NovelToon NovelToon
The Thousand Faces Of The Demon Sage

The Thousand Faces Of The Demon Sage

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Action / Reinkarnasi / Mengubah Takdir / Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:498
Nilai: 5
Nama Author: Demon Heart Sage

Shen Wuyan lahir dengan ribuan wajah di dalam jiwanya.
Setiap wajah punya kekuatan dan masa lalu sendiri.
Saat dunia mengejarnya sebagai iblis, ia sadar—
menjadi iblis sejati bukan berarti kehilangan kemanusiaan,
tapi menerima semua sisi manusia yang ia benci.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demon Heart Sage, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23 — Pertemuan dengan Penjaga Jiwa

Langkah-langkah itu menggema di lorong batu yang lembap, setiap hentakan seperti detak dari sesuatu yang lebih tua dari sekte itu sendiri. Shen Wuyan berjalan di belakang Elder Ming Zhao, dengan kepala tertunduk dan kedua tangannya terikat oleh segel spiritual tipis berwarna abu-abu muda. Segel itu tidak menyakitkan, tapi terasa berat — seperti menekan bukan tubuhnya, melainkan jiwanya.

Dinding lorong dipenuhi ukiran formasi penyegel yang berkilau redup, menciptakan ilusi seolah mata-mata batu itu menatap setiap langkah mereka. Udara di bawah tanah lebih dingin daripada di permukaan, namun napas Wuyan terasa panas, membakar dari dalam dada.

“Langit Tenang punya banyak rahasia,” ujar Elder Ming Zhao tanpa menoleh. Suaranya datar, tapi nadanya seperti sebuah peringatan. “Ruang ini tidak untuk murid biasa. Hanya mereka yang jiwanya terguncang yang diizinkan menapakinya.”

Wuyan tidak menjawab. Hanya gemerisik pakaiannya yang terdengar, berpadu dengan gema langkah mereka. Dalam diam, pikirannya bergetar oleh kenangan singkat — wajah Fei Yun yang hampir mati di depannya, darah yang menodai tangan, dan bisikan yang muncul dari bayangannya sendiri. Ia tidak tahu apakah yang menggerakkan tubuhnya waktu itu adalah kehendaknya, atau milik entitas lain.

Mereka berhenti di depan sebuah gerbang batu besar yang diukir dengan simbol tiga mata yang saling bersilangan. Di tengah ukiran itu terpasang batu giok hitam, berdenyut perlahan seolah jantung yang masih hidup. Elder Ming Zhao menepuk permukaannya, dan pintu raksasa itu bergerak dengan suara berat, membuka jalan ke ruang yang tidak terlihat dari luar.

“Elder Yuanshi menunggumu,” katanya singkat.

Begitu mereka melangkah masuk, hawa spiritual menampar wajah Wuyan seperti kabut tebal yang padat dengan tekanan. Ruangan itu berbentuk lingkaran sempurna, dindingnya terbuat dari batu giok hitam yang menyerap cahaya. Di tengahnya terdapat formasi giok putih berbentuk spiral, dengan tiga dupa biru menyala di ujungnya.

Sosok tua berjubah putih kusam duduk di sana. Rambutnya keperakan, jatuh hingga punggung, dan matanya tertutup kain hitam. Meskipun tidak melihat, kehadirannya seolah menatap langsung ke dalam jiwa siapa pun yang mendekat.

“Elder Yuanshi,” Elder Ming Zhao membungkuk hormat. “Anak ini… Shen Wuyan. Ia menunjukkan ketidakseimbangan yang tidak dapat dijelaskan. Aku mohon padamu untuk memeriksa kondisinya.”

Suara Yuanshi rendah dan bergema, tenang namun menekan. “Ketidakseimbangan?” katanya sambil mengangkat wajahnya sedikit. “Aku sudah mendengar. Laut di dalam jiwanya bergerak, bukan?”

Ming Zhao menatap sekilas Wuyan lalu mengangguk. “Lebih buruk dari itu.”

Elder Yuanshi mengulurkan tangan. “Bawa dia ke tengah.”

