Buah Hati Sang Pewaris
Ruang rawat itu terasa pengap, diisi aroma obat yang menusuk hidung dan keputusasaan yang menyesakkan dada. Ibu Kiran terbaring lemah di ranjang rumah sakit, wajahnya pucat pasi. Monitor di sampingnya berkedip-kedip, menampilkan garis kehidupan yang semakin melemah. Kiran menggenggam erat tangan ibunya, berusaha menyalurkan kekuatan meski hatinya sendiri hancur berkeping-keping.
Ayahnya berdiri di sudut ruangan, tampak acuh tak acuh. Pria itu, yang seharusnya menjadi pelindung dan sandaran, justru menjadi beban. Botol minuman keras selalu menjadi teman setianya, menggantikan tanggung jawab sebagai seorang suami dan ayah.
Kiran tak tahan lagi melihat penderitaan ibunya. Air mata mulai mengalir deras di pipinya. Ia berbalik menghadap ayahnya, suaranya bergetar, "Ayah, tolong selamatkan ibu..."
Pria itu hanya menyeringai sinis. "Selamatkan dia? Kau tahu 'kan operasi butuh uang? Lebih baik uangnya kupakai buat cari ibu baru untukmu," ujarnya sambil menunjukkan sebuah foto wanita di ponselnya.
Kiran tersentak. "Teganya Ayah! Ibu sudah banting tulang sampai sakit buat bayar utang judimu, sekarang Ayah mau pergi begitu saja?"
"P*rsetan!" Ayahnya meneguk minuman kerasnya. "Uangku habis. Kau mau selamatkan ibumu? Sana, cari uang dengan wajah itu," ujarnya sambil menunjuk wajah Kiran dengan tatapan merendahkan. "Dan tubuh itu... bisa buat kau kaya," lanjutnya dengan nada menjijikkan.
Kiran menatap ayahnya dengan nanar, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Ayah macam apa kau? Aku muak padamu!"
"Kalau begitu, siap-siap makamkan ibumu," jawab ayahnya santai, lalu berbalik dan pergi meninggalkan ruangan.
Kiran terpaku, air matanya semakin deras membasahi pipi. Ia terduduk lemas di samping ranjang ibunya, hatinya hancur berkeping-keping.
Tak lama kemudian, seorang perawat masuk. "Ranjang tiga, Anda harus membayar uang muka untuk operasi sekarang. Pasien butuh tindakan segera."
Kiran menghela napas panjang. Ia meraih ponselnya dan menghubungi Yoris, kekasihnya. "Halo, Yoris... aku butuh bantuanmu. Ibuku sakit dan butuh uang untuk operasi darurat."
Terdengar suara dingin dari seberang sana. "Bukan urusanku. Kalau mau uang, cari saja pria yang mau bayar."
Kiran terkejut. "Apa yang kau bilang?"
"Oke, aku pacaran sama kau cuma karena kau seksi. Kau kira aku ATM? Jangan telepon aku lagi, dasar j*lang mata duitan!" Panggilan itu terputus begitu saja.
Kiran terpaku, air mata semakin deras mengalir di pipinya. "Bahkan pacarku mengabaikanku... Aku harus selamatkan ibu sendirian."
Dengan tekad yang membara, ia menatap ibunya yang terbaring lemah. "Bertahanlah, Ibu. Aku akan cari cara apa pun. Akan aku lakukan," ucapnya mantap, meski air mata terus membasahi pipinya.
Ia meraih tasnya dan mengeluarkan selembar kertas dari Klinik Arrow, pusat donasi sel telur. Kiran menghela napas, ragu. Namun, tekadnya untuk menyelamatkan ibunya lebih besar dari segalanya. Dengan tangan gemetar, ia menghubungi nomor yang tertera di kertas itu.
Kiran keluar dari rumah sakit, hatinya hancur berkeping-keping. Ia menggenggam erat ponselnya, lalu menghubungi nomor dari klinik donor sel telur. "Halo, aku dengar Anda bayar 200 juta per sel telur? Bisa jual lebih dari satu?" tanyanya dengan suara bergetar.
Sambil berbicara, ia berbalik dan berjalan tanpa arah. Pikirannya kalut, matanya sembab. Ia tidak fokus pada jalan, hingga tanpa sengaja menabrak seseorang. Tubuhnya limbung, hampir jatuh, namun sebuah tangan kekar dengan sigap menahannya.
