“Sekarang, angkat kakimu dari rumah ini! Bawa juga bayi perempuanmu yang tidak berguna itu!”
Diusir dari rumah suaminya, terlunta-lunta di tengah malam yang dingin, membuat Sulastri berakhir di rumah Petter Van Beek, Tuan Londo yang terkenal kejam.
Namun, keberadaanya di rumah Petter menimbulkan fitnah di kalangan penduduk desa. Ia di cap sebagai gundik.
Mampukah Sulastri menepis segala tuduhan penduduk desa, dan mengungkap siapa gundik sebenarnya? Berhasilkah dia menjadi tengkulak dan membalas dendam pada mantan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sulastri 12
Wangi bunga kopi memenuhi kamar berdinding kuning pucat, hordeng bermotif bunga bergoyang pelan tertiup angin. Suara jangkrik samar tertelan senandung gending jawa yang dilantunkan Sulastri di bawah jendela, sembari merajut topi untuk sang putri.
Sudah satu minggu sejak kepindahannya dari rumah Petter, wanita itu sering menghabiskan waktu dengan merajut, hasil dari belajarnya bersama Mbok Sum.
Mbok Sum yang datang membawa dua gelas teh panas dan sepiring pisang goreng, tersenyum kagum mendengar suara merdu dari wajah ayu yang mengilat tertempa temaram senja.
Wanita sepuh itu, bertepuk tangan sesaat setelah meletakkan nampan di meja sudut ruangan, membuat Sulastri tersentak pelan.
“Duh … wes ayu, suarane merdu,” ucap Mbok Sum. “Kita duduk di teras samping, Nduk. Sore-sore begini udaranya sejuk,” ajak Mbok Sum.
Sulastri mengangguk kecil sembari meletakkan benang rajutnya, lalu menggendong si kecil yang sedari tadi tidur di ayunan rotan. Wanita itu kemudian mengikuti langkah Mbok Sum yang sudah lebih dulu berjalan keluar.
“Sini Noni cilik biar Mbok'e yang pangku,” timpal wanita sepuh itu sembari menyodorkan kedua tangannya.
Sulastri kemudian meletakkan bayinya ke pangkuan Mbok Sum. Tatapannya berbinar saat melihat tumpukan pisang goreng di piring seng bermotif bunga sepatu.
“Noni cilik sepertinya sudah hampir selapan,(masa 40 hari) to, Nduk?” tanya Mbok Sum sambil menimang bayi mungil yang mengulet kecil di pangkuannya.
Sulastri berpikir sejenak, mengingat-ingat awal dia sampai di rumah megah itu. “Apa sudah secepat itu, Mbok?”
Mbok Sum tertawa kecil, “Sepertinya … kita harus segera memberi nama bocah ayu ini, Nduk. Ndak baik kalau sampai lewat 40 hari belum di kasih nama.”
“Nama?” gumam Sulastri, dia bahkan melupakan perihal identitas sang putri.
“Iyo, kamu sudah ada persiapan? Atau ….”
Sulastri menunduk cepat, hatinya berdesir perih ‘Bahkan wajahnya pun tidak dilihat oleh bapaknya, apalagi nama,’ batinnya.
“Nduk,” panggil Mbok Sum membuat Sulastri sedikit tersentak.
“I-iya mbok,” sahutnya dengan suara bergetar.
Mbok Sum tersenyum hangat, tatapannya berbinar lembut. “Kalau boleh si Mbok ingin menamainya Anneke.”
Sulastri terbelalak, pandangannya terhenti sejenak. “T-tapi, Mbok dia bukan keturunan Londo, apa tidak sebaiknya mencari nama pribumi saja.”
Mbok Sum mencium kecil pipi merona bayi mungil di pangkuannya. Wanita sepuh itu kembali tersenyum hangat. “Nama itu bukan di tentukan dari keturunan apa, Nduk. Tapi dari maknanya, Anneke berarti anugrah, seperti hadirnya kalian berdua di hidup Mbok'e.”
Sulastri menghela napas pendek, tatapannya datar pada deretan pohon kopi di samping rumah. “Tetap saja, Mbok. Nama Anne terdengar aneh untuk anak seorang pribumi, apa nanti tidak jadi omongan saat dia besar?”
Anakmu ini akan tumbuh di kalangan wong Londo, jadi nama Anne cocok untuknya.”
Sulastri kembali menghela napas pendek. “Tapi saya takut, Mbok.”
Mbok Sum memandang lekat wajah Sulastri, senyum tipis tergaris di wajah keriputnya.
“Apa yang kamu takutkan, Nduk. Omongan orang atau suamimu yang tidak bertanggung jawab itu?”
Sulastri tertegun seketika, mata dan hatinya memanas saat mengingat laki-laki yang sudah menghancurkan hidupnya.
“Kamu itu harus berpikir kedepan, Nduk. Kalau selalu memikirkan omongan orang, kapan kamu akan maju,” tutur Mbok Sum.
