NovelToon NovelToon
Dewa Pedang Asura

Dewa Pedang Asura

Status: sedang berlangsung
Genre:Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Tiandi

Di Benua Angin Dewa, di mana langit menjadi saksi lahir dan matinya para kultivator,
seorang pemuda fana bernama Liang Chen menapaki jalan yang tak seharusnya ditempuh manusia. Terlahir tanpa meridian, ia menolak menyerah pada takdir yang menutup gerbang menuju keabadian.

Namun di balik kehendak baja dan tekad yang murni, tersembunyi sesuatu yang lebih purba, warisan berdarah yang berdenyut di dalam jiwanya. Saat dunia menatap langit untuk mencari kekuatan, ia menemukan kekuatan itu di dalam gelap yang mengintai dirinya sendiri.

Perjalanan Liang Chen bukanlah pencarian keabadian, melainkan perjuangan melawan dirinya sendiri, antara manusia yang ingin tetap hidup… dan bayangan Asura yang menuntut untuk lahir kembali.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Saga 14: Aroma Arak dan Jarak Kematian

Hening menyelimuti hutan itu, hening yang bukan sekadar ketiadaan suara, melainkan hening yang menelan gema dunia. Pohon-pohon menjulang bagai tiang nisan purba, berdiam di bawah langit kelabu yang mulai berpendar keemasan.

Embun menggantung di ujung dedaunan, namun aroma yang melintas di udara bukanlah kesejukan pagi, melainkan bau samar darah yang telah lama mengering, bau yang bercampur dengan tanah lembap, seolah bumi itu sendiri sedang meratap diam-diam.

Di tengah lingkaran tanah yang hangus, seorang pemuda terbaring tanpa gerak. Tubuhnya kurus, kulitnya pucat seperti abu, dan setiap tarikan napasnya nyaris tidak meninggalkan bekas pada udara di sekitarnya. Liang Chen.

Ia tidak tampak seperti pembunuh yang telah mengguncang hutan dengan amuknya malam sebelumnya, tidak lebih dari bayangan yang kehilangan jiwa. Di sampingnya, Pedang Hitam itu terbenam setengah di tanah, bilahnya memantulkan cahaya pagi yang lembut namun bergetar samar, seperti sedang bermimpi buruk.

Tak ada lagi aura merah yang melingkupi dirinya. Warisan Asura yang mengamuk telah lenyap, tertidur dalam kedalaman daging dan tulang yang koyak. Namun, meski tidur, ia masih bernafas di dalam Liang Chen, napas halus yang menjaga agar bara itu tidak padam sepenuhnya.

Seakan seekor naga hitam sedang meringkuk dalam dadanya, mengatur setiap denyut darahnya agar tidak berhenti. Luka di dada Liang Chen tampak membentuk pola aneh, guratan halus seperti urat cahaya yang membeku, bergerak pelan mengikuti ritme jantung yang lemah.

Udara di sekelilingnya beku, tapi bumi di bawah tubuhnya masih hangat. Energi yang tersisa dari amuk Asura seakan menolak untuk pergi, meresap perlahan ke akar-akar pohon, mengubah warna daun menjadi kehitaman di tepiannya.

Beberapa serangga yang mencoba mendekat tergeletak mati tanpa suara. Bahkan alam tampak berhati-hati; hutan itu seperti tahu bahwa makhluk yang terbaring di sana bukanlah manusia biasa.

Seekor burung gagak melintas di atas kepala, sayapnya menimbulkan desir lembut. Namun, begitu melewati lingkar aura yang samar, burung itu mengeluarkan pekik tajam dan jatuh, tubuhnya mengepul tipis sebelum diam di tanah. Alam membayar harga kecil untuk menyentuh jejak energi yang belum jinak itu.

Waktu berjalan perlahan, seperti menahan napas. Setiap detik terasa panjang, setiap tiupan angin terdengar seperti langkah tak kasat mata. Liang Chen tetap diam.

Namun dalam diam itu, di dunia yang tak terlihat, sesuatu sedang terjadi: benih Warisan Asura berdenyut di dalam tubuhnya, memperbaiki daging yang robek, menambal tulang yang patah, menolak kematian dengan cara yang bukan milik manusia.

Energi itu kasar, liar, dan tidak berbelas kasih; setiap denyutnya terasa seperti cambuk yang memaksa jiwa untuk tetap menempel pada tubuh yang hampir hancur.

Wajah Liang Chen tampak tenang, tapi di bawah kelopak matanya, bola matanya bergetar cepat. Ia terjebak di antara hidup dan mati, antara dunia fana dan sesuatu yang lebih gelap. Hembusan napasnya terdengar seperti bisikan jauh, nyaris tak dapat dibedakan antara kehidupan dan kematian.

Kemudian angin bertiup perlahan. Hanya sekejap, tapi cukup untuk menggoyangkan dedaunan dan meniupkan lapisan tipis debu kering dari tanah. Sinar matahari pertama menyentuh pipi Liang Chen, mengubah pucatnya menjadi sedikit berwarna.

Namun sinar itu tak mampu menghangatkannya. Dalam sinar pagi itu, tubuhnya tetap dingin, seperti batu yang baru diangkat dari dasar sungai.

Kesunyian kembali menebal. Waktu terasa beku, tapi kehidupan masih bertahan, satu tarikan napas yang panjang, satu detak jantung yang tertahan. Di antara dunia yang diam dan dunia yang hidup, Liang Chen melayang tanpa arah.

Ia telah menjadi sesuatu di antara keduanya, sesuatu yang menunggu untuk dipanggil kembali oleh takdir atau ditelan oleh kekosongan.

Pedang di sampingnya, Kesunyian Malam, mengeluarkan getaran nyaris tak terdengar. Getaran itu bukanlah suara logam, melainkan bisikan halus, seperti napas seseorang yang sedang bermimpi.

Dalam bisikan itu, ada gema samar dari jiwa-jiwa yang telah terbunuh. Gema yang belum pergi, berputar di sekitar pedang itu seperti kabut, menunggu pemiliknya terbangun kembali.

Dan di tengah semua itu, hutan tetap diam. Tidak ada angin. Tidak ada burung. Hanya bumi yang bernapas perlahan, menunggu sesuatu yang tak terlihat untuk datang.

Di kejauhan, di antara pepohonan yang menjulang, suara langkah muncul tanpa gema. Daun-daun tidak bergerak, namun bayangan panjang menelusup perlahan di antara batang-batang kayu raksasa.

Satu sosok berkerudung hitam berjalan pelan, langkahnya nyaris tidak menyentuh tanah. Udara di sekitarnya bergetar halus, menandakan kekuatan yang padat dan terkendali. Dialah Elder Sekte Raja Naga Berdarah, kembali setelah malam panjang yang membakar kesabarannya dan meruntuhkan harga dirinya.

Ia berhenti di tepi celah tanah hangus tempat Liang Chen terbaring. Tatapannya, tajam dan penuh kewaspadaan, menyapu seluruh area. Sekilas, wajahnya tampak kelelahan, namun di balik mata itu menyala sesuatu yang lebih kuat dari amarah, keserakahan yang tak lagi mengenal malu.

“Jadi kau di sini…” gumamnya perlahan. Suaranya serak, namun setiap kata mengandung lapisan dingin yang menembus udara lembap pagi itu. Ia menatap tubuh Liang Chen yang tak bergerak, dan di antara bibirnya muncul senyum tipis yang penuh kemenangan.

“Kau memang makhluk keras kepala, bocah… tapi bahkan keras kepala pun akhirnya membusuk.”

Ia melangkah mendekat, jubahnya menggeser dedaunan yang kering dan berkerisik halus. Tidak ada angin, tapi setiap langkahnya membuat udara di sekitarnya semakin berat. Ia berhenti tepat di atas kepala Liang Chen, menatap wajah muda yang kini seolah telah kehilangan semua makna kehidupan.

