“Tuhan, bila masih ada kehidupan setelah kematian, aku hanya ingin satu hal: kesempatan kedua untuk mencintainya dengan benar, tanpa mengulang kesalahan yang sama...."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nopani Dwi Ari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.31
Andreas sudah tiba di rumah sederhana Bella. Orang tua Bella yang sedang memanen di depan rumah terkejut melihat mobil mewah berhenti di depan halaman mereka. Bukan hanya orang tua Bella, tetangga sekitar pun ikut kepo dengan kedatangan pria asing itu.
“Mina, siapa itu? Calon mantu, ya?” tanya salah satu tetangga sambil terkekeh.
“Eh, bukan! Aku juga nggak tahu siapa dia,” jawab Mina, meski matanya tak lepas dari mobil hitam berkilau itu.
Rusli, ayah Bella, akhirnya menghampiri Andreas yang keluar dengan senyum ramah. Wajah rupawan dan penampilan rapi Andreas langsung jadi pusat perhatian. Bagi warga kampung yang terbiasa melihat kesederhanaan, pemandangan itu sungguh luar biasa.
“Cari siapa, Mas?” tanya Rusli hati-hati.
“Bella. Saya mencari Bella, Pak,” jawab Andreas sopan.
“Bella?” gumam Rusli bingung, tapi segera memanggil istrinya.
“Bu, cepat panggil Bella. Ada yang cari.”
“Iya, Pak.”
Mina bergegas ke belakang rumah. Di sana, Bella sedang menanam kangkung dalam polibag dengan tangan berlumur tanah. Di sampingnya, adiknya yang masih kecil, Dinar, berlarian di tepi selokan.
“Kak Bella, aku ikut tangkap ikan, ya!” seru Dinar riang.
“Nggak boleh, nanti Ibu marah,” tolak Bella lembut.
Dinar pun manyun, duduk di pinggir selokan sambil menonton kakaknya yang asyik menimba air dan menangkap ikan kecil.
“Bella!” panggil Mina terengah.
Bella menoleh cepat. “Ada apa, Bu?”
“Itu, di depan ada cowok cakep. Masya Allah gantengnya… cepat sana lihat!” Mina hampir gemas ingin mendandani anak gadisnya.
Bella mengernyit bingung. Ia menyerahkan hasil tangkapan pada Dinar. “Bawa ini ke dapur, ya.”
Begitu sampai di depan rumah, Bella terbelalak.
“Andreas?” pekiknya kaget.
Benar saja, pria itu sedang dikerumuni ibu-ibu tetangga yang heboh. Bella hanya bisa menggeleng pelan. Ya ampun, bikin ribut aja.
“Bella.” Andreas menyapa dengan senyum tipis, lalu pamit pada ibu-ibu untuk mendekat.
“Ngapain kamu ke sini? Bikin heboh aja,” omel Bella pelan.
“Aku memang mau ketemu kamu. Kalau heboh, itu karena mereka, bukan aku,” balas Andreas santai.
Rusli menimpali, “Bel, lebih baik bawa tamumu masuk. Nggak enak dilihat orang.”
“Iya, Pak. Ayo masuk,” ajak Bella akhirnya.
Untuk pertama kalinya, Andreas melangkah ke dalam rumah sederhana itu. Ruang tamu mungil dengan sofa tua, televisi jadul, dan beberapa pigura foto keluarga di dinding membuatnya sedikit tercenung.
“Silakan diminum, Mas. Maaf seadanya,” ucap Bella sambil menyodorkan teh hangat.
“Terima kasih. Maaf malah merepotkan,” balas Andreas sopan.
Bella duduk di depannya, sedikit kikuk. “Ada apa sebenarnya? Kenapa Mas Andreas datang ke sini?”
Andreas menegakkan badan. “Aku ingin mengajakmu kerja di kafe milikku.”
“Kafe? Jadi pelayan?” Bella tampak bingung.
“Bukan. Kami sedang kekurangan koki, terutama yang bisa bikin kue. Aku ingat waktu itu kamu pandai bikin roti. Itu alasan kenapa aku datang sendiri ke sini.”
Bella terdiam, melirik kedua orang tuanya yang duduk tak jauh. Hatinya bimbang. Selama ini penghasilan mereka hanya dari kebun. Jika panen berhasil, ada uang. Kalau gagal, mereka harus puas makan hasilnya sendiri.
Pikirannya langsung melayang ke Dinar. Adikku harus sekolah setinggi mungkin. Jangan sampai bernasib seperti aku, hanya lulusan SMP.
*
*
Sementara itu, Daisy sedang menikmati siang dengan duduk di balkon. Angin lembut menerpa wajahnya, membuatnya sedikit rileks.
“Nona,” panggil Tyas dari belakang.
