NovelToon NovelToon
Kodasih, Nyi Ratu Kelam

Kodasih, Nyi Ratu Kelam

Status: tamat
Genre:Misteri / Horor / Hantu / Iblis / Era Kolonial / Tamat
Popularitas:73.9k
Nilai: 5
Nama Author: Arias Binerkah

Kodasih perempuan pribumi menjadi gundik Tuan Hendrik Van Der Vliet. Dia hidup bahagia karena dengan menjadi gundik status ekonomi dan sosialnya meningkat. Apalagi dia menjadi gundik kesayangan.

Akan tetapi keadaan berubah setelah Tuan Hendrik Van Der Vliet, ditangkap dan dihukum mati.. Jiwa Tuan Hendrik tidak bisa lepas dari Kodasih yang menjeratnya.

Kodasih ketakutan masih ditambah munculnya Nyonya Wilhelmina isteri sah Tuan Hendrik yang ingin menjual seluruh harta kekayaan Tuan Hendrik


Tak ingin lagi hidup sengsara Kodasih pergi ke dukun yang menawarkan cinta, kekayaan dan hidup abadi namun dengan syarat yang berat.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab. 13.

“Selama tujuh hari tujuh malam,” lanjut Mbah Jati, “kamu harus tinggal di dalam rumah Tuan Menir. Sendirian. Tidak boleh bicara. Tidak boleh makan, kecuali dari tanah halaman. Tidak boleh tidur di ranjang atau tikar. Dan kamu harus menerima... semua yang datang.”

“Semua yang datang?” bisik Kodasih, nyaris tak bersuara.

“Ya. Semua yang datang padamu. Arwah. Bayangan. Suara. Rasa sakit. Dosa. Penyesalan. Semuanya. Jangan lari. Jangan lawan. Hanya... hadapi.”

Kodasih terdiam. Napasnya tak beraturan.

“Dan kalau aku tidak kuat?” tanyanya lirih.

Mbah Jati memalingkan wajah, seperti tak ingin menjawab pertanyaan itu.

“Tidak banyak yang mencoba ritual itu. Tapi mereka yang berhasil, bisa benar-benar lepas. Bukan hanya dari arwah... tapi dari beban hidup mereka sendiri.”

Lama Kodasih membisu. Lalu, suaranya keluar pelan, seperti embun di pagi berkabut:

“Kalau... aku melakukannya, dan bertahan... apa Tuan Menir tidak akan marah lagi?”

“Dia tidak akan pergi,” jawab Mbah Jati, “tapi dia akan diam. Karena dia tidak lagi bisa menyentuhmu. Kau akan menjadi ruang yang sunyi... dan dia akan tinggal diam dalam kesunyian itu.”

Kodasih menunduk, menggenggam lontar pemberian Mbah Jati.

“Pilihannya di tanganmu, Kodasih. Pergi ke Karang Pulosari dan menemui Mbah Ranti, atau kembali ke rumahmu dan menjalani Ritual Kesunyian.”

Kodasih berdiri perlahan. Hening. Hanya napasnya yang terdengar, berat dan penuh beban.

“Aku akan kembali ke rumah. Kalau memang harus sendiri, aku akan jalani sendiri.”

Mbah Jati menatapnya sekali lagi. “Kalau kamu bertahan, kamu bukan lagi Kodasih yang lama.”

Kodasih tidak menjawab. Ekspresi wajahnya menanggung beban berat. Dan sesaat, dia teringat arwah anaknya... yang belum sempat lahir.

“Lalu... arwah anakku itu?” tanyanya, suaranya gemetar. “Apa aku bisa mengembalikannya... ke tempat yang seharusnya?”

Mbah Jati mengangguk pelan. “Bisa...”

Tiba-tiba, terdengar bunyi botol pecah di luar rumah.

CRAAASSHH!

Mereka bertiga tersentak. Suara itu diikuti langkah pelan, ragu-ragu. Lalu terdengar suara remaja lelaki:

“Mbah... botolnya pecah,” katanya pelan.

Sesosok tubuh muncul di ambang pintu. Arjo, menunduk, memegangi uang logam yang diberikan Kodasih.

Mbah Jati menoleh cepat ke arah Arjo. “Yang mana?”

“Yang warnanya paling bening... yang ada rambut kecilnya berwarna coklat.” Ucap lirih Arjo.

Wajah Mbah Jati menegang. Ia segera melangkah ke arah serambi. Salah satunya kini menggantung miring, retaknya menjalar seperti urat halus. Di dalamnya, sehelai rambut cokelat muda melayang perlahan, rambut bayi.

“Dia sudah tahu kamu akan melepaskan...” gumam Mbah Jati lalu kembali melangkah masuk rumah.

Kodasih berdiri terguncang, menatap tajam Arjo.

“Kenapa kamu tidak juga pergi dari sini?”

Arjo tidak menjawab. Tangannya menggenggam erat koin kecil itu. Suaranya akhirnya keluar, tenang tapi tegas:

“Aku tidak bisa pergi. Karena aku... juga dibawa ke dalam ini. Tanpa aku sadar.”

