Di Kota Pontianak yang multikultur, Bima Wijaya dan Wibi Wijaya jatuh hati pada Aisyah. Bima, sang kakak yang serius, kagum pada kecerdasan Aisyah. Wibi, sang adik yang santai, terpesona oleh kecantikan Aisyah. Cinta segitiga ini menguji persaudaraan mereka di tengah kota yang kaya akan tradisi dan modernitas. Siapakah yang akan dipilih Aisyah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Gemini 75, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bersinar Bareng Di Benua Matahari Terbit
Tiga bulan berlalu seperti kilat sejak tim “Warna Warni Nusantara” kembali dari Papua Barat. Ruang kerja Toko Kreatif DinSal Surabaya kini semakin ramai. Selain menangani pesanan reguler, mereka sibuk berkoordinasi dengan tim pengrajin di desa Wondiboy melalui panggilan video setiap hari Sabtu pagi. Layar laptop Andini menampilkan wajah Pak Yohanis yang selalu penuh semangat, bersama beberapa pengrajin muda yang kini sudah mahir menggunakan aplikasi untuk berbagi desain dan melacak progres produksi.
“Kita sudah selesai mengolah 50 batang kayu cendana untuk perhiasan dan 30 lembar serat pandanus untuk tas baru,” ucap Pak Yohanis sambil menunjukkan rak-rak yang penuh dengan bahan baku siap pakai di pusat pengolahan yang baru saja rampung dibangun. Dinding pusat itu dihiasi dengan mural kolaboratif. Gambar burung kasuari bertari bersama wayang kulit, hasil karya anak-anak desa dan pengrajin dari Yogyakarta. “Bu Sri sudah mengirimkan bahan lilin batik khusus, dan Ibu Made sudah kirim pola desain tas yang kombinasikan anyaman Papua dengan aksesori Bali.”
Namun, tidak semua berjalan mulus. Beberapa minggu sebelum deadline pameran di Osaka, Jepang, tim Papua menghadapi masalah saat mesin pemotong kayu kecil yang baru diterima mengalami kerusakan akibat sambungan listrik yang tidak stabil. Tanpa ragu, dua pengrajin dari Surabaya langsung memesan tiket penerbangan dan berangkat ke Manokwari, lalu melanjutkan perjalanan darat selama enam jam lagi hanya untuk memperbaiki mesin dan memberikan pelatihan tambahan tentang perawatan alat.
“Mesin bisa diganti, tapi kepercayaan yang sudah kita bangun tidak bisa,” ucap Rio, salah satu pengrajin muda dari Surabaya, saat sedang menunjukkan cara memeriksa suhu mesin kepada kelompok pemuda desa. “Yang penting kita kerja sama, apa pun kendalanya.”
Hari H keberangkatan semakin dekat. Delapan pengrajin dari Papua Barat termasuk Pak Yohanis dan dua pengrajin wanita dari Sorong yang ahli dalam anyaman tiba di Surabaya dengan membawa koper-koper besar yang penuh dengan karya mereka. Di bandara, mereka disambut dengan tari saman dari Aceh dan tarian jaipongan dari Jawa Barat yang diadakan oleh komunitas pengrajin lokal.
“Ini pertama kalinya aku keluar dari Indonesia,” ucap Siti, salah satu pengrajin wanita dari Sorong, dengan mata bersinar melihat gedung bandara yang megah. “Kita bawa bukan cuma produk, tapi cerita dari tanah kita.”
Selama tiga hari di Surabaya, mereka menyelesaikan produk akhir bersama-sama. Bu Sri dengan hati-hati memberikan finishing batik pada patung kayu kolaboratif yang akan jadi pusat perhatian di pameran. Motif parang yang melengkung di bagian bawah dipadukan dengan gambar bunga anggrek Papua yang diukir dengan presisi tinggi. Sementara itu, Ibu Made membantu menyematkan resleting kulit asli dari Bali pada tas anyaman pandanus dengan motif bintang laut, membuatnya tetap cantik namun praktis untuk dibawa bepergian.
“Lihat ini,” ucap Pak Yohanis sambil mengangkat sebuah kalung dari batu akik berwarna hijau tua. Pada bagian tengahnya ada ukiran kecil burung kasuari yang ditutupi dengan lapisan lilin batik berwarna emas. “Ini adalah simbol dari semua yang kita lakukan. Kuat seperti batu akik, indah seperti batik, dan bebas seperti burung yang terbang ke dunia.”
Setelah beberapa jam terbang dari Jakarta ke Osaka, mereka tiba di tempat pameran yang terletak di pusat kota. Stan “Warna Warni Nusantara” dirancang dengan konsep rumah adat dari berbagai daerah. Atap berbentuk honai dari Papua, dinding dengan ukiran kayu Jawa, dan dekorasi anyaman Bali yang melingkari seluruh area. Di tengah stan, patung kolaboratif bunga matahari besar berdiri gagah, disorot oleh lampu yang membuat setiap detail ukiran dan batik tampak semakin hidup.
