“Sekarang, angkat kakimu dari rumah ini! Bawa juga bayi perempuanmu yang tidak berguna itu!”
Diusir dari rumah suaminya, terlunta-lunta di tengah malam yang dingin, membuat Sulastri berakhir di rumah Petter Van Beek, Tuan Londo yang terkenal kejam.
Namun, keberadaanya di rumah Petter menimbulkan fitnah di kalangan penduduk desa. Ia di cap sebagai gundik.
Mampukah Sulastri menepis segala tuduhan penduduk desa, dan mengungkap siapa gundik sebenarnya? Berhasilkah dia menjadi tengkulak dan membalas dendam pada mantan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sulastri 13
BRAK!
“Mana Margono?!” hardik Kartijo begitu sampai di rumah sederhana milik orang tua Sulastri.
Wijiati yang sedang sendirian di rumah, gemetaran di sudut ruangan. Berulangkali wanita itu ingin menjawab, tapi suaranya tercekat di tenggorokan.
Kartijo menatap nyalang wanita paruh baya yang sudah pucat pasi, langkahnya pelan memasuki tiap ruangan yang berdinding papan usang. “Di mana dia bersembunyi?” tanyanya tajam.
“I-tu … Den … a-nu—”
“Apa dia masih belum berhasil menyeret putrinya yang tidak tau malu itu?!” sela Kartijo.
Wijiati menunduk, tangannya meremas ujung kebaya.
“Dasar orang-orang tidak berguna!” umpat Kartijo.
“Den Kartijo!” gumam Margono dari halaman rumah, laki-laki itu lekas berlari begitu mengetahui si juragan sudah berada di dalam.
Dengan napas terengah dan keringat yang membanjiri pelipis, Margono menghampiri sang istri yang ketakutan di sudut ruangan.
“Pak ...,” bisik Wijiati pelan.
“Mana Lastri? Apa kau masih belum berhasil juga?!”
“B-bel—”
Prang!
“Bodoh!” umpat Kartijo sembari membanting asbak seng yang berada di atas meja. Laki-laki itu kemudian berdiri tegak sembari berkacak pinggang.
“Aku sudah memberi waktu satu minggu, kau masih juga belum berhasil?!”
“I-tu, Den. Lastri sudah beberapa hari ini tidak terlihat di rumah Londo,” jawab Margono terbata.
“Apa maksudmu?!”
Margono menelan ludahnya kasar, “Ma-maaf, Den. izinkan saya minum sebentar,” ucapnya, lalu berjalan dengan berjongkok mengambil kendi berisi air di atas meja.
Dengan tergesa Margono menenggak air dingin, membasahi tenggorokannya yang terasa kering. Laki-laki itu mengusap tetesan air bercampur keringat di leher kelingnya, kemudian kembali duduk bersimpuh bersama sang istri.
Margono menghela napas berat sebelum melanjutkan pembicaraan. “Sudah seminggu ini saya mengintai rumah itu, tapi lima hari terakhir tidak terlihat keberadaan Lastri dan bayinya. Saya sudah bertanya pada ibu-ibu pemetik tembakau, tapi mereka mengatakan tidak tau.”
Kartijo berdecih kasar. “Bagaimana bisa kamu sebagai bapak tidak tau kemana putrimu menghilang?! Dasar tidak berguna!” sungut Kartijo.
“M-maaf, Den. Tapi, nganu, Den … saya punya informasi lainnya. Sore tadi saya mendengar Londo berbicara dengan seseorang, dia mengatakan baru saja bertemu dengan seorang pengacara.”
“Pengacara?!”
Margono mengangguk mantap, sorot matanya menyiratkan keyakinan. “Betul, Den.”
Kening Kartijo langsung mengerut, tatapannya menyelidik. “Apa yang mereka bicarakan?”
“Mereka tidak mengatakan apa-apa, hanya bilang pengacara itu menanyakan siapa Sulastri.”
“Bajingan! Londo itu mau main-main rupanya!” Kartijo berang. Ia segera berbalik badan hendak beranjak pergi.
Wijiati mengguncang lengan sang suami, memberi isyarat agar menghentikan langkah Kartijo yang sepertinya lupa membayar uang hasil panenan mereka.
“Pak?” gumamnya pelan.
Margono menengok ke arah Kartijo yang sudah berdiri di depan pintu, laki-laki itu memberanikan diri memanggil sang juragan dengan suara bergetar.
“A-nu, Den. Ma-maaf, kalau boleh saya ingin meminta uang panenan yan—”
“Panenanmu tidak aku bayar minggu ini, tembakaumu saja buruk kualitasnya, tidak laku dijual di pasar!” desis Kartijo sembari berlalu pergi.
Kedua paruh baya itu terbelalak, kemudian saling pandang sesaat. Wijiati mencubit lengan Margono sembari terus menggumal, meminta sang suami memohon pada si Juragan.
Margono tampak ragu, ia hendak berdiri mengejar Kartijo namun gerakannya tertahan, takut.
Wijiati terus-terusan memukul punggung suaminya yang mematung. “Bagaimana ini, Pak? Kita tidak bisa pergi dari sini kalau terus-terusan tidak diberi uang!” keluh wanita itu.
“Sabar, Bu. Kita pasti bisa pergi secepatnya, aku sudah menawarkan ladang kita sama Juragan yang ada di ujung desa, katanya besok mau dilihat,” jelas Margono.
Wijiati menarik napas panjang, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku rasanya sudah tidak tahan didatangi Den Kartijo setiap hari, belum lagi penduduk yang sudah tau Lastri ada di rumah Londo, mereka selalu menggunjing setiap kali aku keluar rumah.”
“Bocah itu menyusahkan orang tua saja,” geram Margono murka.
