Embun Nadhira Putri, 28 tahun, terjebak antara tuntutan pekerjaan dan desakan keluarganya untuk segera menikah. Ketika akhirnya mencoba aplikasi kencan, sebuah kesalahan kecil mengubah arah hidupnya—ia salah menyimpan nomor pria yang ia kenal.
Pesan yang seharusnya untuk orang lain justru terkirim kepada Langit Mahendra Atmaja, pria matang dan dewasa yang tidak pernah ia pikirkan akan ia temui. Yang awalnya salah nomor berubah menjadi percakapan hangat, lalu perlahan menjadi sesuatu yang jauh lebih berarti.
Di tengah tekanan keluarga terutama sang Mama, rutinitas yang melelahkan, dan rasa takut membuka hati, Embun menemukan seseorang yang hadir tanpa diminta.
Dan Langit menemukan seseorang yang membuatnya ingin tinggal lebih lama.
Terkadang takdir tidak datang mengetuk.
Kadang ia tersesat.
Kadang ia salah alamat.
Dan kali ini…
takdir menemukan Langit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 – Almost Meet-Cute
Kabut pagi perlahan turun dari pucuk-pucuk pinus, menipis seperti selimut tipis yang mulai tersibak oleh matahari. Udara gunung menyelinap masuk di antara sela-sela kayu cabin, membawa aroma tanah basah dan sisa-sisa embun yang menggantung di dahan. Cahaya keemasan mulai merayap dari balik bukit, memberikan warna hangat pada lereng yang sejak malam tadi diselimuti dingin yang menggigit.
Suasana di area perbukitan itu masih sunyi, seperti dunia belum sepenuhnya bangun. Hanya suara serangga pagi, gesekan ranting, dan embusan angin lembut yang terdengar—semua berbaur menjadi harmoni alami yang membuat pagi terasa damai.
Di cabin paling atas, ketenangan itu terasa seperti hadiah khusus. Terutama setelah pagi tadi menjadi ajang kekacauan kecil yang… tidak seharusnya terjadi di pegunungan yang tenang.
Konser dangdut koplo dadakan—lengkap dengan teriakan, tawa, dan suara jogetan liar—telah sukses mengguncang udara malam dan, mungkin saja, kesabaran cabin-cabin tetangga.
Namun kini, semuanya diam. Hening.
Seolah semesta sengaja memberi jeda untuk bernapas setelah malam yang terlalu ramai.
Kabut yang tersisa bergerak perlahan, menciptakan siluet lembut di sekeliling cabin. Embun di pagar kayu memantulkan sinar keemasan pagi, menambah kesan magis yang tidak bisa dibuat ulang oleh kamera mana pun.
Di dalam cabin, aroma kayu hangat bercampur dengan sisa wangi lotion lavender dari malam sebelumnya. Tirai masih setengah terbuka, membiarkan cahaya pagi masuk pelan-pelan, menyoroti keacakan kecil yang tertinggal—selimut setengah tersampir, jaket yang dibuang sembarangan, dan gelas-gelas bekas minum cokelat hangat yang belum dicuci.
Tidak ada yang akan menyangka bahwa hanya beberapa jam lalu cabin ini berubah menjadi panggung musik dadakan. Pagi ini—yang ada hanya kesan hangat, lembut, dan damai.
Kabut pagi yang perlahan terangkat dan cahaya keemasan yang mulai menyusup dari balik bukit seolah memberi jeda tenang bagi dunia— tapi ketenangan itu hanya bertahan sampai…
“GUYS. SUNRISE. FOTO. SEKARANG.”
Lona tiba tiba saja membuka pintu dengan rambut acak-acakan seperti habis kabur dari konser metal semalam. Hoodie tebalnya menggantung setengah, kaosnya miring, dan mata masih setengah merah—tapi semangatnya? Seratus lima puluh persen, seperti fotografer majalah mode yang dikejar deadline Paris Fashion Week.