Pada hari pertama pameran dibuka untuk umum, stan mereka langsung ramai dikunjungi oleh pengunjung dari berbagai negara. Seorang wanita dari Jepang yang ahli dalam kerajinan kayu berdiri lama di depan patung, tangan terlipat di dada dengan ekspresi kagum. “Saya pernah melihat banyak kerajinan dari seluruh dunia, tapi yang ini berbeda,” katanya melalui penerjemah. “Ada cerita yang hidup di setiap detailnya.”
Saat hari kedua berjalan, sebuah tim dari museum budaya internasional mendatangi stan mereka. Mereka tertarik untuk menampilkan beberapa produk kolaboratif sebagai bagian dari pameran tetap tentang kerajinan tradisional yang beradaptasi dengan zaman. “Kita sangat terkesan dengan cara kalian menghormati akar budaya sambil tetap kreatif,” ucap kurator museum tersebut. “Ini adalah contoh yang luar biasa tentang bagaimana warisan budaya bisa tetap hidup dan berkembang.”
Tapi momen paling berharga datang pada malam hari terakhir pameran, saat penghargaan untuk kategori “Kolaborasi Budaya Terbaik” diumumkan. Ketika nama “Warna Warni Nusantara Indonesia” terdengar di atas panggung, seluruh tim dari Jawa, Bali, dan Papua berdiri bersama-sama. Pak Yohanis naik ke atas panggung dengan membawa patung kecil burung kasuari, lalu menyampaikan pidato dengan suara yang kuat dan jelas:
“Kita datang dari pulau-pulau yang berbeda, dengan bahasa dan tradisi yang berbeda. Tapi di balik semua perbedaan itu, kita punya satu hal yang sama. Cinta pada tanah air dan keinginan untuk menunjukkan keindahan budaya kita kepada dunia. Ini bukan hanya penghargaan untuk kita, tapi untuk seluruh Indonesia yang kaya akan keragaman dan kebijaksanaan.”
Di bawah sorotan lampu panggung, mereka mengangkat tangan bersama. Tangan yang terlihat berbeda karena bekas pahat, noda lilin, atau serat anyaman yang menempel, tapi kini menyatu dalam satu gerakan yang penuh kebanggaan.
Setelah kembali dari Jepang, pesanan untuk produk seri “Bumi Cenderawasih Bersinar” meledak. Bukan hanya dari Eropa dan Asia, tapi juga dari Amerika Serikat dan Australia. Namun, lebih dari itu, kolaborasi ini menginspirasi banyak daerah di Indonesia untuk bergabung. Tim mereka menerima undangan dari Sulawesi Selatan untuk membantu mengembangkan kerajinan tenun ikat lokal, dan dari Maluku untuk menggabungkan teknik anyaman dengan perhiasan mutiara.
Saat malam hari tiba dan kota Surabaya mulai bersinar dengan lampu-lampu, Andini duduk bersama timnya di teras toko, melihat album foto dari perjalanan mereka mulai dari Solo hingga Osaka. Di sebelahnya, ada paket baru yang datang dari Papua. Sebuah anyaman pandanus berbentuk peta Indonesia, dengan setiap pulau dihiasi dengan motif khas daerahnya.
“Kita baru saja memulai perjalanan yang panjang, kan?” ucap Andini sambil melihat wajah-wajah tim yang penuh semangat.
Pak Yohanis yang sedang melakukan panggilan video dari Wondiboy tersenyum lebar. “Betul sekali. Setiap hari kita belajar sesuatu yang baru, setiap hari kita menemukan permata baru dari nusantara kita. Dan yang paling penting. Kita selalu bekerja sama, bersinar bareng.”
Saat bulan mulai muncul di langit yang gelap, sinarnya menerangi gambar burung kasuari yang terbang di atas peta Indonesia. Sebuah simbol dari bagaimana keragaman bisa menjadi kekuatan terbesar Bangsa.
Wah benar sekali Mas! Bikin Abi cuma bahagia aja rasanya kurang realistis dan kurang etis karena pasti ada rasa sakit atau keraguan yang dia rasakan. Ini yang lebih mendalam dan sesuai dengan etika hubungan manusia ya, tanpa pake tanda hubung sama sekali:
Setelah Abi memberikan buku dan berbicara dengan Andini, dia pergi dari toko dengan langkah yang pelan. Di dalam mobil nya, dia duduk sejenak menyaksikan aktivitas di sekitar toko dari kaca jendela. Dia melihat Pramudya sedang membantu Andini menyusun rak produk baru dan kedua orang itu terkadang saling melihat dengan senyum yang penuh makna.
Hati Abi terasa sesak dan sedikit sakit. Meskipun dia sudah tahu bahwa hubungan mereka berdua sudah berakhir lama, melihat wanita yang pernah dia cintai bersama dengan adik nya sendiri bukanlah hal yang mudah untuk diterima. Dia menghela napas dalam-dalam lalu menghidupkan mesin mobil dan melaju meninggalkan tempat itu.
