bersikap waspada dengan mengurangi aktivitas di luar rumah, dia malah lebih sering kelayapan.
Tidak tahu waktu. Mau pagi, siang, bahkan tengah malam sekalipun, dia tetap melenggang pergi meninggalkan zona aman demi mengejar kesenangan. Riuh tepuk tangan dari para pengunjung Six Club masih menjadi sesuatu yang membuatnya bersemangat. Kehadiran David sama sekali bukan halangan.
"So," Menyesap whisky sedikit, dia mengalihkan perhatian pada Karel yang duduk di sisi kiri. Tatapannya masih sama seperti malam-malam sebelumnya, penuh puja, penuh damba. "Kapan rencananya lo mau kenalin gue as pacar ke Om Gavin dan keluarganya?"
"Shut up."
"Why? Ini udah hari ke-sebelas, kenapa lo masih nggak mau mengakui bahwa hubungan kita udah resmi dimulai?"
"Jovanka," Suara Karel kedengaran lebih tegas dari biasanya, raut wajahnya tampak serius. "Ini bukan waktunya bercanda soal itu. Mending lo pikirin mau gimana ke depannya, itu si David masih berkeliaran di sekitar kompleks apartemen kita."
Jovanka berdecak sebal. Bola matanya berotasi malas. "Udah gue bilang, jangan bahas soal dia lagi."
"Doesn't he scare you at all?"
Kepala Jovanka bergerak ke kiri dan ke kanan dalam tempo cepat. "Apa yang harus gue takutkan dari jamet kabupaten alay itu?"
"Dia bisa aja nekat," kata Karel. Suaranya datar, tapi tatapannya menajam. "Orang yang lo kasih label jamet itu bisa aja lakuin sesuatu yang berbahaya, karena lo terlalu meremehkan keberadaan dia."
"Well," Jovanka memotong, menenggak whisky sedikit lagi sebelum melanjutkan, "Gue punya lo, jadi buat apa khawatir?"
"Nggak ada yang bilang gue bakal selalu ada buat lo."
"Gue yakin lo nggak akan ke mana-mana," sahutnya percaya diri. Sebelah bibirnya terangkat tidak terlalu tinggi, namun cukup untuk menunjukkan kepuasan atas ekspresi yang muncul di wajah Karel setelahnya. "Lo bisa tutup mata dari awal, kalau memang nggak berniat buat peduli."
Jengah, Karel menyambar gelas di depannya, lalu menenggak isinya sampai tandas. Genggamannya mengerat pada gelas kosong itu ketika dikembalikan ke atas meja, sementara tatapannya tertuju lurus ke depan, tajam dan penuh pertimbangan.
Meskipun Jovanka terus mengatakan bahwa David tidak akan berbuat macam-macam, Karel tetap tidak bisa duduk dengan tenang. Ketika tatapannya bertemu dengan David sore itu, dia merasa ada yang tidak beres. Kedatangan David jelas bukan sekadar untuk mengganggu kehidupan Jovanka yang mulai berangsur tenang, tetapi lebih dari itu. Dia yakin David datang dengan seribu satu rencana, hanya menunggu waktu sampai realisasinya terlihat pelan-pelan.
Tapi, bagaimana caranya membuat gadis gila ini mengerti apa yang dia khawatirkan tanpa membuat sikapnya semakin menyebalkan? Sejak dia menunjukkan kekhawatiran, Jovanka jadi semakin tengil. Mendesaknya untuk segera mengakui hubungan pacaran mereka hanyalah satu hal, dia yakin tidak lama lagi akan ada gebrakan yang lebih mengejutkan.
"Kalau lo nggak mau kenalin gue sebagai pacar ke Om Gavin secara langsung, kasih gue kontaknya dia aja. Gue yang bakal memperkenalkan diri gue sendiri."
"Diem," sentaknya. Suaranya dalam, nyaris seperti sedang menggeram. Gelas kosong digenggamannya lepas. Stool bar diputar hingga tubuhnya berhadapan langsung dengan Jovanka. "Jangan bahas soal itu. Gue lagi nggak mood buat ladenin tingkah lo yang nyebelin."
Jovanka mengulum senyum, menikmati ketegangan di wajah Karel yang semakin kentara dari detik satu ke detik lainnya. Setelah sekian lama, apakah ini saatnya dia merayakan keberhasilannya menarik perhatian lelaki ini?
"It's okay," whisky ditenggak lagi, kali ini lebih banyak sampai hampir membuat gelasnya kosong. "Pelan-pelan aja. Gue tahu memang butuh waktu buat beradaptasi dengan hubungan kita."
"El Gracia Jovanka."
"Iya, iya, gue bakal berhenti di sini." Jovanka bangkit setelah mengosongkan gelas. Sudut-sudut bibirnya terangkat, tatapannya melembut. Lalu, tanpa memberikan clue, dia tiba-tiba saja mencium pipi Karel, membuat wajah lelaki itu seketika merah padam.
"I want to dance all night long. Stay if you want, leave if you don't. Don't worry, I promise to get home safely." Tutupnya, kemudian melenggang menuju lantai dansa.