Kiran terkejut. Ia mendongak dan terpaku. Seorang pria berusia sekitar tiga puluh tahunan berdiri di hadapannya. Wajahnya tampan dengan rahang tegas dan mata tajam yang menyorotnya dengan intens. Pria itu, tak lain adalah Matthew.
Matthew membenarkan posisi Kiran, memastikan gadis itu tidak terjatuh. Bersamaan dengan itu, ia menunduk hendak mengambil selembar kertas yang terjatuh dari tangan Kiran. Kertas itu adalah brosur dari klinik donor sel telur.
Tangan mereka bersentuhan saat meraih kertas itu. Matthew menatap Kiran, begitu pula sebaliknya. Mata mereka bertemu, menciptakan aliran listrik yang aneh. Matthew lebih dulu mengalihkan pandangannya pada kertas di tangannya.
Dengan cepat, Matthew mengambil kertas itu sebelum Kiran sempat membacanya. "Klinik donor sel telur? 200 juta per sel? Cuma segitu harga badanmu?" tanyanya, namun nadanya tidak merendahkan.
Kiran tersentak. Ia merebut kertas itu dari tangan Matthew. "Kembalikan! Dasar mesum!" serunya, lalu berbalik hendak pergi.
"Oh, bukan begitu maksudku," kata Matthew. "Maksudku, kalau kau mati di sana cuma dapat 200 juta, apa kau tidak menyesal?"
Kiran yang hendak pergi terdiam sejenak, lalu melanjutkan langkahnya meninggalkan Matthew.
Saat ini, Kiran sudah berada di dalam klinik donor sel telur. Suasana di sana terasa mencekam. Banyak perempuan dengan wajah pucat pasi duduk menunggu giliran. Seorang dokter wanita dengan jarum suntik panjang di tangannya tampak menakutkan. Kiran melihat seorang gadis berteriak kesakitan saat sel telurnya diambil. Ia langsung dilanda ketakutan yang luar biasa.
Tak lama kemudian, dokter wanita itu mendekati ranjang Kiran. "Tidak! Tidak! Tidak!" seru Kiran panik. Ia langsung turun dari ranjang dan berlari keluar klinik.
Ia kabur dari sana, berlari tanpa arah di tengah jalan raya. Gaun selututnya basah kuyup karena hujan. Ia menangis tersedu-sedu. "Kalau aku mati di dalam sana, Ibu akan sendirian. Bajingan itu (ayahnya) pasti akan menghabiskan semua uangnya buat judi. Dia tidak akan menyelamatkan Ibu," gumamnya pilu.
Kiran terduduk di pinggir jalan, memeluk tubuhnya yang dingin dan basah. Hujan turun begitu deras, seolah ikut merasakan kesedihannya. Ia memegang kepalanya, menangis tanpa henti.
Tiba-tiba, ponselnya berdering. Sebuah panggilan dari seorang perawat di rumah sakit tempat ibunya dirawat. "Apa Anda keluarga dari pasien ranjang tiga? Untuk operasi, dibutuhkan 500 juta. Kalau tidak dibayar besok, kami terpaksa mengeluarkan ibu Anda dari sini."
"Tidak! Tolong, beri aku waktu. Aku pasti cari cara," jawab Kiran sambil terisak.
Tanpa menunggu jawaban, telepon itu dimatikan begitu saja. Kiran semakin histeris. Dari kejauhan, sebuah mobil mewah lewat dan berhenti, sorot lampunya menyorot Kiran.
Gadis itu berdiri dengan tubuh gemetar, memeluk dirinya sendiri. Tiba-tiba, kaca mobil bagian belakang terbuka. Kiran berusaha melihat siapa yang ada di dalam mobil itu. Ternyata seorang lelaki. Matthew.
"Gadis donor sel telur?" tanya Matthew dengan nada datar.
Kiran menatapnya dengan tatapan putus asa. "Kau bilang 200 juta terlalu murah. Jadi, kasih tahu aku, berapa kau mau bayar aku?" tanyanya dengan suara bergetar, menahan dingin dan putus asa di tengah derasnya hujan.
Sedangkan lelaki itu hanya terstipis dari dalam mobil melihat kearah luar dimana kiran berdiri tepat di kaca mobil ia sedang duduk,ia terdiam ia hanya diam sambil tersenyum tipis sebelum berkata
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments