NovelToon NovelToon
Butterfly

Butterfly

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:423
Nilai: 5
Nama Author: Nadhira ohyver

Arunaya, seorang gadis dari keluarga terpandang yang terpenjara dalam sangkar emas tuntutan sosial, bertemu Adrian, pria sederhana yang hidup mandiri dan tulus. Mereka jatuh cinta, namun hubungan mereka ditentang keras oleh Ayah Arunaya yang menganggap Adrian tidak sepadan.

Saat dunia mulai menunjukkan taringnya, memihak pada status dan harta, Naya dan Adrian dihadapkan pada pilihan sulit. Mereka harus memilih: menyerah pada takdir yang memisahkan mereka, atau berjuang bersama melawan arus.

Terinspirasi dari lirik lagu Butterfly yang lagi happening sekarang hehehe....Novel ini adalah kisah tentang dua jiwa yang bertekad melepaskan diri dari kepompong ekspektasi dan rintangan, berani melawan dunia untuk bisa "terbang" bebas, dan memeluk batin satu sama lain dalam sebuah ikatan cinta yang nyata.

Dukung authir dong, like, vote, n komen yaa...
like karya authir juga jangan lupa hehehe

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadhira ohyver, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 14

Rian menahan napas. Seluruh dunianya seolah berhenti berputar.

Naya masuk ke dalam frame kamera, kali ini ia tidak pergi. Ia berdiri tepat di samping Rio, menatap layar ponsel itu. Mata mereka bertemu melalui sinyal digital yang melintasi samudera.

Naya tetap diam, wajahnya sedingin es di depan Rio, namun matanya yang berkaca-kaca tidak bisa berbohong. Di sisi lain, Rian menatap Naya dengan tatapan yang seolah berkata, "Aku sudah memantaskan diriku, Naya. Tunggu aku."

"Selamat atas kelulusannya," ujar Naya pendek dengan nada formal yang sangat dijaga. "Kami di Hardi Group selalu menghargai bakat-bakat hebat seperti Anda."

Hanya itu. Singkat dan profesional. Namun bagi Naya, mengucapkan kata-kata itu di depan Rio adalah perjuangan batin yang luar biasa agar tidak meledak dalam tangis. Dan bagi Rian, mendengar suara Naya yang mengakui keberhasilannya adalah medali yang jauh lebih berharga daripada ijazah yang baru saja ia terima.

"Terima kasih... Nona Naya," balas Rian, sengaja menggunakan sapaan formal untuk melindungi posisi Naya, namun dengan penekanan nada yang hanya dipahami oleh mereka berdua.

Setelah panggilan video itu berakhir, suasana di apartemen Dian menjadi hening sejenak. Rian tampak termangu, menatap layar ponsel Dian yang sudah gelap seolah masih bisa melihat bayangan Naya di sana. Tak lama kemudian, Rian pamit ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya, meninggalkan Dian dan Aris di meja makan.

Begitu Rian menjauh, Dian langsung mendekat ke arah Aris dengan wajah penuh kebingungan.

"Ris, aku nggak mengerti," bisik Dian dengan nada tertahan. "Kamu bilang mereka saling mencintai sampai nyawa taruhannya. Tapi tadi? Rian cuma bilang 'Terima kasih, Nona Naya' dan Naya menatapnya seperti orang asing yang baru kenal. Kenapa mereka nggak menangis? Kenapa mereka nggak teriak kalau mereka kangen?"

Aris tersenyum getir, ia menyesap sisa kopi di cangkirnya. "Dian, itulah cara mereka saling mencintai. Dengan cara tidak saling memiliki di depan mata dunia."

Dian mengerutkan kening. "Tapi itu menyakitkan sekali, Ris."

"Sangat menyakitkan," aku Aris. "Tapi kamu harus ingat di mana Naya berdiri tadi. Dia ada di kantor ayahnya. Kalau sedetik saja Naya menunjukkan emosi berlebih, atau kalau Rian memanggil namanya dengan nada rindu, Ayah Naya akan tahu dalam sekejap. Rian bisa dideportasi, atau lebih buruk lagi, Naya akan dikurung selamanya. Mereka sedang menari di atas duri, Dian. Salah langkah sedikit saja, semuanya hancur."

Dian terdiam, matanya mulai berkaca-kaca lagi. Ia mulai memahami bahwa kekakuan yang ia lihat tadi adalah bentuk pengorbanan tertinggi. Mereka rela dianggap asing demi menjaga keselamatan satu sama lain.

"Jadi mereka harus terus begini?" tanya Dian sedih.

"Sampai waktunya tepat," jawab Aris mantap.

Dian menunduk, memandangi ponselnya. Sebuah ide mulai tumbuh di kepalanya. Ia tidak tahan melihat dua jiwa itu tersiksa dalam kebisuan yang begitu panjang.

"Aku harus melakukan sesuatu," batin Dian. "Kalau takdir tidak juga mempertemukan mereka secara nyata, maka aku yang akan menarik benang merah itu."