Bia bahkan belum sempat menyentuhkan mug tehnya ke bibir ketika Lona langsung menarik lengannya.
“CEPET! MATAHARINYA NGGAK NUNGGU LO, BI! Pose-pose aesthetic yang lo idam-idamkan juga nggak menunggu lo!!”
Embun yang berdiri di dekat meja, masih memegang syal birunya, mengerjap bingung.
“Lona… ini Puncak, bukan Bali. Sunrise-nya ya gitu-gitu aja—”
Lona menatap Embun dengan tatapan penuh wahyu. “BUN. BERSYUKUR ATAS APA YANG TUHAN KASIH.” Ia menunjuk ke arah bukit dengan gaya seperti nabi baru terima visi.
“Ayo keluar! Sunrise-nya cakep banget! Lo bakal menyesal kalau cuma staycation buat tidur doang!”
Tanpa banyak pilihan, ketiganya akhirnya keluar ke balkon kecil cabin.
Udara dingin langsung menggigit kulit. Kabut tipis bergeser, membuka sedikit celah sehingga sinar emas matahari pagi jatuh lembut ke pepohonan pinus. Warna lembah berubah pelan, seperti lukisan yang sedang diwarnai Tuhan langsung.
Pemandangannya memang indah— hangat, magis, syahdu.
Tiga detik. Hanya tiga detik. Karena detik keempat… Lona mulai aksi.
Ia maju ke tepi pagar kayu, mengangkat satu kaki seperti flamingo, tangan terangkat ke langit dalam pose “senam peregangan jam 6 pagi”.
Bia menatapnya seperti sedang menatap malware. “Lo… mau foto sunrise atau mau latihan yoga?”
“INI POSE AESTHETIC NATURAL LIGHT, BIAAAA!” balas Lona, drama penuh getaran jiwa.
Embun sampai harus memegangi perut, menahan tawa yang hampir meledak. Tapi Lona tidak berhenti di situ. Ia turun ke pose kedua—lebih absurd.
Ia jongkok rendah, satu kaki maju seperti pemain teater, tangan kanan meraih ke arah matahari dengan ekspresi seolah hatinya tersakiti tapi masih berharap.
Embun menyerah total. “Lona… lo kenapa kayak tokoh pewayangan yang gagal audisi final?”
“Ini seni,Bun. S-E-N-I!” jawab Lona sambil merentangkan tangan seperti burung meratapi takdir.
Bia yang biasanya kalem akhirnya menghela napas panjang, meletakkan mug teh, dan menghampiri Lona. “Oke, sini. Biar gue foto. Tapi lo tolong pose normal—”
“No.” Lona langsung tegas, dengan tangan terangkat seperti polisi lalu lintas. “Kalo normal, itu bukan gue.”
Embun sudah terlipat dua, ngakak tanpa suara, air mata keluar. Bia sudah di tahap pasrah. Lona? Sudah setengah jadi makhluk mistis Puncak. Suasana yang tadi tenang, syahdu, hampir spiritual… resmi berubah menjadi drama komedi dini hari.
Dan dari cabin bawah—meski mereka belum tahu— tiga pasang mata pria akan menyaksikan kekacauan ini dari kejauhan. Tanpa sadar, perempuan-perempuan ini perlahan mulai mengisi pagi mereka… dengan warna yang berbeda.
Sementara itu di kabin bawah, Langit baru akan menyeruput kopi ketika Samudra mencondongkan tubuh ke arah railing teras.
“Bro…” Samudra mengangkat dagu ke arah bukit atas. “Lo liat itu?”
Langit mengikuti arah pandang Samudra. Dan di sana— di balkon cabin atas— tiga perempuan berdiri dalam siluet cahaya emas sunrise.
Salah satunya (Lona) sedang jongkok dengan pose seperti sedang men-charge energi matahari.
Satu lainnya (Embun) memegang perut sambil menunduk karena terlalu banyak tertawa.