Wuyan mengikuti tanpa perlawanan, tapi setiap langkah terasa seperti masuk lebih dalam ke pusaran. Ia duduk di formasi giok, dan Elder Yuanshi menyalakan tiga dupa roh satu per satu. Asap biru naik perlahan, membentuk garis halus di udara, berputar mengelilingi Wuyan seperti tali tak kasat mata.

“Hun. Po. Dan Kesadaran Tengah,” gumam Yuanshi. “Tiga pilar jiwa manusia. Kita akan melihat di mana retakannya berada.”

Asap menebal. Ruangan berdenyut mengikuti napas mereka bertiga. Wuyan menutup mata, mencoba mengosongkan pikirannya, tapi semakin ia menenangkan diri, semakin jelas ia mendengar suara samar di telinganya — bukan dari luar, tapi dari dalam kepalanya sendiri.

“Jangan biarkan dia melihat.”

“Dia akan tahu siapa kita.”

“Diam.”

Suara-suara itu datang bertumpuk, seperti gema dari dasar sumur. Wuyan mengepalkan tangan, tapi udara di sekitarnya terasa berat, menahan gerakannya. Elder Yuanshi mulai melafalkan mantra, suaranya dalam dan berirama, seperti nyanyian dari dunia lain.

“Jangan melawan, Shen Wuyan,” ucapnya pelan. “Aku hanya akan melihat bagian terdalam dari dirimu.”

Lalu telapak tangan Yuanshi menyentuh dahi Wuyan.

Seketika dunia di sekelilingnya meledak dalam cahaya perak.

Suara dupa meletus pelan, dan lantai di bawah mereka berubah — bukan lagi batu giok, melainkan hamparan air yang memantulkan langit tak berbintang. Elder Yuanshi berdiri di atas permukaan yang sunyi itu, tubuhnya setengah transparan, seperti bayangan yang tersesat di dalam cermin.

“Ini… Laut Jiwamu,” bisiknya. “Begitu luas… tapi kosong.”

Ia menatap lebih jauh, dan matanya yang tertutup kain hitam bergetar. Di kejauhan, kabut hitam menggantung, padat seperti awan badai. Dari balik kabut itu muncul bentuk samar — wajah, tubuh, dan tangan-tangan yang melayang dalam diam. Mereka tidak bergerak, tapi terasa seperti sedang memperhatikan.

Wuyan ikut berdiri, menatap pemandangan itu. Nafasnya tercekat. Laut Jiwa-nya bukan sekadar pantulan batin; ia hidup, bernafas, dan penuh suara yang tak pernah diam.

“Tidak mungkin…” Elder Yuanshi menggumam. “Satu tubuh… tapi ribuan gema jiwa. Bagaimana mungkin manusia menampung semua ini?”

Wuyan ingin menjawab, tapi bibirnya tak bergerak. Ia hanya bisa mendengar denyut jantungnya yang menggema bersama suara lain di dalam kabut.

“Dia datang…”

“Lihatlah, penjaga itu mencoba menembus laut kita…”

“Usir dia.”

Wajah-wajah di kabut itu bergetar. Ombak perak di bawah kaki mereka bergerak tanpa angin. Dalam hitungan detik, energi menekan menyalak keluar dari dalam kabut — bukan spiritual, tapi sesuatu yang lebih purba, lebih dalam dari konsep kekuatan manusia. Elder Yuanshi memucat.

“Apa ini…” Ia mundur setengah langkah, tapi permukaan laut di bawahnya menahan gerakannya seperti tangan.

Wuyan merasa dadanya terbakar. Suara dari dalam jiwanya menjadi lebih keras, seperti nyanyian ribuan orang di dalam gua. “Jangan masuk lebih dalam,” katanya, tapi suaranya terdengar seperti gema dari dua arah — dari dirinya, dan dari entitas yang memakai suaranya.

Yuanshi menatap ke arahnya, lalu kembali pada kabut. “Aku harus melihat. Kalau tidak, jiwa ini akan pecah suatu hari nanti.”

