0o0__0o0
Lyra siswi kelas dua SMA yang dikenal sempurna di mata semua orang. Cantik, berprestasi, dan jadi bintang utama di klub balet sekolah.
Setiap langkah tariannya penuh keanggunan, setiap senyumnya memancarkan cahaya. Di mata teman-temannya, Lyra seperti hidup dalam dunia yang indah dan teratur — dunia yang selalu berputar dengan sempurna.
***
"Gue kasih Lo Ciuman....kalau Lo tidak bolos di jam sekolah sampai akhir." Bisik Lyra.
0o0__0o0
Drexler, dengan sikap dingin dan tatapan tajamnya, membuat Lyra penasaran. Meskipun mereka memiliki karakter berbeda. Lyra tidak bisa menolak ketertarikannya pada Drexler.
Namun, Drexler seperti memiliki dinding pembatas yang kuat, membuat siapapun sulit untuk mendekatinya.
***
"Mau kemana ?" Drexler menarik lengan Lyra. "Gue gak bolos sampai jam akhir."
Glek..! Lyra menelan ludahnya gugup.
"Lyra... You promise, remember ?" Bisik Drexler.
Cup..!
Drexler mencium bibir Lyra, penuh seringai kemenangan.
"DREXLER, FIRST KISS GUE"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuna Nellys, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Rain and You
...0o0__0o0...
...Sore itu hujan turun deras....
...Bel sekolah sudah lama berhenti berdentang, namun Lyra masih duduk di taman yang sepi. Air hujan mengguyur tubuhnya, menempel di seragam, meresap ke kulit....
...Gadis itu bersandar pada bangku kayu yang basah, menengadah ke langit abu-abu dengan mata terpejam....
..."Hujan termasuk salah satu hal yang gue suka," gumamnya lirih. "Soalnya di balik tiap tetesnya, banyak hal bisa di sembunyiin... termasuk kesedihan."...
...Beberapa detik kemudian, tetesan air di wajahnya berhenti....
...Lyra membuka mata perlahan....
...Hujannya belum reda, tapi di atasnya kini terbentang payung hitam....
...Sosok Drexler berdiri di sana. Tegap, dingin, dengan tatapan tajam yang sulit di tebak....
...Rambutnya sedikit basah, tapi ekspresinya sama sekali tak terganggu oleh hujan. Melainkan pada kondisi tubuh Lyra yang yang basah kuyup....
...Lyra menatapnya beberapa saat sebelum tersenyum kecil. "Gue lagi pengen menikmati hujan," ucapnya lembut, setengah menantang....
...Drexler menunduk sedikit, menatap balik ke matanya. "Menikmati ?" suaranya datar, tapi terdengar tegas. "Menikmati gak harus nyiksa diri sendiri, Lyra."...
...Lyra tersenyum miring mendengar ucapan Drexler....
...Air hujan yang masih turun deras memantul di sekitar mereka, menciptakan suara lembut yang menenangkan....
..."Gue gak ngerasa nyiksa diri kok," ucap Lyra ringan, matanya menatap dalam ke arah Drexler. "Lo aja yang terlalu gampang khawatir sama gue."...
...Drexler menghela napas pelan. "Gue gak khawatir."...
..."Yakin ?" Lyra menaikkan alisnya. "Soalnya lo rela berdiri di sini cuma buat payungi gue dari hujan."...
...Drexler terdiam. Matanya menatap gadis itu lama, seolah berusaha membaca isi pikiran Lyra yang selalu rumit....
..."Hujan bisa bikin orang sakit, Lyra." katanya akhirnya....
...Lyra terkekeh pelan. "Atau mungkin... hujan bikin lo takut nyakitin gue ?"...
...Nada suaranya manis, tapi di baliknya ada keberanian yang tak biasa....
...Drexler menatapnya tajam, tapi Lyra tak bergeming....
...Gadis cantik itu malah berdiri perlahan, mendekat di bawah payung hitam yang di pegang Drexler. Hingga jarak mereka nyaris tanpa sela....
..."Tenang aja, Drex," bisik Lyra lembut sambil menatap mata tajam cowok itu. "Gue belum berniat pergi kok. Belum... kalau lo masih mau berdiri di samping gue kayak gini."...
...Udara di antara mereka terasa berat, lebih dari sekadar aroma hujan yang lembab....
...Drexler memalingkan wajahnya perlahan, berusaha menahan sesuatu di dadanya....
...Tapi Lyra hanya tersenyum puas. Ia tahu setiap kali Drexler diam, berarti salah satu ucapan-nya baru saja berhasil membuatnya terbungkam....
...Hujan masih turun deras....
...Lyra masih berdiri di depan Drexler, senyumnya tak luntur sedikit pun meski tubuhnya menggigil pelan....
...Cowok itu menghela napas pendek, lalu melepaskan jaket hitamnya tanpa banyak bicara....
