novel fiksi yang menceritakan kehidupan air dan api yang tidak pernah bersatu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Syihab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bara Lembut yang Retak, Air yang Membangkitkan
Cai memapah tubuh Sena perlahan, menurunkannya agar bersandar pada salah satu pilar yang masih utuh. Luka-luka Sena menganga, beberapa bagian tubuhnya tampak seperti retakan lava yang belum mengeras. Setiap napas Sena mengeluarkan percikan api kecil—tanda ia sedang menahan rasa sakit yang sangat dalam.
Penjaga Bara Lembut berlari menghampiri keduanya dengan wajah terguncang. “T-Tidak mungkin… Pemimpin Api Merah benar-benar dikalahkan…”
Namun suara mereka terhenti saat melihat Sena. Salah satu penjaga berlutut, matanya melebar ketakutan. “Lukanya… mengerikan.”
Sena terbatuk, suara seraknya terdengar seperti bara yang hampir padam. “Aku… baik.” Ia tersenyum kecil, meski bibirnya retak. “Hanya… terbakar sedikit.”
“Itu bukan sedikit,” desis Cai, suaranya bergetar namun penuh kemarahan—bukan pada Sena, tetapi pada fakta bahwa Sena terluka karena menyelamatkannya.
Cai menyentuh lengan Sena yang penuh luka bakar. Saat kulit mereka bersentuhan, air biru-perak dari tubuh Cai mengalir pelan seperti kabut tipis. Api kecil di luka-luka Sena langsung mereda.
Sena mengerjap lemah. “Kau… menyembuhkanku?”
Cai menggeleng pelan. “Bukan menyembuhkan. Hanya mendinginkan.”
Penjaga Bara Lembut menatap pemandangan itu seolah melihat keajaiban. “Makhluk air tidak… bisa menyentuh luka api tanpa menguap. Kau… kau benar-benar berbeda.”
Cai mengabaikan komentar itu. Ia mengarahkan tubuh Sena ke pangkuannya, merangkul bahu lelaki itu dengan hati-hati. “Sena… dengar aku.”
Sena menoleh pelan, matanya yang biasanya berkobar kini tampak redup—seperti nyala lilin di akhir malam.
“Kau akan selamat,” kata Cai, tegas namun lirih. “Aku tidak akan membiarkan apa pun terjadi padamu. Tidak lagi.”
Sena mengangkat tangan gemetar, menyentuh pipi Cai. Sentuhan itu panas, tapi tidak membakar. “Kau… mengalahkan Pemimpin Api Merah. Makhluk air seharusnya tidak bisa… tapi kau…”
Cai menunduk, menangkup tangan Sena. “Karena kau ada di sana.”
Sena tertawa kecil meski tertahan sakit. “Kau selalu… keras kepala.”
Penjaga Bara Lembut memotong dengan nada mendesak, “Kita harus keluar dari ruangan ini. Bangunan sedang runtuh. Kekuatan Pemimpin Api Merah yang hilang membuat inti kuil tidak stabil.”
Benar saja.
Dinding yang tadinya kokoh mulai bergetar hebat. Plafon retak, menyerpih menjadi serpihan besar yang jatuh satu per satu.
Cai berdiri, menarik Sena ke atas dengan hati-hati. “Bisa berdiri?”
“Bisa… mungkin,” jawab Sena, tapi tubuhnya langsung goyah.
Cai menangkapnya lagi. “Tidak. Aku yang membawamu.”
Sena hendak menolak, namun Cai memelototinya. “Diam saja.”
Sena mengangguk pasrah. “Baik…”
Cai meraih tubuh Sena, mengangkatnya dengan lengan kiri sementara tangan kanannya menggenggam kristal Bara Lembut. Aura air biru-perak mengalir, membentuk semacam lapisan pelindung tipis di sekitar mereka, menahan pecahan batu panas yang mulai runtuh dari langit-langit.
Penjaga Bara Lembut memimpin jalan. “Cepat! Ke terowongan bawah!”
Mereka melewati lorong sempit yang sebelumnya terasa tenang, namun kini dipenuhi asap panas. Bara kecil melayang di udara seperti abu bercahaya. Setiap kali ada batu besar jatuh, Cai mengangkat tangan dan arus air berputar, memecah batu atau meredam panasnya sebelum mengenai Sena.
Sena berbisik lemah, “Kau… sama sekali bukan makhluk air biasa.”
Cai menjawab tanpa menoleh, “Sudah kubilang. Aku bukan hanya air.”
---
Beberapa menit kemudian, mereka tiba di ruang bawah tanah yang lebih stabil. Penjaga Bara Lembut segera mengaktifkan segel pelindung di pintu masuk, menutup semua akses dari Api Merah yang mungkin masih tersisa.