Ia mengangkat tangannya, membentuk mudra kuno, dan cahaya dari telapak tangannya menyala seperti matahari kecil. Kabut itu terbelah sedikit, menyingkap sesuatu di dalamnya: sosok-sosok yang tampak seperti wajah manusia, tapi tanpa mata, hanya rongga gelap yang dalam.

Mereka tersenyum.

Suara muncul dari kabut itu, dalam dan menembus, bukan dari satu mulut, tapi dari seribu.

“Kau melihat terlalu dalam, Penjaga.”

Elder Yuanshi terhuyung, darah merembes dari bawah kain hitam yang menutupi matanya. Laut Jiwa berguncang, dan dunia spiritual itu pecah seperti kaca retak.

Wuyan menjerit, tubuhnya terlempar keluar dari formasi. Di dunia nyata, lilin-lilin biru padam satu per satu, dan aroma dupa berubah menjadi tajam, seperti daging terbakar. Elder Ming Zhao berteriak, mencoba memutuskan ritual, tapi aliran spiritual terlalu kuat — garis formasi di lantai menyala merah, menandakan batas dunia jiwa telah dilampaui.

Wuyan tergeletak, tubuhnya kejang, tapi di wajahnya tidak ada rasa sakit — hanya tatapan kosong yang menembus langit-langit batu di atasnya. Dalam ruang antara kesadaran dan mimpi, ia mendengar bisikan itu lagi:

“Laut itu terbuka… biarkan mereka keluar…”

Dan di dalam kegelapan pikirannya, ia melihat bayangan berdiri di atas air perak, menatapnya dengan mata yang ia kenal sendiri.

Bayangannya tersenyum.

Asap dupa telah padam, tapi ruangan itu belum sepenuhnya kembali tenang. Formasi giok di bawah tubuh Shen Wuyan retak halus, memancarkan cahaya samar dari sela-sela batu. Elder Ming Zhao menatap pemandangan itu dengan napas tertahan. Elder Yuanshi duduk bersila di tempatnya, wajahnya pucat, darah menetes dari bawah penutup matanya.

“Dia tidak boleh disentuh lagi,” ucap Yuanshi serak, suaranya mengguncang ruang batu itu. “Apa pun yang hidup di dalam jiwanya bukanlah sesuatu yang diciptakan oleh dunia ini.”

Ming Zhao menunduk, tapi tatapannya tetap ke arah Wuyan yang masih terbaring. Napas murid itu teratur, namun auranya bergetar tak stabil — satu tarikan seperti manusia, satu hembusan seperti sesuatu yang tidak sepenuhnya hidup.

“Apa yang kau lihat, Elder?” tanyanya perlahan.

Yuanshi tidak segera menjawab. Ia mengangkat tangannya, mengusap udara, dan dari ujung jarinya keluar serpihan hitam, halus seperti abu. “Ini bukan residu spiritual. Ini… pecahan kehendak. Bukan miliknya.” Ia menatap kosong ke arah udara. “Ada lebih dari satu kesadaran dalam laut jiwanya, tapi mereka tidak saling bertabrakan — mereka menyatu. Menyatu dalam harmoni yang salah.”

Ming Zhao menatapnya tak percaya. “Kau ingin bilang… dia memelihara entitas lain di dalam dirinya?”

Yuanshi tersenyum tipis, senyum getir dari orang yang baru melihat sesuatu di luar batas pengetahuan. “Bukan. Ia tidak memelihara. Ia adalah wadahnya.”

Suasana membeku. Hanya bunyi tetes air dari langit-langit gua yang terdengar, memantul di antara batu giok.

Wuyan mulai bergerak perlahan. Matanya terbuka, pandangan pertama yang ia lihat adalah batu giok pecah di bawahnya, lalu dua sosok yang menatapnya dengan wajah antara ngeri dan kebingungan.

“Elder…” suaranya serak, “apa yang terjadi?”

Ming Zhao hendak menjawab, tapi Yuanshi mengangkat tangannya. “Jangan. Biarkan dia bicara dulu.”

