Menjadi sekretarisnya saja sudah sulit, apalagi kini aku jadi istrinya.
Dia bos galak yang tak kenal kompromi.
Dan aku… terjebak di antara cinta, gengsi, dan luka masa lalu yang siap menghancurkan segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nfzx25r, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21
Aruna masih terdiam, menimbang-nimbang kata-kata Arkan yang barusan. Rasa manis buah masih menempel di lidahnya, tapi kepalanya penuh dengan keraguan.
Arkan menarik napas dalam, lalu memberanikan diri menoleh ke arahnya. “Aruna… aku tahu kamu nggak percaya sama aku sekarang. Kamu mungkin pikir aku hanya ikut-ikutan orang tua. Tapi aku janji… kalau kamu bersamaku, aku akan berusaha keras bikin kamu bahagia. Apa pun yang terjadi.”
Ia menundukkan kepala, menekankan suaranya dengan kesungguhan. “Aku nggak janji semua akan mudah. Tapi aku janji, aku nggak akan biarin kamu merasa sendirian.”
Aruna menatapnya dengan mata yang masih penuh kecurigaan. Kata-kata itu terdengar tulus, tapi hatinya yang sudah lelah sulit percaya begitu saja. Ia hendak membuka mulut, ketika tiba-tiba terdengar suara berisik dari arah depan rumah.
“Arkaaan! Kamu ada di mana?!”
Aruna dan Arkan sama-sama menoleh kaget. Dari kejauhan, seorang perempuan muda dengan dandanan mencolok berjalan cepat masuk lewat pintu rumah yang terbuka. Tanpa permisi, ia melangkah ke ruang tamu, di mana keluarga kedua belah pihak masih duduk membicarakan pernikahan.
Ibu Arkan langsung berdiri, wajahnya berubah tegang. “Rani?!” serunya dengan nada kaget sekaligus marah.
Rani tersenyum sinis, tangannya bersedekap. “Iya, Bu. Aku datang karena aku harus bicara sama Arkan. Aku nggak peduli ada siapa pun di sini.”
Ibunya Aruna yang sejak tadi duduk rapi juga ikut berdiri, alisnya mengernyit. “Kamu ini siapa? Masuk rumah orang seenaknya, tidak sopan!”
Rani melirik tajam ke arah Aruna yang baru saja kembali masuk bersama Arkan. Senyumannya makin miring. “Oh… jadi lagi sama calon pengantinnya? Pantas saja Arkan jadi dingin akhir-akhir ini. Dia pasti dipaksa, kan? Mana mungkin Arkan bahagia sama perempuan kayak dia.”
Kata-kata itu meluncur begitu saja, tajam menusuk. Aruna tercekat, wajahnya memanas, tapi ia terlalu kaget untuk bicara.
“Cukup, Rani!” bentak Ibu Arkan dengan wajah merah padam. “Kamu sudah keterlaluan! Masuk rumah seenaknya, bicara lancang, dan berani menjelekkan calon menantuku di depan keluarga besar?! Kamu tidak tahu malu!”
Namun Rani masih belum berhenti. “Aku hanya jujur, Bu! Arkan tidak cocok sama dia. Semua orang bisa lihat itu. Arkan jauh lebih bahagia kalau sama aku daripada dengan perempuan kaku ini.”
“Rani!” Kali ini suara Ibu Aruna meledak, matanya berkilat marah. “Kamu pikir kamu siapa, berani bicara begitu di depan orang tua?! Anak saya mungkin diam, tapi bukan berarti kamu bisa menginjak-injak harga dirinya!”
Suasana ruang tamu mendadak tegang. Ayah Arkan berdiri, menepuk meja keras hingga Rani tersentak. “Keluar, Rani. Sekarang juga. Sebelum saya benar-benar kehilangan kesabaran.”
Arkan sendiri tampak kebingungan, wajahnya memucat. Ia melirik Aruna sekilas, lalu menatap Rani dengan sorot mata yang tidak bisa ditebak.
“Aku hanya ingin memberikan kalian semua berita penting tentang aku dan Arkan tadi malam,” wajah Rani nampak penuh kemenangan dengan senyum sinisnya.
Semua orang terdiam. Suasana ruang tamu yang tadi hanya penuh amarah kini berubah mencekam. Rani tersenyum tipis, sorot matanya penuh tantangan.
“Apa kalian pikir aku datang ke sini tanpa bukti?” katanya sambil merogoh tas kecil di tangannya. Dari dalam, ia mengeluarkan sebuah ponsel, lalu menekan layar dengan cepat.
Tak lama, terdengar suara rekaman yang ia nyalakan. Gambar buram muncul di layar—rekaman kamar dengan cahaya remang. Ada sosok lelaki dan perempuan berbaring di atas ranjang, meski wajah mereka tidak jelas, suara tawa pelan dan desahan samar membuat suasana mendadak beku.
“Semalam…” Rani mengangkat ponselnya lebih tinggi, seolah ingin semua orang melihat. “Aku sama Arkan. Kami tidur bersama. Dia milikku, bukan perempuan asing yang kalian paksa masuk ke hidupnya.”
Ibunya Aruna menutup mulut dengan tangan, terperanjat. Wajahnya pucat, matanya bergetar menatap ke arah Aruna yang hanya membeku, darahnya seperti berhenti mengalir.
“Arkan…” suara Ibu Arkan pecah, penuh kekecewaan dan kemarahan. “Apa yang sebenarnya kamu lakukan?! Jawab, Arkan!”
Arkan berdiri kaku, wajahnya semakin pucat. “Bu… itu nggak seperti yang kamu pikirkan…” suaranya parau, nyaris tak terdengar.
Rani menyeringai, menatap Aruna dengan tatapan penuh kemenangan. “Lihat, Na. Bahkan sebelum menikah, dia sudah memilih aku. Kamu nggak akan pernah bisa bikin dia bahagia. Karena hatinya, dan tubuhnya… sudah jadi milikku.”
Aruna menatap layar ponsel itu dengan mata membesar, jantungnya berdegup kencang hingga terasa sakit. Seluruh dunia seolah berputar, udara di dadanya terasa menyesakkan.
Ayah Arkan maju selangkah, nadanya menggelegar. “Rani! Kamu sadar apa yang kamu lakukan? Menyebar aib dengan cara seperti ini?! Kau sungguh keterlaluan!”
Namun Rani tak gentar, malah semakin keras. “Keterlaluan? Aku hanya menuntut hakku. Aku yang seharusnya berdiri di sisi Arkan di pelaminan itu. Bukan dia!” Ia menunjuk Aruna dengan telunjuk tajam, seolah menikam harga diri gadis itu tepat di depan semua orang.
Aruna akhirnya berdiri, tangannya bergetar hebat. Dadanya sakit, tapi matanya menatap lurus ke arah Rani. Untuk pertama kalinya sejak pagi, ada api kecil yang menyala dalam dirinya.