...“Pakai,” ucapnya singkat, menyampirkan-nya ke bahu Lyra....
...Lyra melirik ke arah jaket itu, lalu ke wajah Drexler. “Lo gak takut kedinginan ?” godanya....
...Drexler hanya menatapnya datar. “Gue bukan lo.”...
...Lyra terkekeh pelan. “Dingin banget gaya lo, tapi tetap perhatian juga.”...
...“Gue cuma gak mau lo sakit,” jawab Drexler cepat, menatap ke arah lain....
...“Alasan klasik,” bisik Lyra, suaranya menggoda. “Tapi makasih, Xler.”...
...Drexler diam. Namun, jemarinya tanpa sadar merapikan posisi jaket di bahu Lyra agar menutup lebih rapat....
...Gerakannya halus, nyaris lembut, meski wajahnya tetap sama dingin....
...Lyra memperhatikan itu, lalu tersenyum kecil. “Datar, tapi hangat juga ya,” ucapnya pelan....
...Drexler mendengus pelan. “Gue gak ngerti maksud lo.”...
...Lyra mendongak sedikit, menatap matanya dari dekat. “Gue gak nuntut Lo ngerti. Cukup diem aja, kayak biasanya.”...
...Hening sejenak....
...Hujan jadi satu-satunya suara di antara mereka....
...Lalu Drexler berucap datar, tapi suaranya nyaris tak terdengar.“Kalau Lo udah selesai main hujan, ayo pulang.”...
...“Kalau gue belum mau pulang ?” tantang Lyra....
...Drexler menatapnya lagi, kali ini lebih lama....
...“Ya udah. Gue tunggu.”...
...Lyra tersenyum tipis. Tangannya mendah air hujan dari tetesan payung hitam di genggam Drexler....
...“Dulu gue selalu benci hujan,” kata Lyra pelan....
...Drexler yang sedang merapikan rambut Lyra di belakang berhenti sejenak, mendengarkan. Tanpa ada niatan bertanya, ia hanya memberi ruang tanpa banyak bertanya pada gadis keras kepala itu....
...Lyra tersenyum kecil. “Karena tiap kali hujan, gue ngerasa sendirian. Kayak dunia ikut nangis bareng gue.” Ia menatap lurus ke depan, menahan napas sebentar. “Tapi sekarang… hujan rasanya beda. Tenang. Hangat.”...
...Drexler berjalan mendekat tanpa suara, berdiri di sisi kirinya....
...Petir dari luar menyorot setengah wajahnya, menegaskan sorot mata yang lembut tapi tersembunyi di balik ekspresi datarnya....
...“Kenapa bisa beda ?” tanya Drexler datar, tapi suaranya rendah dan dalam, seolah takut merusak momen itu....
...Lyra menoleh sedikit, menatap matanya dalam. “Karena sekarang, gue gak sendirian.” Ia tersenyum kecil. “Ada lo di sini.”...
...Drexler tak menjawab. Ia hanya menatap hujan. Tapi dalam diamnya, ada sesuatu yang berubah. Tangan kirinya terulur, perlahan menutup jarak, hingga ujung jarinya menyentuh pipi dingin Lyra lembut....
...Sebuah sentuhan sederhana, tapi cukup untuk membuat dada Lyra berdebar....
...Hujan semakin deras. Cahaya Petir menari di permukaan air. Sebagai tanda kilatan getaran yang ada di keduanya....
...Lyra menunduk sedikit, lalu berbisik lirih, “Lucu ya, hujan bisa nyembunyiin air mata… tapi gak bisa nyembunyiin perasaan.”...
...Lyra menegakkan kepalanya, menghembuskan nafas dalam. "Entah kenapa, mendengar hujan selalu membuat gue merasa lebih tenang, tapi juga lebih sedih. Seperti ada sesuatu yang hilang, tapi gue tidak tahu apa itu."...
...Drexler menghela napas pelan, suaranya nyaris seperti gumaman....
..."Ya. Hujan mungkin bisa menyembunyikan air mata, tapi perasaan yang ada di dalam hati kita tidak akan bisa di sembunyikan selamanya. Kadang-kadang, hujan malah membuat kita lebih menyadari apa yang kita rasakan."...
...Lyra mengangguk singkat. ""Memang benar... kadang-kadang Gue merasa lebih mudah untuk berbicara tentang semuanya saat hujan. Suara tetesan air di tanah sepertinya bisa menyerap semua keluh kesah gue."...
...Drexler menatap Lyra dari samping. "Hujan itu seperti cermin, merefleksikan semua perasaan yang coba di sembunyikan. Tapi, Lo tidak tahu apakah Lo siap untuk melihat apa yang ada di dalam diri Lo sendiri."...
...Lyra menoleh, membalas tatapan Drexler. "Dan mungkin itu saja yang gue butuhkan, perasaan bahwa ada sesuatu yang mengerti tanpa harus mengerti sepenuhnya."...