Mbah Jati memicingkan mata. “Apa maksudmu, Nak?”

Arjo menatap Kodasih. Matanya dalam dan kosong, seperti tengah berdiri di antara dua dunia, mimpi dan nyata.

“Aku tadi berjalan sampai pohon jati kembar... tapi tiba-tiba aku kembali ke sini.”

Kodasih menutup mulutnya dengan tangan. Tubuhnya gemetar. Pikirannya berkelebat, penjaga gaib rumah Mbah Jati, percakapannya tadi dengan Mbah Jati , dan kini... Arjo ?

Mbah Jati menatap Arjo lama. “Kamu sudah sampai jati kembar... dan kembali ke sini?”

Arjo mengangguk pelan.

Angin bertiup masuk lewat celah dinding, membawa bau anyir. Wangi darah tua dan tanah basah.

Mbah Jati menghela napas panjang.

“Tempat ini tidak main main. Kalau kamu kembali sendiri, itu artinya... tempat ini memilihmu, Nak. Dan kamu... sudah separuh jalan menjadi muridku.”

Arjo menatapnya dengan mata membelalak. “Benarkah, Mbah?”

Mbah Jati mengangguk, lalu menoleh ke Kodasih.

“Arwah anakmu sudah bisa dilepas. Tapi harus ada syaratnya. Siapkan nasi gurih, ayam ingkung... dan buka pintu rumahmu dengan hati bersih.”

Kodasih menatapnya lama. “Ritual Kesunyian... akan kulakukan malam ini.”

Mbah Jati menjawab dengan tenang, “Kalau begitu... biarkan Arjo menemanimu. Bukan untuk menjagamu, tapi untuk belajar. Tempat yang kau masuki nanti... bisa juga menjadi tempat dia menemukan dirinya sendiri.”

Langit mulai memudar ke warna kelabu ketika Kodasih melangkah keluar dari rumah Mbah Jati. Lontar berbalut kain hitam itu ia genggam erat, seolah menjadi jimat terakhir yang memisahkan dirinya dari kewarasan.

Arjo mengikuti di belakang, langkahnya lebih ringan tapi pandangannya sama berat.

Namun, dalam tiap jejak di tanah becek itu, keraguan mulai tumbuh kembali dalam hati Kodasih. Bukan karena ia takut pada arwah Tuan Menir, atau pada makhluk-makhluk yang akan datang dalam Ritual Kesunyian... tapi karena ia belum bisa memilih, antara membiarkan semuanya lepas, atau terus menggenggam rasa yang dulu pernah membuatnya merasa hidup.

Sesampainya di pinggir desa, Kodasih berhenti. Arjo menyusul dan berdiri di sampingnya, diam menunggu.

“Aku masih belum yakin, Jo...” ucapnya lirih.

Arjo menoleh, tidak menjawab. Wajahnya belum cukup lama mengenal luka, tapi sudah bisa mengerti sunyi.

“Aku ingin bebas. Tapi... kadang aku berpikir, bagaimana kalau rasa ini memang harus tetap ada? Bagaimana kalau aku memang ditakdirkan untuk terus hidup bersama Tuan Menir? Dengan sisa cintanya... dengan sisa dosaku...”

Angin berhembus pelan, membawa suara dari kejauhan, mungkin suara pucuk pucuk pohon bambu dipukul angin, atau mungkin... sesuatu yang lain.

Arjo akhirnya bicara, suaranya pelan tapi pasti.

“Kalau memang begitu... kenapa Nyi tadi minta bantuan Mbah Jati?”

Kodasih terdiam. Tatapannya menembus perkebunan kopi kopi yang hijau , jauh ke balik bayangan bukit.

“Aku ingin tahu... apakah cinta bisa ditebus. Atau harus dilupakan.”

Arjo menghela napas, lalu mengangkat koin perak yang masih ia simpan.

“Nyi memberiku ini. Kata Nyi , ini bekas pemberian Tuan Menir. Tapi waktu aku pegang... aku tidak merasakan kekuatan apa pun. Cuma dingin.”

Kodasih menatap koin itu, lalu menunduk. “Karena kamu belum punya ikatan dengannya. Tapi aku... aku tidur dengan laki laki itu. Aku makan dari piring emasnya. Aku... membiarkan dia tinggal di tubuhku.”

Arjo mengangguk perlahan. “Dan sekarang Nyi merasa harus membayar semuanya dengan kehilangan.”

Mata Kodasih mulai berkaca-kaca. “Iya. Tapi aku tidak tahu... kehilangan yang mana.”

Sunyi lagi menyelimuti mereka, hingga suara kodok dan jangkrik terasa begitu nyaring. Arjo berjalan ke depan, lalu berbalik menatapnya.

“Mbah Jati bilang, Nyi bisa memilih jalan ke Karang Pulosari... atau menjalani Ritual Kesunyian. Tapi Nyi tahu, kan, Nyi bisa juga memilih untuk tidak melakukan apa apa?”

Kodasih menatapnya, terkejut.

“Tidak melakukan apa-apa?” ulangnya.