Dan yang terakhir (Bia)… berdiri santai dengan hoodie abu, tangan menyilang, jelas sedang mempertanyakan keputusan hidupnya berteman dengan dua orang itu.
Samudra spontan ngikik keras. “OH MY GOD, itu… itu orang-orang dari konser dangdut pagi tadi???”
Angkasa akhirnya menutup laptopnya, menatap ke atas bukit. Sorot matanya berubah—bukan keterkejutan, tapi pengenalan halus.
Anabia.
Ia langsung tahu. Staff-nya di kantor, yang selalu bicara singkat kalau laporan bulanan, yang senyumnya jarang muncul, yang terkenal kalem dan rapi… sedang berdiri setengah beku memandangi dua temannya melakukan tarian matahari. Senyum tipis, nyaris tak terlihat, muncul di sudut bibir Angkasa.
Langit sempat meliriknya. “Ada apa?”
Angkasa menggeleng pelan. “Nggak.” Tapi matanya masih menatap ke atas dengan smirk samar, seolah berkata, ‘Gue tahu tuh orang, tapi gue diem dulu.’
Langit kembali menatap ke atas. Saat itu Embun berdiri paling depan, tertawa sambil memegang pagar balkon, sinar matahari pagi menyoroti wajahnya.
Langit terdiam. Dadanya terasa aneh—hangat dan… familiar. Padahal ia hanya melihat siluetnya sedikit lebih jelas daripada tadi di kabut.
Sementara itu, Samudra sudah mau jatuh dari kursi saking ngakaknya melihat Lona yang kembali mengganti pose menjadi gaya “melambai memanggil matahari”.
“Bro… Bro… lo liat yang jongkok itu? Kenapa pose-nya kayak atlet lari mau start tapi juga kayak kucing mau nyerang???”
Langit akhirnya ikut tertawa kecil. Pagi di Puncak, yang seharusnya sunyi dan dingin… berubah penuh warna. Riuh. Absurd. On-brand untuk tiga perempuan yang belum mereka kenal tapi sudah mengubah suasana.
Dan di tengah tawa trio pria itu, Angkasa kembali melihat sosok Bia. Diam, kalem, matanya memandang jauh. Ia menahan smirk lagi.
Langit tidak sadar bahwa perempuan yang membuat dadanya hangat sejak kemarin— dan siluet yang ia lihat di antara kabut— sekarang sedang tertawa paling lepas di atas sana.
Sementara Embun masih sibuk memotret Lona yang nyaris jatuh dari pagar karena pose berlebihan.
Bia? Hanya bisa berkata dalam hati: ‘Ya Tuhan, semoga nggak ada manusia lihat tingkah dua setan koplo ini…’
Padahal… para pria di bawah sana melihat semuanya. Dan tertawa sangat keras.
**
Kabut pagi benar-benar mulai terangkat sepenuhnya saat suara perut keroncongan Lona mengalahkan keindahan sunrise.
“GUE LAPAR. Kayak mau pingsan di pelukan udara dingin,” gerutunya sambil memegangi perut.
Bia langsung menutup kamera HP-nya. “Ayo turun ke kafe kecil di bawah. Aku lihat tadi ada coffee shop lucu.”
Embun merapatkan syalnya, pipinya memerah karena dingin. “Boleh. Tapi jangan banyak drama lagi ya, Lo—”
“NGGAK JANJI.” Lona angkat dua tangan, lalu turun duluan seperti komet dengan koper kecil yang bunyinya tek-tek-tek di jalan berbatu.
Mereka bertiga turun dari cabin atas melewati jalan setapak yang masih basah oleh embun. Udara bersih menusuk hidung, aroma kayu pinus kuat sekali. Embun berjalan di tengah, Bia di kiri, Lona di kanan—dan ketiganya terlihat seperti trio cewek yang tertawa terlalu keras untuk ukuran Puncak yang sepi.