“Ya? Ada apa?” tanya Daisy tanpa menoleh.
Daisy akhirnya menoleh, mendapati Tyas berdiri canggung.
“Ada yang mau menemui Nona. Katanya penting.”
Kening Daisy berkerut. “Menemui aku? Siapa?”
Tyas menunduk sedikit, ragu. “Ivana.”
Darah Daisy seakan berhenti mengalir sesaat. Bibirnya membeku, tangannya refleks meremas pagar balkon. Nama itu kembali menghantam telinganya setelah sekian lama.
“Ivana?” ulang Daisy dengan nada menajam.
Tyas mengangguk pelan. “Dia sedang menunggu di ruang tamu, Nona.”
Daisy terdiam, napasnya berat. Bagian dari dirinya ingin menolak, tapi bagian lain menuntut untuk tahu apa yang sebenarnya diinginkan perempuan itu.
Akhirnya, dengan langkah yang sedikit ragu namun mantap, Daisy berdiri.
“Baik, aku akan temui dia.”
Tyas pun pamit lebih dulu. Daisy menatap hamparan awan biru, lalu bergumam lirih, “Kali ini, apa lagi yang dia rencanakan?”
Setelah memastikan Vio terlelap dan nyaman di box-nya, Daisy turun dengan langkah anggun. Pemandangan itu membuat Ivana mengepalkan tangan erat. Daisy tampak begitu cantik, mengenakan gaun biru muda dengan rambut tergerai indah.
“Oh, Ivana. Ada apa?” tanya Daisy tanpa basa-basi.
“A-aku… aku ingin minta maaf sama kamu. Soal yang waktu itu,” ucap Ivana lirih.
Daisy mengernyit, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi sambil menyilangkan tangan di dada.
“Minta maaf? Memangnya aku harus memaafkan mu, hm?”
Ivana menelan ludah, namun Daisy melanjutkan dengan tatapan menusuk.
“Bayangkan jika aku tidak datang malam itu. Apa yang akan terjadi? Kamu menghancurkan rumah tanggaku, lalu Vio kehilangan ayahnya. Ivana… jangan pikir aku tidak tahu masa lalu mu. Aku tahu semuanya.”
Ivana mengepalkan tangannya, berusaha menahan emosi yang hampir meledak.
“Daisy, aku tulus meminta maaf. Kenapa kamu malah mengungkit dan menghakimi aku?” lirihnya, kini matanya berkaca-kaca.
“Haduh, dasar drama queen,” gumam Daisy dalam hati. Tatapannya penuh curiga. Ia tahu betul, perempuan seperti Ivana tidak akan pernah berhenti mengejar sesuatu sebelum mendapatkannya.
Daisy menyilangkan kaki menghela nafas dengan kasar, menatap Ivana tanpa sedikit pun berkedip.
“Kalau kamu datang ke sini hanya untuk menangis, sebaiknya hentikan sandiwaramu. Aku sudah cukup muak dengan permainanmu, Ivana.”
Ivana menghela napas panjang, menunduk sejenak lalu menatap Daisy dengan mata memerah.
“Aku hanya ingin menutup masa lalu, Daisy. Aku ingin kita berdamai, demi Vio.”
Daisy tersenyum miring. “Demi Vio? Jangan bawa-bawa anakku untuk menutupi niatmu. Aku tahu betul, setiap langkahmu selalu ada tujuan lain.”
Ivana menggertakkan gigi, jemarinya bergetar di pangkuan. “Kamu selalu menganggap ku jahat. Padahal aku benar-benar ingin memperbaiki semuanya. Apa salah kalau aku berharap kita bisa akur?”
“Bukan salah,” jawab Daisy datar.
“Tapi salah kalau akur yang kamu maksud adalah aku harus menutup mata pada masa lalu dan berpura-pura tidak tahu siapa dirimu sebenarnya.”
Ruangan itu seakan menegang. Hanya terdengar detik jam dinding yang berjalan lambat. Ivana menggigit bibirnya, lalu berkata dengan nada tertahan.
“Kamu pikir kamu sudah menang, Daisy? Hidup ini tidak sesederhana itu.”
Daisy mengangkat dagunya, tatapannya menusuk tajam tersenyum sinis.
“Kalau kamu berniat memulai perang, Ivana… pastikan kamu siap kalah.”
Ivana mengepalkan tangannya, tanpa sepatah kata pun dia pergi begitu saja. Bahkan, teh yang ada di hadapannya belum di sentuh sama sekali.
"Aku tahu kamu, Ivana. Kehidupan lalu pun kamu seperti ini manipulatif," gumam Daisy menatap kepergian Ivana.
Bersambung ...
Komen guys, mau love titik juga terserah deh jangan lupa bintang limanya