Lenggak-lenggok pinggangnya berhasil menarik perhatian hanya dalam sekejap mata. Riuh tepuk tangan mulai terdengar heboh, bersahutan dengan suara para penggemar yang bergantian menyerukan namanya. Malam ini pun, dia akan menjadi peran utama.
...💞💞💞💞💞...
Hampir pukul tiga ketika Jovanka keluar dari bangunan Six Club. Langkahnya sempoyongan, pandanganya mengabur, dan kepalanya terasa berat. Dia tidak berencana untuk minum terlalu banyak, tetapi setelah mendapati suasana yang begitu meriah, dia tidak tahan untuk menenggak alkohol lagi dan lagi.
Jovanka tidak berpikir Karel akan sudi menunggunya sampai selesai, jadi ketika menemukan kursinya telah kosong, Jovanka sama sekali tidak merasa sedih. Namun, sewaktu netranya yang sudah sedikit kabur menemukan sosok Karel berdiri di samping mobilnya dengan tangan bersedekap, dia tidak bisa menahan senyum.
Jovanka mempercepat langkah. Heels biru tua miliknya sudah ditenteng sejak melangkah keluar pintu kelab, memudahkannya untuk menaikkan kecepatan langkah dengan risiko terjungkal rendah. Semakin dekat dengan Karel, senyumnya semakin lebar, matanya kian bersinar.
"I told you I'd get home safely." Seperti sudah putus urat malu, dia menyambar lengan Karel dan menggamitnya erat. Kepalanya yang pusing didaratkan di bahu laki-laki itu, matanya terpejam sebentar.
Dalam angan-angannya, Jovanka menciptakan adegan-adegan romantis yang sesekali dibacanya dari naskah-naskah novel romantis yang disuntingnya. Biasanya, setelah mabuk begini, female lead akan dibawa pulang oleh male lead, dimasukkan ke huniannya dengan selamat, ditidurkan di kasur yang empuk dan diselimuti. Lalu, ketika suasana sedang sunyi, perasaan mereka beradu. Gejolak mulai bermunculan di dada, meletup-letup manja bak permukaan air yang mendidih.
Malam seperti itu biasanya akan berakhir indah. Kemudian pagi menyambut dengan rona merah malu-malu di kedua belah pipi mereka, sesaat saja setelah pandangan mereka bertemu.
"You're wearing a different perfume, huh? Aromanya beda kayak yang biasa." Kepalanya terangkat perlahan. Rahang tegas Karel menyambut pandangan. So sexy, sialan, batinnya menggeram.
"No, I didn't, Gracia."
Senyum di wajah Jovanka, pudar perlahan-lahan. Bukan hanya karena nama panggilan, tapi juga suara yang keluar dari laki-laki ini bukankah yang ia harapkan.
Perlahan, detak jantungnya meningkat. Jovanka bergeser, melepaskan genggamannya di lengan, mengatur jarak aman.
Otak lemotnya belum selesai mencerna situasi, saat tangan lain menyergap lengannya, menarik tubuhnya kasar hingga terhuyung nyaris jatuh. Kepalanya mendongak, lantas bibirnya terbuka cukup lebar saat menemukan Karel berdiri di sampingnya dengan wajah merah padam.
Jovanka mengatupkan bibirnya perlahan, tenggorokannya mendadak terasa kering dan mengganjal. Diperhatikannya lagi Karel yang pertama kali dia temui. Kelopak matanya mengerjap berkali-kali, pandangan buramnya perlahan-lahan membaik. Dan seketika itu, sekujur tubuh Jovanka bergidik. Saliva tersangkut di kerongkongan, sulit sekali untuk ditelan. Merinding merayap sampai ke tulang belakang, tak menyangka bahwa beberapa saat lalu, ia dengan sembrononya menggelendoti David—yang dia kira adalah Karel.
"What the fuck..." gumamnya.
"Yeah, what the actual fuck," sambar Karel—yang asli. Dari suaranya, amarah terdengar jelas, bahkan oleh telinga Jovanka yang setengah teler. "I told you to be careful. Tapi lo sama sekali nggak dengar."
Rasanya, sesuatu yang besar jatuh menimpa Jovanka, membuat sekelilingnya terasa berputar. Terlebih saat tangan besar Karel perlahan melepaskan lengannya, tubuh setengah teler itu seketika sempoyongan.
Tapi Jovanka, dalam setengah sadarnya itu, dipaksa untuk mengumpulkan kewarasan secepat kilat saat tahu-tahu Karel menerjang maju, menghantam wajah David. Tidak sekali, tidak dua kali. Karel memukuli David bertubi-tubi, sampai tubuh lelaki itu tersungkur ke tanah. Rintihan kesakitan mendobrak rungu Jovanka, dan output yang keluar sebagai respons darinya adalah... berteriak histeris, meminta pertolongan.
"Help! Don't let my boyfriend get hurt!"
Ya... Dalam keadaan genting begitu, yang Jovanka pikirkan tetaplah Azerya kesayangannya. Padahal yang sedang babak belur dihajar tanpa ampun adalah David.
Memang tidak salah. Jovanka adalah gadis gila.
Bersambung....