Dikhianati. Dituduh berkhianat. Dibunuh oleh orang yang dicintainya sendiri.
Putri Arvenia Velmora seharusnya sudah mati malam itu.
Namun takdir memberinya satu kesempatan—hidup kembali sebagai Lyra, gadis biasa dari kalangan rakyat.
Dengan ingatan masa lalu yang perlahan kembali, Lyra bersumpah akan merebut kembali takhta yang dirampas darinya.
Tapi segalanya menjadi rumit ketika ia bertemu Pangeran Kael…
Sang pewaris baru kerajaan—dan reinkarnasi dari pria yang dulu menghabisi nyawanya.
Antara cinta dan dendam, takhta dan kehancuran…
Lyra harus memilih: menebus masa lalu, atau menghancurkan segalanya sekali lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adrina salsabila Alkhadafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13: Kutukan Liontin
Lyra kembali ke Ruang Kerja Kael. Ia tidak lagi menyelinap. Ia berjalan dengan otoritas seorang Ratu yang kembali dari misi rahasia.
Kael menunggunya, menatap Liontin Segel itu di tangannya.
"Kau membawanya," kata Kael, menggunakan dialek kuno. "Kau kembali utuh."
"Saya kembali dengan tujuan yang jelas," balas Lyra, meletakkan Liontin perak berukir Bintang Bermata Tujuh itu di atas peta Istana. "Valerius tidak pantas mendapatkan dendam saya. Tapi Ordo Tujuh Bintang pantas mendapatkan kehancuran."
Kael tersenyum puas. "Begitu, Ratu-ku. Sekarang, mari kita gunakan Liontin yang penuh kutukan ini untuk keuntungan kita."
Lyra menjelaskan: "Bangsawan Eteria sangat takut pada legenda Ordo Tujuh Bintang. Jika kita secara terbuka mengaitkan Liontin ini dengan Duke Renald dan sekutunya, semua faksi yang tersisa—termasuk Marquess Elina—akan panik. Mereka akan saling menuduh, dan kita bisa mengambil kekuasaan mereka tanpa pertumpahan darah besar."
"Cerdik," puji Kael. "Kita akan mengadakan Sidang Darurat Dewan. Aku akan menunjukkan Liontin ini dan mengklaim bahwa Renald dan pengikutnya adalah agen Ordo Tujuh Bintang."
"Tapi kita butuh bukti koneksi Renald ke Liontin itu," Lyra mengingatkan.
Kael mencondongkan tubuh ke Liontin itu, matanya berkilauan. "Liontin itu sudah memberi kita bukti, Arvenia. Liontin ini memiliki kutukan yang membuatnya panas di tangan pengkhianat. Coba lihat."
Kael menyentuh Liontin itu. Tidak ada yang terjadi. Kael meletakkan tangan Lyra di atas Liontin itu. Lyra tidak merasakan apa-apa.
"Sekarang, bayangkan Renald menyentuhnya," Kael menginstruksikan.
Lyra membayangkan Duke Renald, arogansinya, kebohongannya. Tiba-tiba, Liontin itu terasa dingin di tangan Lyra, Lyra merasakan sensasi aneh seolah ada energi gelap yang menolak.
"Liontin itu merasakan pengkhianatan dalam pikiranmu, bukan hanya di darahmu," Kael menjelaskan. "Kita akan menggunakannya sebagai uji kebenaran. Jika ada bangsawan yang menentangku di Sidang, aku akan memaksanya menyentuh Liontin itu."
Keesokan harinya, Sidang Darurat Dewan diadakan. Lyra tidak lagi berdiri di balik tirai. Kael memerintahkan agar Lyra berada di ruangan itu sebagai "Penasihat Urusan Arsip," posisi yang diabaikan dan memungkinkan Lyra untuk mengamati.
Lyra duduk di sudut ruangan, mengenakan gaun baru yang Kael berikan—gaun sederhana namun mahal, berwarna abu-abu gelap, yang menegaskan perubahan statusnya.
Kael memulai Sidang dengan tenang. Ia langsung memaparkan tuduhan terbarunya: bahwa Renald bukan hanya korup, tetapi juga agen dari Ordo Tujuh Bintang.
"Saya memiliki bukti yang tidak dapat disangkal," Kael menyatakan, sambil meletakkan Liontin Segel perak itu di atas meja.
Semua mata terfokus pada Liontin itu. Bisikan ketakutan menyebar. Legenda Ordo Tujuh Bintang adalah dongeng yang menakutkan bagi mereka.
Marquess Elina, yang masih memimpin oposisi, segera berdiri. Wajahnya tegang, tetapi dia menahan ketakutannya.
"Yang Mulia! Ini adalah fitnah yang absurd! Dongeng kuno!" Elina mencibir. "Apakah Anda menggunakan takhayul untuk menindas bangsawan yang berani mempertanyakan kekuasaan Anda?"
"Saya menindas pengkhianat," balas Kael, suaranya sedingin baja. "Liontin ini akan membuktikan tuduhan saya."
Kael menunjuk ke arah Marquess Elina. "Marquess. Jika Anda berani, sentuh Liontin ini dan buktikan bahwa Anda tidak memiliki niat untuk mengkhianati Mahkota. Liontin ini memiliki kutukan: ia akan membakar kulit pengkhianat."
Elina terperangkap. Jika dia menolak, dia terlihat bersalah. Jika dia menyentuh, dia takut.
"Ini adalah trik!" Elina gemetar.
"Apakah ini trik, atau Anda takut?" Kael mendorong.
Akhirnya, Elina yang sombong melangkah maju. Dia tidak bisa membiarkan keraguannya terlihat. Dengan tangan gemetar, Elina menyentuh Liontin itu.