Ruangan itu remang-remang, dipenuhi ukiran api lembut. Cahaya dari kristal-kristal emas di dinding memantulkan wajah lelah semua yang ada di sana.
Cai menurunkan Sena perlahan di atas alas batu hangat.
Sena akhirnya bicara lagi, suara lirih namun jelas, “Cai… kau harus pergi ke retakan itu.”
Cai memalingkan wajah cepat. “Tidak. Kau masih dalam bahaya. Aku tidak akan pergi ke mana pun.”
“Cai…”
“Tidak.”
Sena tersenyum lemah, tapi matanya serius. “Jika retakan itu tidak ditutup… dunia kita semua akan hancur. Termasuk dimensi airmu… dan aku.”
Cai membeku.
“Maksudmu…?”
Sena mengambil napas berat. “Retakan dimensi itu… bukan hanya celah biasa. Energinya memakan seimbangannya sendiri. Air dan api akan saling menghancurkan. Jika dibiarkan… semuanya akan runtuh.”
Cai mengepal tangan. “Kenapa semuanya selalu harus berakhir dengan aku meninggalkanmu?”
Sena menatapnya lama. Lalu ia mengangkat tangan dan menyentuh dada Cai—tepat di area di mana kristal Bara Lembut ditempelkan.
“Karena hanya kau yang bisa menutupnya.”
Cai merasakan denyut bergetar dari pecahan kristal itu.
“Kau berbeda,” lanjut Sena. “Kau bukan hanya makhluk air. Kau sesuatu yang lain. Sesuatu yang… aku tidak mengerti. Tapi aku tahu satu hal—kau terhubung dengan retakan itu sejak awal.”
Cai menunduk. “Kalau aku pergi… bagaimana denganmu?”
Sena tersenyum sedih. “Aku akan bertahan.”
“Kau berjanji?” suara Cai pecah sedikit.
Sena menatap lurus ke matanya. “Aku berjanji akan menunggu.”
Cai memegangi wajah Sena dengan kedua tangannya. “Aku akan kembali. Aku berjanji. Jadi jangan mati.”
Sena tertawa kecil. “Tidak mudah membunuh api sekeras aku.”
Cai memeluknya sekali lagi, erat, seakan takut tubuh api itu akan hilang jika ia melepasnya.
---
Tak lama kemudian, penjaga Bara Lembut memanggil. “Cai… retakan itu mulai melebar. Kita harus memulai sekarang.”
Cai mengangguk pelan, tapi matanya tertahan pada Sena.
Sena memberi anggukan lembut. “Pergi.”
Cai berbalik. Aura biru-perak di tubuhnya mengalir kuat, menyala seperti bintang. Setiap langkah yang diambil terasa semakin berat, tapi ia terus maju.
Ia memasuki terowongan kecil menuju ruang khusus—ruang yang memiliki portal ke retakan dimensi.
Sebelum pintu tertutup, Sena memanggilnya.
“Cai!”
Cai menoleh cepat.
Sena tersenyum samar.
“Terima kasih… sudah datang kembali untukku.”
Cai tersenyum—senyum yang penuh tekad, sekaligus luka. “Selalu.”
Pintu tertutup.
Cai melangkah ke ruang portal, udara di sana dipenuhi arus energi biru dan merah yang saling bertabrakan seperti badai tanpa irama. Portal besar berwarna putih keemasan mulai terbuka—gerbang menuju retakan dimensi.
Penjaga Bara Lembut terakhir yang ada di ruangan itu memandang Cai dengan penuh hormat. “Kau mungkin satu-satunya makhluk yang mampu menahan energi dari kedua elemen.”
Cai menghela napas dan menatap portal yang berputar ganas.
“Retakan ini merusak dua dunia,” katanya pelan. “Saat aku kembali… aku ingin melihat Sena berdiri di sana.”
Penjaga itu menunduk. “Kami akan menjaganya.”
Cai menguatkan diri.
Ia melangkah ke dalam portal.
Angin dimensi menerjang tubuhnya dengan kekuatan yang hampir mematahkan tulang. Energi air dan api menabrak tubuhnya dari dua arah, memaksa cairan di dalam tubuhnya berputar liar.
Namun aura biru-peraknya muncul—lebih besar dari sebelumnya—melindungi tubuhnya seperti selubung perak hidup.
Cai menerjang masuk ke dalam retakan yang berputar seperti lautan badai tanpa batas.
Dunia di belakangnya lenyap.
Dan perjalanan menuju takdirnya dimulai.