Wuyan mengerjap beberapa kali, mencoba memulihkan kesadarannya. Dunia terasa sedikit kabur, dan suara-suara samar masih terdengar — seperti desiran bisikan di ujung pikirannya. Namun kali ini tidak menakutkan, melainkan akrab, seolah mereka berbicara dengan nada tenang.

“Aku… melihat sesuatu,” katanya. “Ada lautan. Kabut. Dan—” ia berhenti, merasakan tenggorokannya kering — “wajah-wajah.”

Yuanshi mencondongkan tubuh. “Berapa banyak?”

Wuyan menatap ke bawah. “Tidak tahu. Terlalu banyak. Tapi mereka semua… aku.”

Ruangan itu terasa menegang. Elder Ming Zhao menatap Yuanshi dengan ekspresi cemas, namun yang tua itu menatap lurus pada Wuyan, seolah menimbang setiap kata yang diucapkan.

“Kau sadar apa yang kau lihat, anak muda?”

“Bagian dari diriku,” jawab Wuyan pelan. “Atau sesuatu yang meniru diriku. Aku tidak tahu mana yang lebih dulu ada.”

Yuanshi menarik napas panjang. “Kalau begitu, dengarkan baik-baik. Apa pun yang ada di dalam Laut Jiwamu, ia tidak hanya mencerminkan dirimu. Ia adalah pintu. Dan setiap pintu membutuhkan kunci serta penjaga. Kau telah membuka kuncinya, tapi belum tahu siapa penjaganya.”

Suara itu menggantung di udara, berat. Wuyan menunduk, namun di balik kebingungan dan kelelahan, ada sesuatu yang bergetar di balik matanya — rasa ingin tahu yang berbahaya.

“Kalau penjaganya ada di sana,” katanya perlahan, “aku ingin menemuinya.”

Yuanshi hampir tersenyum, tapi yang muncul hanya helaan napas getir. “Keinginan semacam itu bisa menghancurkanmu.”

Wuyan menatap lurus padanya. “Kalau aku tidak menemuinya, dia yang akan datang padaku.”

Yuanshi terdiam. Ia tahu anak itu benar. Ada sesuatu dalam dirinya yang tidak akan membiarkan batas spiritual tetap tertutup. “Baik. Tapi kau akan menjalani ritual penyelarasan dulu. Tanpa itu, setiap kali kau tidur, laut jiwamu bisa menelanmu.”

Ia memberi isyarat pada Ming Zhao. “Bawa dia ke Kamar Segel Dalam. Gunakan Tiga Lilin Jiwa.”

Ming Zhao mengangguk, membantu Wuyan berdiri. Tapi saat mereka berjalan menuju pintu, suara Yuanshi terdengar lagi, pelan tapi jelas.

“Shen Wuyan… apa kau mendengar sesuatu sekarang?”

Langkah Wuyan berhenti. Ia menatap ke depan, tidak menjawab selama beberapa detik, lalu berkata, “Mereka diam. Tapi aku tahu mereka mendengarkan.”

Yuanshi menunduk, wajahnya tertutup bayangan. “Kalau begitu, jangan biarkan mereka berbicara dulu. Karena sekali kau menjawab mereka… kau takkan pernah bisa membedakan siapa yang sebenarnya berbicara.”

***

Kamar Segel Dalam berada di bawah ruang latihan utama sekte. Tempat itu dingin, tapi tidak mati. Setiap batu di sana disegel dengan simbol pengikat jiwa yang berlapis, dan cahaya dari lilin spiritual berwarna biru menyebar perlahan, membentuk kabut lembut.

Wuyan duduk bersila di tengah formasi, sementara Ming Zhao berdiri di belakang, menjaga jarak. Di hadapan Wuyan, tiga lilin biru menyala — satu melambangkan kesadaran, satu hun, dan satu po.

“Fokus pada napasmu,” ucap Ming Zhao. “Biarkan jiwamu menyatu dengan lilin pertama.”

Wuyan menarik napas dalam. Api lilin pertama bergoyang, lalu memanjang seolah merespons. Detik berikutnya, dunia di sekitarnya menjadi kabur lagi. Ia tidak jatuh pingsan, tapi kesadarannya meluncur perlahan ke ruang yang sama seperti sebelumnya.