Lyra mengamati, Lyra memusatkan pikirannya pada pengkhianatan Elina—sutranya yang basah, plotnya untuk memblokir suplai besi.
Begitu jari Elina menyentuh logam perak itu, Elina berteriak. Dia menarik tangannya, di sana terlihat noda merah yang nyata. Itu bukan luka bakar, tetapi reaksi Liontin terhadap pikiran pengkhianatan.
Kael mengangguk puas. "Tertangkap. Pengkhianat."
Lyra merasakan Liontin itu bergetar, mengirimkan gelombang kekuatan dingin melalui ruangan itu. Liontin itu merespons Lyra dan intensitas emosionalnya, bukan sihir Kael.
Dalam kepanikan, Lord Victor Kreshnik (sekutu baru Lyra yang ketakutan) segera berdiri dan menuduh Elina. Begitu juga beberapa bangsawan lainnya. Lyra dan Kael tidak perlu lagi bertarung; mereka membiarkan bangsawan saling menghancurkan.
Marquess Elina diseret keluar dari ruangan, berteriak bahwa dia dijebak.
Kael memenangkan sidang itu. Liontin Segel telah membersihkan setengah dari bangsawan yang tersisa.
III. Konsesi dan Ketergantungan (950 kata)
Malam harinya, setelah kemenangan politik yang dingin itu, Lyra kembali ke Ruang Kerja Kael. Kael berdiri di sana, tanpa jubah, hanya kemeja tipis. Dia tampak seperti seorang komandan setelah perang.
"Kemenangan yang mulus," kata Lyra, Lyra berjalan mendekati Liontin Segel itu. "Anda adalah ahli strategi yang brilian, Aerion."
"Kau adalah agen yang sempurna, Arvenia," balas Kael, menatap Liontin itu. "Tapi kau merasakan kekuatannya, bukan? Liontin itu bereaksi padamu."
Lyra menyentuh Liontin itu lagi. "Rasanya seperti ada energi dingin yang mengikat. Rasanya... kuat."
"Itu adalah kutukan Ordo Tujuh Bintang," Kael menjelaskan. "Mereka mengikat liontin itu pada jiwa penggunanya. Jika kau menggunakannya untuk tujuan mulia, kau mendapatkan kekuasaan. Jika kau menggunakannya untuk tujuan egois, ia akan menguras jiwamu, seperti yang ia lakukan pada Valerius."
Kael memegang tangan Lyra, matanya serius. "Ingat, hanya aku, sebagai Aerion, yang bisa menyeimbangkan kutukan itu dengan energi kuno yang melindungimu. Kau harus tetap dekat denganku."
Ini adalah konsesi terbesarnya—pengakuan bahwa ia tidak hanya menginginkan Lyra, tetapi ia membutuhkan Lyra. Dan Lyra membutuhkan dia. Ketergantungan mereka kini bukan hanya politik, tetapi supranatural.
"Dan apa imbalan Anda, Aerion?" Lyra bertanya, menatapnya, menikmati permainan kekuasaan yang jujur ini.
Kael menarik Lyra mendekat. Jarak antara mereka lenyap. "Imbalanku adalah Eteria yang bersih. Dan..."
Kael mencium Lyra. Ciuman itu dalam, berbeda dengan ciuman eksplorasi sebelumnya. Ciuman ini adalah pengakuan gairah yang dibangun di atas kekuasaan, ancaman, dan takdir. Lyra membalasnya dengan intensitas yang sama.
Ketika mereka menjauh, Lyra tersenyum sedikit. "Anda tidak akan pernah menyerahkan takhta itu kepada saya, bukan? Anda akan membuat saya menjadi Ratu Anda, tetapi Anda akan tetap menjadi Raja di balik layar."
Kael membelai pipi Lyra. "Aku hanya ingin menguji apakah kehendakmu cukup kuat untuk memimpin Eteria. Jika kau menjadi Ratu-ku, kita akan memerintah bersama. Kekuatan kita tak tertandingi."
Kael mencondongkan tubuh, berbisik dalam dialek kuno: “Kita adalah pasangan yang takdirkan untuk memerintah, Lyra. Aku akan mengajarimu semua yang kau butuhkan.”
Lyra tidak lagi melawan. Lyra telah menemukan tempatnya: di sisi Kael, sebagai kekuatan di balik takhta, Ratu yang Bangkit.
Lyra mencengkeram Liontin itu erat-erat. "Tugas kita selanjutnya, Yang Mulia?"
"Tugas selanjutnya," Kael tersenyum, senyum yang menjanjikan bahaya dan hasrat. "Kita akan menargetkan sisa-sisa Ordo Tujuh Bintang yang mungkin masih bersembunyi di perbatasan. Dan kita akan memerintah, Ratu-ku. Malam ini, dan seterusnya."
“Bangkit Setelah Terluka” bukan sekadar kisah tentang kehilangan, tapi tentang keberanian untuk memaafkan, bertahan, dan mencintai diri sendiri kembali.
Luka memang meninggalkan jejak, tapi bukan untuk selamanya membuat kita lemah.
Dalam setiap air mata, tersimpan doa yang tak terucap.
Cinta, pengorbanan, dan air mata menjadi saksi perjalanan hidup seorang wanita yang hampir kehilangan segalanya—kecuali harapan.
“Bangkit Setelah Terluka” menuturkan kisah yang dekat dengan hati kita: tentang keluarga, kesetiaan, dan keajaiban ketika seseorang memilih untuk tetap bertahan meski dunia meninggalkannya.
Bacalah… dan temukan dirimu di antara setiap helai kisahnya.