Margono mengusap wajahnya kasar, laki-laki itu kemudian merebahkan tubuhnya di dipan kayu.
Mereka sudah menantikan uang hasil panenan itu untuk ongkos pergi ke luar kota demi menghindari Kartijo dan penduduk desa, namun rancana mereka nampaknya masih harus tertahan karena kelicikan sang juragan.
***
Matahari sudah tinggi saat Petter dan Sulastri sampai di kota. Mereka berniat menemui Rudolf De Jong seorang pengacara yang juga sahabat Hendriks Van beek—Ayah Petter.
“Jangan berjalan di belakangku, kau seperti budak yang sedang dipaksa Tuannya,” celetuk Petter saat mereka sampai di sebuah bangunan tua bergaya arsitektur Eropa.
Sulastri melirik sinis, kemudian mengimbangi langkah lebar Petter yang berjalan cepat menuju pintu utama.
Di dalam gedung, Rudolf sudah menunggu. Pria bertubuh tinggi dengan rambut yang sebagian mulai memutih itu tersenyum hangat saat melihat kedatangan Petter dan Sulastri.
“Akhirnya kau menginjakkan kaki di kantorku juga,” sambut Rudolf setelah sebelumnya mereka bertemu di sebuah gereja.
Petter tersenyum tipis, lalu menyambut jabatan tangan Rudolf. Laki-laki itu kemudian memperkenalkan Sulastri yang berdiri canggung di sampingnya.
Rudolf menatap penuh selidik, sudut bibirnya terangkat tipis. “Cantik juga, pantas kau sampai menyempatkan diri menemuiku kemarin.”
Petter berdecih pelan, “Itu tidak penting, bantu aku menyelesaikan masalah wanita ini.”
Rudolf mengerutkan alisnya, tatapannya serius. “Kita bicara di ruanganku.”
Mereka kemudian berjalan beriringan menuju ruangan yang dimaksud pengacara tua itu.
Rudolf duduk dengan tatapan datar di kursi kerja, jarinya sesekali mengetuk meja saat mendengar cerita dari Sulastri tentang kejadian yang menimpanya malam itu. Laki-laki itu menghela napas pelan, lalu berpikir sejenak.
“Ini sedikit rumit, karena mereka pribumi. Jika kasus ini terjadi sepuluh tahun yang lalu mungkin aku bisa dengan mudah menyelesaikan, tapi sekarang … pengadilan agama pribumi yang memegang, terlebih aku seorang nasrani, aku tidak punya yuridiksi untuk ikut campur,” jelas Rudolf.
Petter menegakkan duduknya, kedua alisnya mengerut. “Tapi ceritanya semua benar, aku sendiri yang menolongnya malam itu dan membawanya ke rumahku, aku juga sudah menyelidiki semua, suaminya memang gila wanita.”
Rudolf menyesap secangkir kopi yang mulai mendingin, tatapanya serius. “Itu jauh lebih berbahaya untukmu, jika suaminya tidak terima kau bisa dituntut dan diusir dari negara ini.”
Sulastri membeliak. “K-kenapa Meneer bisa di usir hanya karena masalah saya?” selanya dengan suara terbata, ada gurat cemas di wajahnya.
Rudolf tertawa kecil melihat ekspresi terkejut wanita ayu dengan kebaya merah hati yang duduk di hadapannya. Laki-laki itu kemudian beranjak dari kursinya.
“Kau itu masih istri orang, Nyonya. Suamimu bisa saja menuduh Petter membawamu kabur dan … ya … seperti yang aku katakan tadi.”
“Lalu apa yang bisa kita lakukan,” sahut Petter.
“Aku akan meminta bantuan temanku yang punya wewenang di pengadilan agama, tapi aku tidak yakin ini bisa selesai dalam waktu cepat,” ujar Rudolf.
Petter mengangguk kecil, sudut matanya melirik Sulastri yang memelintir ujung kebayanya. Wanita itu sesekali menggigit bibir bawahnya menandakan betapa gelisah hatinya.
Rudolf kemudian berjalan menghampiri Sulastri. Menepuk pelan pundak wanita ayu itu. “Apa ada saksi saat kejadian itu berlangsung, Nyonya?” tanyanya.
“Saksi?”
“Iya, saksi—orang yang menyaksikan kejadian malam itu,” jelas Rudolf.
Sulastri terdiam sejenak, “R-rasmi ibu dari Kartijo,” suaranya terdengar ragu saat menyebut nama ibu mertuanya.
Petter menghela napas pelan, suaranya seolah muak saat berbicara. “Kau berharap apa dari orang yang bahkan diam saja saat kau diusir anak laki-lakinya?”
Rudolf membenarkan kacamata yang sedikit melorot dari hidung mancungnya, sebelah alisnya terangkat tipis. “Selain itu?”
“Dasim, kusir dokar yang mengantar saya malam itu, Tapi saya tidak yakin dia masih bekerja atau tidak,” sahut Sulastri.
“Aku akan mencarinya,” timpal Petter.
“Baik, kalian siapkan saksinya, aku akan menemui temanku untuk membicarakan masalah ini lebih lanjut,” pungkas Rudolf.
Mereka pun akhirnya berpamitan dari kantor pengacara tua itu. Sulastri terus-terusan menunduk sembari meremas ujung kebayanya saat sudah berada di dalam pickup milik Petter. Sesekali dia melirik laki-laki yang nampak serius dengan kemudinya.
Petter mengemudikan mobilnya dengan santai, melewati deretan bangunan-bangunan tua. Warna mobilnya yang khas mencuri perhatian Kartijo yang baru saja akan memasuki salah satu kedai tuak.
Kartijo seketika menatap tajam, tangannya mengepal kuat di sisi tubuh.
“Bajingan!” geramnya murka.
Bersambung.
Sulastri