Laut perak itu muncul lagi. Tapi kali ini lebih tenang. Ombak kecil bergerak lembut, dan kabut hitam di kejauhan tidak setebal sebelumnya. Di tengah permukaan air, ia melihat sosok itu — bayangan dirinya, berdiri dengan postur santai, tangan di belakang punggung, seolah menunggunya.

“Kau datang lagi,” katanya dengan suara yang sama persis seperti Wuyan. “Kau tak sabar, ya?”

Wuyan melangkah di atas air tanpa suara. “Siapa kau sebenarnya?”

Bayangan itu tertawa kecil. “Pertanyaan yang bagus. Tapi lucu juga, karena yang bertanya dan yang ditanya adalah satu.”

“Kalau kau aku, kenapa kau memisah?”

“Karena kau menolak bagian dari dirimu sendiri. Aku hanya sisa dari hal yang pernah kau buang.”

Wuyan diam. Ombak di bawah mereka bergerak lembut, menciptakan pantulan wajah mereka yang sama, tapi tidak identik — mata bayangan itu sedikit lebih gelap, lebih dalam, seperti menyimpan sesuatu yang tak terucap.

“Elder Yuanshi menyebutku wadah,” ujar Wuyan akhirnya. “Kalau begitu, kau… penghuni di dalamnya?”

Bayangan itu tersenyum samar. “Bukan penghuni. Penjaga.” Ia menatap ke arah kabut di belakangnya, yang perlahan bergerak seperti napas raksasa. “Dan di balikku, ada yang lebih besar dari penjaga.”

Wuyan menatap arah yang sama. “Apa yang ada di sana?”

“Wajah yang belum sempat kau kenakan.”

Seketika, laut menjadi bergolak. Kabut di belakang mereka terbelah sedikit, menampakkan sekilas bentuk-bentuk samar yang mulai bergerak. Bayangan itu mengulurkan tangannya ke arah Wuyan. “Kalau kau benar-benar ingin tahu siapa dirimu, datanglah melewati kabut itu. Tapi jangan salahkan aku kalau kau tak bisa kembali.”

Wuyan menatap tangan itu lama, lalu perlahan mengangkat tangannya sendiri. Saat ujung jari mereka hampir bersentuhan, gelombang energi melesat dari bawah laut, memecah permukaan air. Cahaya putih menyilaukan meledak di sekeliling mereka, dan suara Ming Zhao terdengar jauh, menggema seperti dari balik dunia lain.

“Shen Wuyan! Kembalilah!”

Wuyan membuka mata dengan napas memburu. Ia kembali di ruang segel, lilin-lilin biru padam satu per satu, asapnya berputar naik membentuk spiral kecil di udara. Ming Zhao berlari ke arahnya, tapi berhenti di tengah langkah — tubuh Wuyan masih duduk tegak, tapi matanya berubah.

Satu mata tetap berwarna hitam, tapi yang lain… berwarna abu-abu perak, seperti cermin kabut.

“Elder…” suaranya terdengar dua lapis — suaranya sendiri, dan gema yang lebih dalam. “Aku sudah melihat penjaga itu.”

Ming Zhao membeku. “Apa yang kau lakukan…?”

Wuyan menatap tangannya, yang kini sedikit bergetar tapi tidak menunjukkan luka apa pun. “Aku tidak menyentuhnya,” katanya. “Tapi dia menanamkan sesuatu.”

“Menanamkan apa?”

Wuyan tersenyum tipis. “Sebuah nama.”

Api lilin terakhir tiba-tiba menyala kembali dengan sendirinya, meskipun udara di ruangan dingin. Dalam pantulan nyalanya, di belakang Wuyan tampak bayangan kedua — samar, tapi jelas bukan miliknya.

Dan di telinganya, suara itu berbisik pelan:

“Waktu kita hampir tiba.”

1
knovitriana
update Thor, jangan lupa mampir
knovitriana
keren Thor, jangan lupa mampir 🙏
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!