*
Trio cowok juga baru keluar menuju kafe yang sama. Langit berjalan paling depan dengan hoodie hitam, rambut sedikit berantakan tapi tetap terlihat terlalu mahal untuk pagi itu. Samudra mengikuti sambil menggulung lengan sweaternya, sementara Angkasa… masih dengan kopi di tangan, wajah tenang tapi senyum smirk tak bisa ia sembunyikan.
Samudra menatap Angkasa tajam. “Bro… lo dari tadi senyum-senyum sendiri. Lo abis baca kontrak yang salah angka, ya?”
“Enggak,” jawab Angkasa tenang.
Langit melirik, curiga. “Lo ketawa sambil mikirin saham naik?”
Angkasa menyesap kopi, matanya sedikit menyipit. “Gue cuma kenal satu dari trio penyanyi dangdut semalam.”
Samudra langsung berhenti jalan. “Mereka? Siapa?”
Langit memiringkan kepala, bingung. “Ya… siapa? Penyanyinya ada tiga orang yang chaos semua.”
Angkasa tidak menjawab langsung—hanya menatap puncak bukit, meneguk kopinya, dan tersenyum samar.
Samudra frustrasi. “Angkasa, jangan bikin teka-teki pagi-pagi! Lo kenal dari mana??”
“Kerjaan,” jawab Angkasa singkat, tetap tidak menyebut nama. “Dan dia nggak tau gue ada di sini. Jadi… biarin aja.”
Samudra menatapnya seperti melihat hantu. “Bro. Lo kenal salah satu… tapi lo diem-diem bae? Nggak mau negur??”
Angkasa tersenyum lebih lebar, tapi suaranya ringan. “Kadang lebih lucu kalau liat orang tanpa mereka sadar lo lagi ngeliatin.”
Langit menatap Angkasa lama. “Lo creepy atau lo lagi sarkas sih?”
“Dua-duanya,” jawab Samudra cepat, sambil tepok pipi Angkasa pelan. “Nyet, jangan bilang lo naksir. Atau lo mau nyicil rasa tertarik dari jauh dulu?”
Angkasa tidak menyangkal. Dia hanya menyeruput kopi lagi, matanya berkedip pelan—seperti menyembunyikan sesuatu yang hanya dia yang tahu.
Langit dan Samudra saling melongo. “ni orang aneh banget pagi-pagi,” Sam akhirnya menyerah.
Angkasa hanya menatap mereka dengan ketenangan bodoh yang khas. “Yuk. Cari cemilan.”
Dan trio pria itu pun turun ke arah kafe, dengan Langit masih bingung, Sam frustasi, dan Angkasa… tetap smirk seolah hidup sedang memutar komedi romantis khusus untuknya.
*
Jalan setapak menuju kafe kecil itu sempit, hanya selebar dua langkah orang dewasa. Tanahnya masih lembap oleh embun, dihiasi dedaunan pinus jatuh yang membuatnya tampak seperti lorong alam menuju pagi yang baru. Di satu sisi, pagar kayu membatasi jurang kecil yang tertutup kabut putih tipis; di sisi lain, deretan cabin berdiri tenang dengan jendela yang memantulkan cahaya keemasan matahari.
Pagi itu, jalur kecil itu tiba-tiba menjadi ramai oleh dua dunia yang sama sekali tidak tahu sedang bergerak saling mendekati.
Dari sisi kiri, trio cewek turun perlahan—Embun di tengah, menggulung rambutnya sambil memiringkan kepala, wajahnya masih dipenuhi sisa tawa dari tingkah absurd Lona beberapa menit yang lalu. Bia berjalan tenang, langkahnya stabil meski jalan licin. Lona paling depan, masih sibuk memotret kabut sambil mengeluh pelan.
Dari arah berlawanan, trio cowok naik dari kanan—Langit paling depan dengan hoodie hitam setengah terbuka, satu tangan memegang ponsel yang sedang ia buka kuncinya. Samudra berjalan santai sambil menoleh ke kiri dan kanan, sementara Angkasa mengikuti dengan kopi di tangan, ekspresinya setenang pagi itu.