Dunia di sekitar mereka tampak menahan napas. Burung-burung yang biasanya bersembunyi di dahan atas tak lagi berani berkicau.

Bahkan cahaya matahari yang menembus sela daun tampak berhenti sejenak, seperti menolak menyentuh tempat di mana dua kekuatan, yang fana dan yang jahat, berdiri berhadapan.

Elder itu berjongkok. Jemarinya yang panjang dan kurus melayang di udara, tidak langsung menyentuh tubuh Liang Chen. Ia merasakan hawa dingin dari kulit pucat itu, hawa yang seharusnya tidak ada pada manusia hidup.

Namun di bawah dingin itu, samar, ia masih merasakan denyut kecil, denyut lemah yang menolak mati.

Ia tertawa pelan. “Masih bernapas, ya? Bahkan setelah kehilangan jiwa… menarik. Kau bukan manusia biasa, memang. Tapi itu tidak akan lama lagi.”

Matanya berpindah pada pedang hitam di sisi Liang Chen. Kilau merah kehitaman masih tersisa di permukaannya, seperti bara yang enggan padam. Elder itu menatapnya lama, lalu menarik napas perlahan. “Artefak ini… benda yang bahkan menelan cahaya. Tak heran Raja Naga menginginkannya.”

Ia menurunkan tangannya. Ujung jarinya hampir menyentuh gagang pedang. Tapi saat jarak itu tinggal sehelai rambut, hawa aneh muncul dari tanah, dingin dan panas dalam satu tarikan napas.

Ia menarik tangannya cepat, tubuhnya menegang. Sebuah sensasi aneh menjalari kulitnya, seperti disentuh oleh sesuatu yang tidak sepenuhnya nyata.

Ia menatap sekeliling. Hutan itu tampak sama, diam dan lembap, tapi udara di sekitarnya terasa lebih tebal, lebih berat. Ada sesuatu yang bergetar di dasar bumi, seperti napas panjang makhluk purba yang sedang tertidur di bawah kaki mereka.

Elder mengerutkan kening. Ia bukan pemula. Ia mengenali tekanan halus itu, bukan ancaman dari artefak, tapi sesuatu yang lebih tua, lebih tinggi. Sebuah kekuatan yang memandangnya tanpa mata, seolah sedang menimbang apakah ia pantas hidup.

Namun keserakahan mengalahkan rasa takut. Ia menegakkan tubuhnya lagi, mengangkat tangannya untuk kedua kalinya. “Kau makhluk mati,” bisiknya kepada Liang Chen, “dan aku akan mengambil hakku dari tubuhmu.”

Tapi ketika jari-jarinya bergerak, bumi bergetar pelan, bukan oleh jurus atau kekuatan. Getaran itu lembut, tapi membuat tulangnya bergetar. Udara menguarkan aroma samar, bukan darah,

bukan tanah, melainkan sesuatu yang asing: aroma arak yang tajam, hangat, dan menggigit, bercampur dengan bau tembakau kayu yang terbakar perlahan.

Langkah Elder berhenti. Senyum tipisnya hilang, berganti kaku. Aroma itu tidak seharusnya ada di sini. Tidak ada manusia biasa yang bisa menyembunyikan kehadirannya sejauh itu, apalagi dalam radius kekuatan Inti Berputar.

Ia memejamkan mata, mencoba mendengar. Tidak ada suara, tapi tekanan yang aneh itu kini menggulung, lembut namun menekan seperti lautan dalam.

Dan di balik ketenangan itu, rasa takut perlahan naik ke tenggorokannya.

Aroma arak itu tidak berhembus seperti angin. Ia muncul begitu saja, seolah menembus dari celah-celah udara yang mati, membawa kehangatan yang tak semestinya ada di tengah hutan yang dingin dan lembap.