Dian mulai menyusun langkah di benaknya. Ia akan mengatur sebuah pertemuan. Bukan pertemuan yang terlihat direncanakan, tapi sebuah momen yang akan terlihat seperti kebetulan murni di mata dunia—terutama di mata Tuan Hardi. Ia akan memanfaatkan posisi kakaknya di kantor pusat untuk membawa "Sang Arsitek Terbaik dari London" kembali ke pelukan "Sang Putri yang Kesepian".

Setelah malam perayaan kelulusan itu, Dian tidak bisa tidur dengan tenang. Pikirannya terus berputar pada rahasia yang ia dengar dari Aris. Setiap kali ia melihat Rian di kafe, ia melihat seorang pejuang yang sudah terlalu lama menahan sesak.

"Mas Rio," panggil Dian saat kembali melakukan video call dengan kakaknya beberapa hari kemudian. Kali ini ia sengaja melakukannya saat kakaknya sedang santai di rumah.

"Kenapa, Dek? Tumben suaranya serius begitu," sahut Rio dari balik layar.

"Ingat Rian, temanku yang lulusan terbaik arsitektur itu? Dia punya desain yang luar biasa, Mas. Aku pernah lihat portofolionya. Bukankah Hardi Group sedang mencari arsitek untuk proyek renovasi lobi dan galeri pusat?"

Rio mengangguk-angguk. "Iya, memang. Mbak Naya sedang pusing mencari arsitek yang punya sentuhan modern tapi tetap paham jiwa lokal. Kenapa?"

"Mas, coba tunjukkan ini ke Mbak Naya," Dian mengirimkan sebuah file dokumen berisi desain-desain terbaik Rian. Dian sengaja menghilangkan profil pribadi Rian di halaman depan, hanya menyisakan nama inisial: R. Arsitek. "Katakan saja ini arsitek independen dari London. Aku yakin Mbak Naya akan suka."

Satu minggu kemudian, di Jakarta, di gedung pencakar langit Hardi Group.

Naya sedang memijat pelipisnya yang berdenyut saat Rio mengetuk pintu ruangannya. "Masuk, Rio."

"Mbak, saya punya satu portofolio arsitek yang mungkin Mbak suka. Dia baru lulus dari London. Desainnya... sangat berbeda. Ada filosofi kebebasan di setiap garisnya," Rio meletakkan tablet di meja Naya.

Naya yang awalnya enggan, perlahan menatap layar itu. Matanya melebar. Ia melihat sketsa bangunan yang memiliki siluet halus mirip sayap kupu-kupu yang sedang mengepak. Gaya arsitektur ini... sangat mirip dengan coretan di buku sketsa yang dulu sering ia lihat.

"Siapa arsitek ini?" tanya Naya, suaranya sedikit bergetar namun tetap berusaha datar.

"Dian, adik saya, mengenalnya di London. Namanya belum besar, tapi bakatnya gila, Mbak. Namanya Rian," jawab Rio jujur.

Naya terdiam. Jantungnya berdegup begitu kencang hingga ia takut Rio bisa mendengarnya. Ia memandang ke arah jendela besar yang menampilkan langit Jakarta. Rian. Dia benar-benar melakukannya. Dia datang dengan caranya sendiri.

"Atur pertemuan presentasi minggu depan," ujar Naya tegas, topeng dinginnya kembali terpasang sempurna. "Katakan padanya, saya ingin melihat presentasi langsung dari sang arsitek."

"Siap, Mbak!" Rio keluar dengan semangat.

Begitu pintu tertutup, Naya memeluk dirinya sendiri. Air mata haru menggenang. Strategi Dian berhasil tanpa ia sadari. Takdir tidak lagi hanya membisikkan suara, tapi kini sedang membukakan pintu yang paling lebar.

...----------------...

Bandara Internasional Soekarno-Hatta tampak sibuk seperti biasa, namun bagi Rian, udara Jakarta hari ini terasa berbeda. Setelah dua tahun lebih menghirup dinginnya London, hawa panas Jakarta justru terasa memeluknya dengan kenangan.

Rian keluar dari gerbang kedatangan mengenakan setelan jas abu-abu gelap yang pas di tubuhnya. Rambutnya tertata rapi, dan sebuah tas kulit berisi laptop serta gulungan desain tersampir di bahunya. Di sampingnya, Aris berjalan dengan wajah bangga, sementara Dian terus berceloteh untuk menutupi kegugupannya sendiri.

"Kamu oke, Yan?" bisik Aris pelan.

Rian menarik napas dalam, merasakan getar di dadanya. "Aku siap, Ris. Kali ini, aku tidak akan lari."

Dian segera memesan taksi. "Ingat ya, Rian. Kamu di sini sebagai konsultan profesional. Mas Rio sudah menunggu di kantor. Jangan sampai ada yang curiga kalau kita sudah saling kenal secara pribadi, apalagi soal... itu."

Rian mengangguk. Ia tahu taruhannya. Di kota ini, Tuan Hardi masih memegang kendali. Sedikit saja kesalahan, maka sayap yang baru saja ia tumbuhkan bisa patah kembali.

Bersambung...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!