...Hening sejenak....
..."Ya, kadang-kadang itu sudah cukup. Untuk merasa di pahami tanpa harus di jelaskan." Kata Drexler datar namun masih terdengar lembut di telinga Lyra....
...0o0__0o0...
...Langit sore tampak kelabu, matahari tertutup awan tebal. Cahaya oranye pucat menembus kaca besar ruang tengah Mansion Valenstein, menerpa lantai marmer dan memantulkan bayangan tubuh-tubuh yang berdiri tegang....
...Deretan bodyguard berbadan besar berbaris di hadapan Guntur Wardhana, pria separuh baya berjas hitam, berdiri di depan meja kayu mahoni panjang yang kini berantakan, dokumen berserakan, gelas kristal pecah di lantai....
...Wajah Guntur mengeras, matanya merah seperti menahan api yang sudah tak bisa di bendung....
...“Udah dua puluh empat jam…” suaranya berat, serak, nyaris bergetar menahan emosi. “DUA PULUH EMPAT JAM putriku gak bisa kalian temukan.”...
...Tak ada yang berani angkat kepala....
...Angin dari pendingin ruangan terdengar lebih keras dari pada napas siapa pun di ruangan itu....
...Guntur melangkah maju pelan, sepatu kulitnya berderak di atas marmer. Ia menatap satu per satu wajah bodyguardnya dingin, tajam, menelanjangi ketakutan mereka....
...“Lyra itu bukan gadis biasa. Kalian tahu betul siapa dia.” Ia berhenti di depan Raka, kepala keamanan yang tampak paling gugup. “Dan lo, Raka—katanya pasang orang di semua jalan utama ? Katanya mobil Lyra gak bakal lepas dari radar lo?”...
...Raka mencoba bicara, suaranya goyah....
...“Kami udah cek semua CCTV, Bos. Tapi rekamannya tiba-tiba hilang—”...
...“HILANG ?!” bentak Guntur, suaranya memecah udara sore yang hening. “Rekaman bisa hilang ?! Apa kalian kerja pakai insting ayam, hah ?!”...
...PLAKK..!...
...Tangan Guntur melayang cepat, tamparan keras mendarat di pipi Raka, membuat kepala pria itu berputar ke samping....
...Raka menunduk, darah menetes dari sudut bibirnya. Tanpa suara keluar dari mulutnya....
...Guntur menghela napas dalam, tapi kemarahan-nya belum reda. Ia menatap ke arah bodyguard lain di sebelah kanan....
...“Kalian semua… katanya loyal sama keluarga ini. Tapi nyatanya Putriku hilang kayak di telan bumi! Apa gunanya loyalitas kalau hasilnya NOL ?!”...
...BRAK..!...
...Guntur menendang kursi hingga jatuh menghantam lantai. Suara kayunya memantul ke seluruh ruangan....
...“Kalian pikir saya cuma marah karena Lyra putriku ?”...
...Suaranya kini menurun, tapi jauh lebih berbahaya....
...“Saya marah karena kalian udah ngelupain buat siapa kalian kerja. Keluarga Valenstein gak pernah toleransi kegagalan.”...
...Guntur menatap keluar jendela, halaman luas mansion tampak sepi, di terpa angin sore yang berat. Di kejauhan, air mancur masih mengalir lembut, kontras dengan suasana di dalam ruangan....
...“Lyra itu harta saya satu-satunya…” gumamnya lirih, tapi cukup untuk terdengar jelas...
...Semua diam....
...Suara jam antik berdetak pelan di dinding, seperti hitungan waktu yang semakin menyesakkan....
...Guntur berbalik lagi, tatapan-nya dingin menusuk. “Mulai detik ini, saya gak mau denger alasan. Saya mau hasil.”...
...“Kalian kerahkan semua orang, bahkan kalau harus bayar satu kota buat cari Lyra—lakukan.” Ia menunduk sedikit, matanya penuh ancaman. “Dan kalau besok pagi Lyra belum ketemu…” ...
...Guntur berhenti sejenak, menatap Raka yang masih menunduk dengan darah di bibirnya. “…kalian semua gak usah balik ke mansion ini lagi.”...
...Hening....
...Cahaya sore menipis, meninggalkan ruangan itu dalam bayangan yang panjang....
...Guntur berjalan menuju tangga besar, berhenti di anak tangga pertama. Suaranya pelan, tapi dingin menusuk....
...“Saya udah kehilangan Mamanya. Dan saya gak akan biarin kehilangan anaknya juga.”...
...Langkah sepatunya bergema naik ke lantai dua, meninggalkan semua orang dalam ketegangan dan rasa takut yang membeku....
...0o0__0o0...
😌
dexler udh dateng tuh matilah kau bagas 😂😂
😉🤭😅