Bukan bau arak biasa, melainkan aroma tajam yang mengandung semacam kekuatan, seperti api halus yang menggelitik ujung kesadaran. Elder Sekte Raja Naga Berdarah menahan napas. Matanya menyapu sekeliling, namun tidak menemukan apa pun selain bayangan pepohonan tua yang berdiri diam, seolah menjadi saksi bisu atas kekacauan yang baru saja berakhir.

Namun di antara keheningan itu, ia tahu. Ada seseorang di sana.

Tekanan spiritual menyebar tanpa bentuk, seperti kabut yang menutup segala arah. Bukan tekanan yang kasar, melainkan tekanan yang lembut, tenang, dan mengerikan.

Itu bukan aura dari jurus pertahanan, bukan juga ancaman langsung, melainkan semacam peringatan halus yang membuat darahnya terasa membeku. Satu langkah lagi, dan jiwanya akan tercerabut dari tubuhnya.

Elder itu menelan ludah, tapi suara kecil itu terdengar begitu keras di antara sunyi yang mutlak. Ia tahu jenis kekuatan ini. Tekanan yang menindas tanpa amarah adalah tanda kekuatan sejati.

Ia mencoba berbicara, namun suaranya bergetar. “Siapa… yang berani menghalangi urusan Sekte Raja Naga Berdarah?”

Tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang semakin dalam. Aroma arak makin pekat, bercampur dengan wangi tembakau kayu yang terbakar perlahan, menyebar seperti kabut hangat di udara.

Sesekali, terdengar bunyi samar, tok… tok… tok…seperti palu memukul logam, pelan dan berirama, datang entah dari mana.

Denting itu tidak keras, tapi memukul jantung Elder lebih kuat dari seribu jurus pembunuh. Ia tahu suara itu bukan berasal dari manusia fana. Setiap denting terdengar seperti gema dari sesuatu yang sangat tua, sesuatu yang telah menempa dunia ini sebelum sekte-sekte besar pun lahir.

Ia mundur selangkah, tapi tanah di bawah kakinya bergetar halus, seolah menegur. Napasnya terhenti sesaat. Dalam pandangan spiritualnya, ia dapat merasakan keberadaan samar di atasnya, di antara ranting-ranting tertinggi pohon tua. Sebuah tekanan spiritual seperti ombak turun perlahan, menyentuh kulitnya dengan dingin yang menusuk.

Elder mencoba menahan diri, tapi tubuhnya bergetar tanpa kendali. Ia tahu kekuatan yang bisa menekan seorang kultivator Inti Berputar hanya bisa berasal dari mereka yang telah melangkah jauh di atas jalur biasa, setidaknya setingkat Roh Surya atau bahkan lebih tinggi.

Tapi bagaimana mungkin? Hutan ini adalah wilayah terpencil di Wilayah Timur. Tidak ada laporan tentang keberadaan makhluk semacam itu di sini.

Aroma arak semakin tajam. Elder menatap ke depan, dan untuk sesaat, di antara kabut samar, ia melihat sesuatu. Sebuah bayangan hitam samar di atas cabang tinggi, duduk santai dengan kaki menggantung, satu tangan memegang kendi arak, satu tangan lain seolah menopang kepala.

Tak ada wajah, tak ada bentuk jelas, hanya siluet yang dilingkupi cahaya suram matahari pagi yang menembus daun.

Namun dari bayangan itu, keluar suara yang tak terdengar seperti suara manusia. Bukan suara kata, melainkan desahan pendek, seperti embusan napas seseorang yang tertidur dan bosan dengan dunia.

Tekanan spiritual langsung meledak seketika.

Bukan letusan keras, bukan badai energi, tapi sesuatu yang jauh lebih halus: denyutan yang membuat alam berhenti. Daun-daun berhenti jatuh di udara.

Burung-burung yang terbang di kejauhan tiba-tiba menukik jatuh ke tanah tanpa suara. Energi Samawi di udara, yang biasanya mengalir lembut, berhenti berputar seolah takut disentuh oleh keberadaan itu.

