Noah Wisesa, pewaris konglomerat properti, terjebak dalam perjodohan demi bisnis keluarga. Saat dari rumah usai bertengkar dengan sang ibu, dia justru menabrak Ivy Liora—mantan rekan kerja yang kini berubah menjadi perempuan penuh tuntutan dan ancaman. Untuk menyelamatkan reputasi, Noah menawarkan pernikahan kontrak selama satu tahun.
Ivy menerima, asal bayarannya sepadan. Rumah tangga pura-pura mereka pun dimulai: penuh sandiwara, pertengkaran, dan batasan. Namun perlahan, di balik segala kepalsuan, tumbuh perasaan yang tak bisa dibendung. Ketika cinta mulai mengetuk, masa lalu datang membawa badai yang menguji: apakah mereka masih bertahan saat kontrak berubah jadi rasa yang tak bisa dituliskan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13. Fakta Pertama
“Apa kamu bilang?” tanya Noah lirih, lebih seperti bisikan angin yang malu untuk keluar dari mulut.
Ivy menarik napas dalam-dalam, lalu menatap Noah dengan mata penuh luka. “Aku masih perawan. Aku nggak pernah disentuh oleh siapa pun!"
Noah perlahan bangkit dari atas tubuh Ivy. Dia mundur beberapa langkah, wajahnya sepucat kain kafan. Tangan gemetar menutupi wajahnya.
“Aku ....” Noah duduk di lantai, memegangi kepala.
Ivy bangkit pelan. Pundaknya masih bergetar, pipinya basah, bibirnya bengkak akibat gigitan gigi sendiri. Dia menatap Noah lama, antara marah, kecewa, dan hancur.
“Aku mempertaruhkan semuanya termasuk harga diri untuk pernikahan kontrak ini, No. Aku memang hanya istri sewaan yang bosa kamu perlakukan semaumu, tapi tolong jangan langgar batasan yang satu itu, ” ucap Ivy pelan, nadanya berat dan lelah.
“Ivy ... aku ... maafkan aku ... aku nggak tahu—”
“Kamu mabuk. Itu alasanmu, kan? Malam ini kamu nyaris memperkosaku, No.” Ivy mengusap air matanya yang terus mengalir.
Noah memejamkan mata, berusaha menahan guncangan di dada. Dia tahu tidak ada kata maaf yang cukup untuk memperbaiki luka itu. Dia tahu, bahkan jika dia memotong tubuhnya sendiri, luka Ivy tidak akan sembuh.
Perempuan itu berjalan menuju kamar. Noah hanya bisa memandang punggung Ivy menghilang di balik pintu, seperti melihat bagian dari diri sendiri perlahan menghilang, hancur karena tangannya sendiri.
Pagi harinya, Ivy sudah bangun lebih awal. Dia duduk di meja makan, menatap segelas teh yang tak disentuh. Wajahnya masih sembab, tetapi tatapannya sudah tidak selemah semalam. Kali ini dia dingin dan datar. Seperti tembok yang tak bisa ditembus lagi. Noah mendekat pelan. Dia tak tidur semalaman, hanya duduk di sofa menyesali kebodohannya.
“Ivy ....” panggil Noah pelan.
Ivy menoleh, tetapi tidak bicara.
“Aku ... nggak punya kata-kata yang bisa menebus apa yang aku lakukan. Aku sadar sepenuhnya. Dan ... aku siap menanggung apa pun akibatnya.”
“Kamu benar-benar sudah merendahkan aku,” ucap Ivy lirih. “Bukan karena kamu cemburu. Tapi karena kamu tidak percaya padaku. Kamu lebih percaya pada dugaanmu sendiri ketimbang apa yang aku katakan.”
“Aku tahu ... aku bodoh."
Ivy tertawa kecil—pahit dan getir. “Apa kamu baru menyadari kalau memang bodoh?”
Noah tak bisa menjawab. Dia hanya menunduk.
“Dengar, No. Aku akan pergi ke Bandung untuk menemui keluargaku. Mungkin seminggu, mungkin lebih. Aku perlu waktu untuk sendiri.”
Noah mengangguk perlahan. Dia tahu dia tak berhak menahan Ivy. Tidak setelah apa yang dia lakukan.
“Noah, ini kunci kamarku. Jangan ganggu aku selama di Bandung. Jangan cari aku,” kata Ivy sembari meletakkan kunci duplikat ke atas meja.
Noah berdiri tak jauh dari sana, tubuhnya nyaris tak bergerak. Tatapannya kosong, matanya sembab karena tak tidur.