Keduanya semakin dekat. Semakin dekat. Hanya tinggal beberapa langkah.
Embun menunduk sedikit, mengikat rambutnya cepat-cepat sebelum angin membuatnya berantakan lagi. Langit menurunkan pandangan ke ponselnya, jempolnya siap mengetik sesuatu yang belum jadi.
Tiga langkah. Dua langkah. Satu langkah.
Dan kemudian— nyaris berbenturan.
Embun menoleh tepat di detik yang sama ketika Langit mengangkat wajahnya. Keduanya sama-sama terkejut, sama-sama berhenti spontan. Seolah dunia menahan napas sesaat. Langit secara refleks bergeser ke kanan untuk memberi jalan. Embun, tanpa sadar, justru bergerak ke arah yang sama.
Gerakan kecil itu membuat keduanya terhenti lagi—kali ini benar-benar saling berhadap-hadapan di tengah jalan setapak yang sempit.
Hening. Bukan karena sunyi, tapi karena waktu seperti ditahan oleh kabut itu sendiri.
Cahaya matahari yang baru menyelinap di antara pepohonan jatuh sempurna di wajah mereka untuk beberapa detik yang terasa lebih panjang daripada biasanya. Kabut yang bergerak pelan memantulkan cahaya, membuat siluet keduanya seakan dipahat dari cahaya pagi.
Embun merapikan syalnya dengan gerakan kecil, mencoba menenangkan detak jantungnya yang entah kenapa memanas. Rambutnya yang setengah terikat jatuh lembut di bahu, berkilat terkena sinar keemasan.
Langit menurunkan hoodie sedikit, seperti tanpa sadar ingin melihat lebih jelas sosok di depannya. Matanya sempat menyipit, bukan karena silau, tapi karena ada sesuatu—sekecil bisikan takdir—yang terasa familiar.
Tidak ada kata yang keluar. Tidak ada salam. Hanya sepasang tatapan yang diselimuti rasa asing… tapi anehnya tidak terasa asing.
Embun mengerjap, mencoba memahami sensasi aneh yang muncul tiba-tiba. Langit sedikit menaikkan alis, seolah otaknya berusaha mengingat sesuatu yang belum pernah terjadi.
Mereka tidak tahu nama satu sama lain. Mereka tidak sadar bahwa hanya beberapa jam sebelumnya, sebuah pesan nyasar hampir mempertemukan mereka.
Yang mereka rasakan hanyalah sesuatu yang samar— halus, ringan, tetapi cukup untuk membuat udara di antara mereka menjadi berbeda.
Lalu Lona datang seperti badai.
“MAAF! ADA ORANG LAPAR, MINGGIR MINGGIR!!” Ia langsung menepuk bahu Embun dan nyaris mendesak trio cowok mundur.
Bia hanya mengangguk kecil sopan pada trio pria itu. “Permisi.”
Angkasa menjawab dengan smirk yang sangat tidak profesional. “Silakan.”
Samudra melongo. Langit sempat menatap punggung Embun yang menjauh, syal biru mudanya berkibar tertiup angin dingin.
Ada sesuatu di sana. Sesuatu yang familiar. Sesuatu yang bikin dadanya terasa aneh. Tapi ia belum tahu apa.
Begitu pintu kafe kayu itu didorong terbuka, semburan aroma hangat langsung menyambut mereka—campuran roti kayu manis yang baru keluar oven, kopi arabika yang digiling fresh, dan sedikit wangi vanilla dari diffuser sudut ruangan. Udara dingin Puncak yang menusuk sejak tadi perlahan luntur, digantikan kehangatan nyaman khas tempat yang memang diciptakan untuk membuat orang ingin menetap lebih lama.