Elder berlutut tanpa sadar. Lututnya menghantam tanah dengan suara tumpul, dan wajahnya membeku oleh ketakutan. Ia tidak berani menatap ke arah pohon itu lagi. Dalam pikirannya hanya ada satu kalimat yang berulang-ulang: Ini bukan manusia. Ini bukan kultivator.

Suara napas dari atas pohon terdengar lagi, kali ini diiringi suara tegukan arak yang pelan. Lalu semuanya hening.

Tekanan spiritual itu hilang begitu saja, lenyap seperti mimpi. Namun, bagi Elder, lenyapnya tekanan itu justru membuat ketakutan yang lebih dalam, seolah makhluk itu bisa kembali kapan saja, dari arah mana saja.

Tanpa berpikir panjang, ia melompat mundur, menekan energi spiritualnya, dan melesat pergi di antara pepohonan. Jubah hitamnya tersapu angin dingin, menghilang bersama bayangan kabut pagi.

Ketika keheningan kembali, hanya aroma arak yang tersisa. Kabut bergerak lembut, menyelimuti Liang Chen yang masih terbaring tak sadar di tanah, seolah melindunginya dari dunia yang terlalu kejam.

Lalu, di antara sinar pertama matahari pagi, bayangan samar di atas pohon itu menggeser posisi. Sebuah tangan tua menjulur pelan, menaruh kendi arak di dahan, lalu melemparkan sesuatu kecil, daun hijau yang jatuh perlahan,

menempel di dada Liang Chen. Daun itu berkilau samar, memancarkan kehangatan lembut yang bertolak belakang dengan dingin tubuh Liang Chen.

Angin bertiup pelan, membawa suara lembut seperti bisikan. Bukan suara yang bisa dimengerti, tapi terasa seperti gumaman doa yang lama dilupakan.

Saat daun itu menyentuh kulit Liang Chen, napasnya yang nyaris tak ada kembali berdenyut lemah. Pedang hitam di sampingnya bergetar sekali, lalu diam. Hutan kembali sunyi, tapi keheningan itu kini terasa berbeda, lebih dalam, lebih tenang, seperti ruang suci yang baru saja dikuduskan oleh tangan tak terlihat.

1
Nanik S
💪💪💪
Nanik S
Lanjutkan 👍👍👍
Nanik S
Hadir
Fairuz
semangat kak jangan lupa mampir yaa
Tiandi: terimakasih udah mampir kak
total 1 replies
[ZH_FELRIX]™√
semangat berkarya kaka 😄
[ZH_FELRIX]™√: iyah sama sama kaka baik 😄
total 2 replies
Tiandi
Halo semuanya. Saya berharap kalian tidak merasa bosan ketika membaca Dewa Pedang Asura. Bagi pembaca yang belum terbiasa dengan novel berdurasi panjang, jumlah kata setiap bab yang berkisar antara 1500–2500 mungkin terasa melelahkan, terutama karena alurnya bergerak dengan ritme yang cukup tenang. Namun, gaya penyajian tersebut memang mengikuti outline dan struktur arc cerita yang telah saya rancang sejak awal.

Jika ada yang bertanya apakah novel ini layak dibaca, jawabannya kembali pada selera masing-masing pembaca. Saya tidak bisa menyebut karya ini bagus bagi semua orang, karena setiap orang memiliki preferensi yang berbeda. Karena itu, saya menyarankan kalian untuk mencoba membaca beberapa bab terlebih dahulu, lalu tentukan sendiri apakah ingin melanjutkan atau tidak.

Jika kalian merasa ceritanya kurang sesuai dengan selera, saya sepenuhnya memahami. Namun jika kalian menikmati perjalanan cerita ini, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas dukungan kalian.

Sekian pesan dari saya.
Selamat membaca, dan semoga kalian menikmati perjalanannya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!