 
                            Demi biaya operasi ibunya,kiran menjual sel telurnya.Matthew salah paham dan menidurinya,padahal ia yakin mandul hendak mengalihkan hartanya pada yoris ponakan nya tapi tak di sangka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EPI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13:panggung impian yang terancam dan kebangkitan sang desainer
Waktu berlalu, dan gaun impian Kiran akhirnya rampung. Gaun itu begitu memukau, persis seperti sketsa yang telah ia buat. Mama Matthew memasuki ruangan dan terkesima melihatnya.
"Ini rancanganmu?" tanyanya takjub. Kiran hanya mengangguk, tersenyum bangga di samping gaun panjang yang terpajang anggun di patung.
"Sungguh memukau, aku tak bisa berkata apa-apa," puji Mama Matthew dengan nada kagum.
"Iya, anak ini dan Matthew adalah inspirasiku," jawab Kiran, senyumnya merekah. Namun, keraguan tiba-tiba menyelimutinya. "Nyonya Selina, mengapa Matthew tidak ikut bersama Anda hari ini?" batinnya bertanya-tanya, Mungkinkah dia enggan mendampingiku di panggung dengan gaun pernikahan ini? Kesedihan mulai menyelimuti hatinya.
Menyadari perubahan raut wajah Kiran, Mama Matthew berusaha menenangkan, "Sayang, yakinlah dia akan datang tepat waktu. Mari kita menuju aula terlebih dahulu." Dalam hatinya, ia bergumam, Aku belum sanggup memberitahunya bahwa kondisi Matthew memburuk dan kini ia koma. Ia tak bisa menerima tekanan seperti ini, namun aku yakin ia akan segera pulih. Ia harus. Mama Matthew mengikuti Kiran dari belakang, menyembunyikan kekhawatiran mendalamnya.
Adegan beralih ke sebuah ruangan yang dipenuhi aroma obat dan peralatan medis. Matthew terbaring tak berdaya, kembali dalam kondisi koma. Ruangan itu adalah tempat gaun Kiran disimpan, kini ditinggalkan tanpa penjagaan.
Tiba-tiba, Rosa dan Tina menyelinap masuk, mengamati sekeliling dengan tatapan sinis. "Jadi, kau yang merancang gaun ini?" tanya Tina kepada Rosa. Tanpa ragu, Rosa kembali mengakui bahwa gaun itu adalah hasil karyanya. Tina, yang tidak mengetahui kebenaran, terpukau dengan keindahan gaun tersebut. "Ini adalah gaun tercantik yang pernah kulihat," ucapnya dengan nada kagum.
Rosa mendekat dan melihat label nama yang tertera di gaun itu: Kiran Brown. "Dia lagi? Gadis sialan!" gerutunya dengan nada penuh kebencian.
"Oh, jadi ini bukan rancanganmu? Kupikir kau yang membuatnya," sindir Tina. Rosa semakin geram mendengar ucapan itu.
Tina melihat sekeliling dan menemukan sebotol cairan merah di atas meja. Ia mengambil botol itu dan menghampiri Rosa. Mereka bertukar pandang, dan Rosa menyunggingkan senyum sinis. Tina tanpa ragu menyiramkan cairan merah itu ke seluruh bagian gaun Kiran. Rosa tertawa puas sambil menutup mulutnya. "Jika kau tak pantas mendapatkannya, maka gaun ini pun tak layak tampil di panggung," ucap Tina, menatap gaun yang kini ternodai dengan cairan merah.
Lomba pun dimulai. Para peserta duduk dengan tegang, menunggu giliran model mereka untuk tampil. Lampu sorot menari-nari, menyinari panggung tempat para model berlenggak-lenggok dengan anggun, mengenakan gaun-gaun cantik hasil rancangan para desainer. Penonton dan juri memberikan tepuk tangan meriah, sementara kilatan kamera mengabadikan setiap momen. Satu per satu, model keluar dan memamerkan karya-karya menawan.
Kiran duduk di samping Ibu Matthew. Hatinya berdebar kencang, diliputi perasaan gugup dan gelisah. Ia mengamati hasil desain para pesaingnya dengan seksama. Semuanya cantik-cantik, gumamnya dalam hati.
Ibu Matthew menyadari kegugupan Kiran dan berusaha menenangkannya. "Semuanya bagus, tapi tak ada yang sebanding dengan hasil desainmu. Bagi Ibu dan Matthew, kaulah yang paling cantik di antara semuanya," ucapnya lembut.
Namun, Kiran masih diliputi keraguan. Tapi Matthew masih belum datang. Mungkin dia benar-benar enggan berjalan bersamaku di panggung, bisiknya dalam hati dengan nada lirih.