Lampu-lampu gantung bernuansa amber memantulkan cahaya lembut ke meja-meja kayu. Suara gesekan kursi, obrolan pelan para tamu, dan denting sendok di cangkir menjadi latar yang menenangkan.
Lona, yang masuk paling belakang, langsung menarik napas dalam-dalam dan mengangkat kedua tangan seperti menyembah. “ANJIR… ini wanginya kayak surga kaum pekerja kantoran yang udah hampir resign.”
Embun tertawa kecil, tapi tangan yang memegang totebagnya sedikit gemetar—bukan karena dingin, tapi karena efek “nyaris nabrak cowok tinggi tadi” masih menghantam denyut nadi. Ada sesuatu dari pertemuan singkat itu yang tidak bisa ia jelaskan, seolah udara jadi lebih berat untuk dihirup.
Bia melirik dari samping sambil melepas syalnya, matanya menyipit penuh analisa, mode ibu-ibu waspada on. “Bun, lo kenapa? Napas lo pendek banget. Masuk angin?”
“Enggak,” jawab Embun cepat, terlalu cepat. Ia berdeham kecil menutupi rasa gugupnya. “Cuma… tadi hampir nabrak orang di jalan setapak.”
Lona langsung menukik seperti elang melihat mangsa. “Hampir nabrak… atau hampir jatuh cinta?”
“LONAAA,” Embun mendesis sambil mengambil roti di etalase dan mengangkatnya seperti senjata, “gue sumpah ya, satu kata lagi gue banting nih roti ke muka lo.”
Lona langsung ngakak keras, bikin barista yang lagi menuang espresso menoleh. Embun hanya menutup wajahnya, pipinya merona merah, sementara Bia tersenyum kecil.
Mereka bertiga akhirnya memilih meja pojok dekat jendela, tapi Embun tahu bukan aroma roti atau kopi yang bikin dadanya terasa hangat… melainkan bayangan samar seseorang yang hampir ia tabrak beberapa menit lalu.
Kafe kecil itu hangat, dipenuhi aroma kopi baru menggoda dan bunyi kayu yang berderit halus setiap ada orang berpindah kursi. Cahaya keemasan dari lampu gantung membias di permukaan meja, menciptakan suasana cozy yang sangat berbeda dari udara dingin di luar.
Samudra langsung mengambil tempat di kursi dekat jendela, menurunkan latte dengan gaya dramatis seperti habis lari maraton.
“Lang,” protesnya sambil mengacak rambut sendiri, “lo ngapain diem mulu? Nyari Wi-Fi gratis? Sinyal hidup lo ilang, ya?”
Langit tidak langsung menjawab. Ia duduk di sisi kanan, posturnya santai tapi matanya… tidak ke ponsel, tidak ke jendela, melainkan ke arah pintu.
Matanya sempat berkedip sekali, seperti mencoba menyusun potongan ingatan yang belum lengkap.
“Enggak…” suaranya rendah, hampir sekadar gumaman, “Tadi gue hampir tabrakan didepan pintu, terus kaya ngerasa pernah lihat yang pake syal, tapi lupa dimana.”
Angkasa—yang dari tadi menikmati kopinya dengan tempo lambat seperti manusia pensiunan padahal dia CEO besar—mengetuk meja sekali. Smirk kecil terbit di bibirnya.
“Syalll…” ulang Angkasa pelan, suaranya datar tapi menusuk, “atau orangnya?”
Samudra menoleh cepat. “HAH?”
Langit tidak mengalihkan pandangan dari meja belakang Samudra. Bahunya naik turun perlahan, seperti ia baru saja menyadari sesuatu tapi belum mau mengakuinya—even pada dirinya sendiri.
“Entahlah,” jawabnya lirih. “Tapi rasanya aneh.”
Samudra menenggak latte-nya seperti obat pahit, lalu mendesah dramatis sambil mengacungkan tangan ke langit-langit kafe. “Ya Tuhan… liburan kita bener special kali ini.”
**
Tbc