Di rumah nya sendiri, Abi duduk di ruang tamu yang penuh dengan buku dan dokumentasi tentang kerajinan tangan dari berbagai daerah. Ibunya yang sedang menyiapkan teh mendekat dan duduk di sisi nya. Wanita tua itu tahu betapa perasaan Abi yang sedang tertekan.
“Kamu masih mencintainya kan?” tanya Ibunya dengan suara yang lembut namun jelas.
Abi mengangguk lalu menutup wajah nya dengan kedua tangan nya. “Ya Bu. Aku masih mencintainya. Tapi aku juga tahu bahwa aku tidak pantas untuk nya lagi. Aku pernah menyakiti nya dengan keputusan ku yang terlalu egois dulu. Dan sekarang dia terlihat bahagia bersama dengan Pramudya. Aku tidak punya hak untuk mengganggu kebahagiaan mereka berdua.”
Ibunya mengelus punggung Abi dengan penuh kasih sayang. “Cinta yang sejati bukan hanya tentang memiliki orang yang kita cintai. Kadang kala cinta juga tentang melepaskan nya dengan tulus agar dia bisa mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya. Kamu sudah melakukan yang terbaik untuk memperbaiki diri dan bekerja untuk kepentingan banyak orang. Itu sudah cukup untuk membuktikan bahwa kamu telah tumbuh menjadi pria yang lebih baik.”
Beberapa hari kemudian, Abi memutuskan untuk menghubungi Pramudya dan mengajak nya bertemu di kedai kopi kecil yang sering mereka kunjungi saat masih muda. Saat mereka bertemu, suasana awalnya terasa sedikit kaku dan tidak nyaman. Namun setelah beberapa menit berlalu, mereka mulai berbicara dengan lebih terbuka.
“Kamu benar-benar mencintainya kan?” tanya Abi sambil melihat mata adik nya sendiri.
Pramudya mengangguk dengan tegas. “Ya Kak. Aku mencintainya dengan sepenuh hati. Dan aku berjanji akan selalu menjaga nya dan menghargai setiap nilai yang dia anut. Aku tahu bahwa kamu juga pernah mencintainya dan mungkin masih mencintainya sampai sekarang. Tapi aku berharap kamu bisa memberikan dukungan dan doa terbaik untuk kita berdua.”
Abi tersenyum dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. “Aku akan selalu mendukung nya dalam setiap langkah nya. Karena dia wanita yang luar biasa dan pantas mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya. Tapi aku butuh waktu untuk bisa benar-benar menerima hubungan kamu berdua. Jangan marah ya jika aku tidak bisa langsung muncul dengan senyum penuh setiap kali melihat kamu berdua bersama.”
Pramudya mengambil tangan kakaknya dengan lembut. “Tidak masalah Kak. Aku mengerti perasaan kamu. Kita akan menunggu sampai kamu benar-benar siap. Dan apa pun yang terjadi, kamu tetap adik ku yang tersayang dan bagian penting dari keluarga kita.”
Beberapa minggu kemudian, saat Andini dan Pramudya mengumumkan hubungan mereka kepada seluruh tim, Abi tidak datang ke acara tersebut. Namun dia mengirimkan sebuah bingkisan besar beserta surat untuk mereka berdua. Di dalam bingkisan ada sebuah patung kayu kecil yang diukir dengan motif tiga bunga yang tumbuh dari satu akar yang kuat. Surat nya berbunyi:
“Untuk Andini dan Pramudya. Aku minta maaf jika aku tidak bisa hadir hari ini. Aku masih butuh waktu untuk bisa benar-benar menerima hubungan kalian berdua. Tapi itu tidak berarti aku tidak merasakan kebahagiaan saat mengetahui kabar baik ini. Patung kayu ini melambangkan kalian berdua dan aku. Meskipun kita memiliki jalan hidup yang berbeda namun kita berasal dari akar yang sama yaitu cinta pada budaya Indonesia yang kaya dan indah. Semoga kalian berdua selalu bahagia dan bisa mencapai semua impian kalian bersama. Dengan cinta dan penghargaan. Abi.”
Baca surat itu membuat mata Andini berkaca-kaca. Dia tahu bahwa menerima hubungan nya dengan Pramudya tidaklah mudah bagi Abi. Tapi dia juga percaya bahwa dengan waktu dan kesabaran, mereka semua bisa hidup dengan damai dan saling menghargai satu sama lain.
“Kita akan menunggu dia ya,” ucap Andini sambil melihat ke arah Pramudya. “Karena dia bukan hanya mantan kekasih ku tapi juga saudara dari orang yang aku cintai dan bagian penting dari perjalanan kita untuk mengembangkan kerajinan tangan Indonesia.”
Pramudya mengangguk lalu mencium dahi Andini dengan penuh kasih sayang. “Ya kita akan menunggu dia. Karena keluarga dan persahabatan adalah hal yang paling berharga dalam hidup kita.
\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*