“Saya hanya takut, Mbok.”
“Kamu itu bukan takut, kamu hanya belum siap, buang semuanya, Nduk. Sudah saatnya kamu bangkit,” tegas Mbok Sum.
Sulastri menatap lembut putri kecilnya. Sorot matanya getir — takut dirinya tak cukup kuat menjalani takdir, namun keteguhan hatinya memberinya tekad untuk bangkit dan yakin, dia mampu melewati semuanya.
Sementara itu di tempat yang berbeda, Petter menghisap cerutu di teras belakang rumahnya sembari memandang hamparan perkebunan tembakau.
Laki-laki itu sedikit tersentak saat Anderson tiba-tiba menepuk punggungnya.
“Beberapa hari ini aku lihat kau sedikit berubah,” ujar dokter paruh baya itu.
Petter kembali menghisap cerutunya, berjalan pelan dan mendudukkan bokongnya di bangku teras, tatapannya masih lurus ke kebun tembakau.
Anderson mengikuti langkah Petter, mengambil satu cerutu, lalu menyulutnya. “Kau sepertinya sudah harus membuka hati,” ujarnya kembali, lalu menghisap dalam cerutu di jarinya.
“Apa maksudmu?” sahut Petter dingin.
“Wanita itu—”
“Aku tidak tertarik,” sela Petter cepat.
Anderson tersenyum samar. “Tidak tertarik tapi kau sampai mengajarinya berdagang?”
“Itu demi masa depan anaknya,” sahut Petter.
Anderson menghela napas dalam, kakinya mengetuk lantai pelan. “Tidak semua wanita pribumi sama seperti zaman Papamu dulu. Banyak dari mereka yang sudah berpikir modern dan kritis. Wanita itu sepertinya salah satunya.”
Petter menyeringai, tatapannya seolah muak saat bicara. “Dulu ataupun sekarang, pribumi tetaplah pribumi, kolot dan keras kepala.”
Anderson melirik sekilas, bibirnya tersungging tipis. “Tidak semua, bisa jadi kau belum menemukan yang tepat saja,” sahutnya sembari mengetukkan ujung cerutunya ke asbak kaca.
“Kau juga berubah,” celetuk Petter.
Anderson menoleh cepat, menunjuk dirinya sendiri. “Aku …?” suaranya sedikit bingung.
Petter menekankan ujung cerutunya ke asbak, mengepulkan asap tipis sebelum beranjak dari duduknya. “Iya, kau semakin cerewet dan berisik.”
Anderson sontak terbahak mendengar celetukan Petter. Laki-laki itu turut beranjak dari duduknya. “Aku bukan cerewet, aku hanya khawatir kau akan menua tanpa merasakan surga dunia, usiamu sudah tidak lagi muda, Petter.”
Petter melirik ke arah Anderson, sudut bibirnya terangkat tipis. “Aku tidak butuh semua itu!”
“Apa kau benar-benar mau jadi pastor?”
Petter tertawa kecil, lalu kembali mengambil satu batang cerutu kemudian menyulutnya.
“Ayolah, kau mau cari yang bagaimana lagi? Semua gadis yang aku kenalkan padamu, kau tolak mentah-mentah, kalau bukan karena akan dipertemukan dengan wanita ini, apalagi?” cerca Anderson.
Petter menghisap cerutunya dalam, tatapannya lurus pada Anderson yang berdiri di sampingnya. “Kau sepertinya terlalu percaya mitos, Dokter Anderson.”
Dokter paruh baya itu seketika terbahak. “Aku dengar kemarin kau menemui Rudolf ?” tanyanya di sela tawa.
“Hanya bertemu biasa,” sahut Petter.
Anderson menatap penuh curiga, bibirnya melengkung tipis. “Benarkah? Tapi Rudolf tidak bilang seperti itu, bahkan dia juga menanyakan siapa Sulastri?”
Petter menghela napas malas, mengusap hidung mancungnya kasar. “Pak tua itu benar-benar tidak bisa menjaga rahasia.”
“Lihat, kau bilang tidak peduli pada wanita itu, tapi kau sampai mencari pengacara untuk membantunya?”
Petter tersenyum kaku, matanya berkedip pelan. “Aku hanya ingin memastikan dia mendapatkan haknya, tidak lebih.”
Anderson beranjak dari duduknya, sebelah alisnya terangkat tipis. “Baiklah, kalau memang itu tujuanmu, tapi kau tetap harus berhati-hati, jangan sampai terlena oleh perhatianmu sendiri,” ujarnya sembari tersenyum nakal.
Petter mengeratkan rahangnya, tatapanya tajam pada Anderson yang sudah berjalan menuju paviliunnya.
Sementara itu di balik pohon randu, seseorang memasang telinga lebar. Ia lekas mengayuh sepeda ontelnya begitu mendapat informasi yang di dengarnya.
“Den Kartijo harus segera mengetahui informasi ini,” gumamnya dengan napas terengah.
Bersambung.