“Iya,” jawab Arjo, “Nyi bisa memilih untuk menerima semua ini apa adanya. Tidak melepas. Tidak menebus. Hanya... hidup. Bersama dosa dan cinta yang masih tersisa. Tidak semua orang harus selesai, Nyi.”

Perkataan itu seperti palu menghantam batin Kodasih.

Karena selama ini ia mengejar pelepasan bukan karena ia siap... tapi karena semua orang berkata itu yang benar.

Dan sekarang, di ujung jalan antara kematian dan penebusan, ia sadar: ia tidak tahu apakah ia benar-benar ingin bebas.

Kakinya gemetar. Pandangannya menatap jalan ke arah loji Tuan Menir. Loji itu sunyi. Tapi bukan sunyi seperti keheningan. Sunyinya seperti mata yang menunggu. Seperti rahim yang belum dikubur.

Sementara di tangannya... lontar itu terasa berat. Dan pada punggungnya, ada mata Arjo yang menunggu keputusan.

1
Liani purnafasary.
Sebenarnya Pemain atau peran utama nya yg sebenarnya yg mn, apakh nyi yg serakah itu.
Atau yg be 3 barusan. 😁
Liani purnafasary.
Waduh jd ikutan deg degan 😱😱, ritual yg sangat horor itu mah, masa dtg ketempat dukun itu, hrs jln kaki dan tanpa alas kaki pula.
pasti prjlnan yg sangat horor. 😣😣

Klo pilihan ke 2 itu apa ya maksudnya x, dengan ritual kesunyian.😁
Liani purnafasary.
Lagian salah kodasih juga sih, udah dibilangin sm dukun itu konsekuensi nya, ttp aja ngeyel ya itu akibatnya. 😒😒
Liani purnafasary.
Mn bisa Tuan Menir pulang ketempat sharusnya, jika jiwanya terikat dengan gundik nya itu. 🤪
Liani purnafasary.
Klau ada terbuat sejarah kolonial Belanda pasti seru nih, sambil mengenang waktu Indonesia dijajah, sbelum merdeka.

Gimana nasib kodasih ya?

Semangat thor. 😃😃
Arias Binerkah: ♥️♥️♥️♥️♥️🙏🙏🙏🙏🙏🙏
total 1 replies
Dea Semilikiti Dea Semilikiti
baca malam2 agk2 merinding disko
Liani purnafasary.
Baru mampir thor, kenya seru. 😃
Rembulan menangis
kbnyakan bhasa jawa tdak juga ada trjemahanya kdg bnyak di skip kalo pke bhsa jawa dan trakhir jdi mls baca 😉
Arias Binerkah: Terima kasih masukan nya Kak 🙏🙏🙏🥰🥰🥰🥰🥰
total 1 replies
henidiyanpuspitosarilistianingrum tembem
Roh aja bisa cemburu.. palagi kita.. 😁
endang mei
ceritanya bagus banget horornya ga lebay dan banyak pelajaran hidup
Arias Binerkah: Terima kasih Kak atas hadir dan dukungannya , othor sangat senang jika Kakak suka 🙏🙏🙏🙏🙏🤗🤗🤗🤗🤗🥰🥰🥰🥰
total 1 replies
Nur Bahagia
ternyata ini titik awal Kosasih jadi jahad 🥺
≛⃝⃕|ℙ$°Siti Hindun§𝆺𝅥⃝©☆⃝𝗧ꋬꋊ
Nantilah aku mampir kesana, mbak🤗
Arias Binerkah: Terimakasih Kak 🙏🤗🥰🥰🥰
total 1 replies
MiLa Rossa
baguss
Arias Binerkah: terima kasih Kak atas hadir dan dukungannya 🙏🙏🙏🙏🥰🥰🥰🥰🥰♥️♥️♥️♥️♥️
total 1 replies
* bunda alin *
❤️❤️❤️❤️❤️❤️
Arias Binerkah: ♥️♥️♥️♥️♥️♥️
total 1 replies
Mega Arum
lho gimana Thor.. kok tamat, nggu kodasih jd jahat smpai bersekutu dg junjungan.. sampai tdk bs mati
Arias Binerkah: siap Kak , Terima kasih 🙏🙏🙏🙏🥰🥰🥰🥰🥰
total 3 replies
Suherni 123
dasar nya cinta harta sampai main pelet di dasih
Suherni 123
Ngada Ngada aja si kodasi,, engga mau melepas si menir tapi mo nyari laki lain ya sewot ya si menir,,rasain tuh kemarahan nya si menir
Suherni 123
pantesan mau jadi simpanan nya menir la kerja sama nya sama Mbah dukun
Nur Bahagia
lhooo wes tamat thoo.. aku masih penasaran jalan hanya kodasih lhoo
Nur Bahagia: wokee kakaakk 🤩 aku berharap Kosasih tetap menjadi pribadi yg baik.. tp ya ga mungkin yaa.. sayang sekaliii 😁
total 2 replies
Nur Bahagia
iya ih kerenan begini kodasih.. kenapalah dia jadi jahad 😔 seandainya lakon kodasih bisa di rubah kak Thor 😁
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!