Ibu Matthew tersentak mendengar gumaman Kiran. "Kiran? Sayang, kau baik-baik saja?" tanyanya dengan nada khawatir.
Kiran tersadar dari lamunannya dan tersenyum. "Aku baik-baik saja. Para model sudah hampir selesai tampil. Giliran para desainer," ucapnya berusaha menyembunyikan kegelisahannya.
"Oke," jawab Ibu Matthew singkat.
"Aku ganti baju dulu," ujar Kiran, beranjak dari tempat duduknya. Ia melangkah menuju ruangan tempat gaunnya berada. Namun, begitu membuka pintu, ia terkejut bukan kepalang. "Oh, tidak! Gaunku!" serunya histeris. Cairan merah telah menodai gaun impiannya. Ini pasti ulah Rosa dan Tina!
Waktu tinggal 30 menit lagi. Apa yang harus kulakukan? Kiran panik. Ia menatap sekeliling, mencari ide. Matanya tertuju pada sebotol besar cairan merah yang masih tersisa. Sebuah ide gila tiba-tiba muncul di benaknya.
"Kalau mereka menginginkan pertunjukan, aku akan memberikannya!" serunya dengan nada penuh tekad. Kiran meraih botol itu dan menyiramkan cairan merah ke bagian-bagian gaun yang ia inginkan. Setelah selesai, ia mengambil gunting dan mulai menggunting sisi-sisi gaun, mendesain ulang gaun impiannya menjadi sesuatu yang baru dan tak terduga.
Kiran bekerja dengan sangat serius. Tangannya bergerak lincah dan cepat, mendesain ulang gaunnya menjadi sesuatu yang lebih cantik dan unik. Ia menambahkan serbuk-serbuk kilap berwarna pink muda yang cantik, memberikan sentuhan magis pada gaunnya.
Dengan memanfaatkan sisa waktu 30 menit yang ada, Kiran berhasil menciptakan gaun yang jauh lebih cantik dari sebelumnya. Gaun itu kini memiliki desain yang lebih modern dan berani, namun tetap elegan dan mempesona. Sentuhan warna merah yang awalnya merupakan bencana, kini menjadi bagian dari desain yang indah dan artistik.
Kiran tersenyum puas melihat hasil karyanya. Ia merasa bangga dengan dirinya sendiri karena mampu mengubah sebuah tragedi menjadi sebuah karya seni yang luar biasa.
Ini bukan lagi sekadar gaun pengantin. Ini adalah simbol dari kekuatan, keberanian, dan kreativitas, pikir Kiran dalam hati.
Di panggung, Rosa mulai melangkah keluar, menggandeng seorang lelaki di sampingnya. Ia berjalan dengan penuh percaya diri, senyum merekah di bibirnya, begitu pula lelaki di sampingnya. Tepuk tangan meriah membahana, dan kilatan kamera terdengar silih berganti. Tina di kursi penonton melihat pemandangan itu dengan ekspresi terharu, tidak menyadari kejutan yang akan datang.
Lalu Tina berbisik kepada wanita yang duduk di sebelahnya, "Itu CEO baru Aurora Aria dan istrinya. Kalian harus memberikan skor yang benar," ucapnya sambil melirik ke arah juri.
Salah satu juri wanita yang memakai kacamata mendengar itu dan berbisik kepada juri wanita lainnya, "CEO? Kukira dia ditempatkan istrinya di departemen desainer?"
Juri wanita itu membalas, "Gaunnya biasa-biasa saja. Kita harus bagaimana kalau CEO terlibat?"
Juri wanita lain menimpali, "Kita tidak ada pilihan."
Sementara itu, di panggung, Rosa berbisik kepada suaminya, "Kau yakin kita tidak akan ketahuan? Aku sudah berpura-pura selama berbulan-bulan. Dengar, kita ambil hadiahnya, terus pergi dari sini."
Saat ini, para juri mengangkat papan poin yang mereka berikan: ada angka 9, ada 10. Tina berdiri dan berkata dengan suara lantang, "Selamat kepada CEO dan istrinya karena mendapatkan nilai tertinggi!" Sambutan tepuk tangan riuh. Lalu ia melanjutkan dengan bangga, "Bagus sekali! Dan sekarang untuk peserta nomor sepuluh... Kiran." Suara dan ekspresinya berubah malas saat menyebut nama Kiran.
Kembali ke belakang panggung, Kiran masih sibuk dengan gaunnya. Ia melirik gaun yang sudah ia rombak, lalu melihat sisi lain dan kembali memperbaikinya. "Waktunya hampir habis!" gumamnya. Ia kini mempercepat gerakannya, memperbaiki gaunnya dengan tangan lincah, memberikan tambahan detail yang menurutnya akan terlihat bagus.