“Sampai kapan pun aku akan menyesali malam itu, Vy,” kata Noah pelan.
“Bagus. Karena aku pun tidak akan pernah melupakannya.”
Lalu Ivy pergi, meninggalkan rumah itu. Meninggalkan Noah yang kini berdiri di tengah ruang makan sendiri. Bersama sunyi dan penyesalan yang menyesakkan.
Saat pintu tertutup, lelaki itu terduduk lemas. Dia mengangkat kepala, menatap langit-langit kosong. Namun, entah mengapa ada rasa mengganjal yanh membuat hatinya bimbang.
"Cas, tolong ikuti Ivy. Dia baru saja keluar dari rumah." Kalimat itu Noah keluarkan ketika menelepon Lucas.
***
"Apa-apaan ini?" Noah membanting beberapa lembar foto ke atas meja.
Potret itu memperlihatkan Ivy yang sedang menemui Jimmy. Beberapa potret lain menunjukkan bahwa Ivy sedang mengambil segepok uang dari koper yang diberikan oleh Jimmy. Rahang Noah langsung mengeras seketika.
"Di mana lokasinya?" tanya Noah dengan suara dingin.
"Malang, Pak."
"Kenapa dia harus berbohong?" Rahang Noah kembali mengeras.
Noah berdiri di depan jendela kaca yang memperlihatkan halaman depan rumahnya. Tangannya mengepal, matanya menyipit menatap hujan gerimis yang perlahan turun. Detak hatinya berdentum keras, menampar kesadarannya sendiri. Ivy bilang akan ke Bandung. Namun faktanya, dia ada di Malang. Bersama Jimmy.
"Bodoh!" Noah mendesis, membanting tangannya ke dinding. "Jadi selama ini semua yang dia ucapkan ... dusta?"
Lucas yang masih berdiri kaku di hadapannya hanya menunduk. Dia tahu mood Noah sedang berbahaya, tetapi dia juga tahu, sang atasan berhak tahu kebenaran.
"Aku mau semua rekam jejaknya sejak dia keluar dari rumah. Siapa saja yang dia temui, berapa lama, di mana, semua.”
“Baik, Pak.” Jimmy menunduk sekilas kemudian keluar dari kamar sang atasan.
Noah menatap foto-foto itu lagi. Di salah satu foto, Ivy tampak menyeka air matanya saat Jimmy memegang bahunya. Adegan itu membakar amarahnya. Sebuah adegan yang menumbangkan sisa logika dalam benaknya.
Noah tahu dirinya telah menyakiti Ivy. Tapi Ivy menyembunyikan ini darinya. Bertemu Jimmy diam-diam dan menerima uang darinya, untuk apa?
Tiga hari berlalu sejak Ivy meninggalkan rumah. Noah nyaris tak keluar kamar. Hanya Lucas dan beberapa staf yang tahu ke mana Ivy pergi sebenarnya.
Malam keempat, Noah duduk di ruang tengah dengan cahaya lampu yang temaram. Dia membuka laptop, dan tanpa sadar jari-jarinya membuka folder yang sudah lama tidak disentuh: Surat Kontrak Pernikahan.
Noah membaca ulang setiap pasal dan klausul yang dulu disusun Ivy sendiri, termasuk larangan menyentuh Ivy jika hanya di depan umum demi menjaga pandangan orang lain. Kontrak yang membuatnya merasa punya Ivy, tetapi bukan benar-benar memilikinya.
Matanya mengabur, bukan karena lelah, tetapi oleh genangan sesal. Namun kemudian, sesuatu dalam dirinya berubah. Ego dan harga dirinya tak lagi bisa ditahan. Dia mengambil ponsel.
“Siapkan mobil. Kita ke Malang malam ini.”
Ivy berdiri di balkon kamar hotel, menggenggam cangkir teh panas yang sudah tak lagi mengepul. Malam itu dingin, tetapi tidak sedingin hatinya. Sejak peristiwa malam itu, tubuhnya masih merasa kotor, meski tak benar-benar disentuh. Jimmy mengetuk pintu dari dalam ruangan, membawa berkas-berkas.
“Maaf, Vi. Kalau kamu nggak nyaman, aku bisa langsung pulang.”
Ivy menoleh, memaksakan senyum. “Enggak. Aku yang harusnya minta maaf. Aku terlalu banyak merepotkan kamu. Dan, maaf sudah bersikap buruk terakhir kali kita bertemu.”
“Kalau Noah tahu—”
“Dia nggak tahu,” potong Ivy cepat. “Dan aku harap kamu juga nggak usah bilang ke siapa-siapa. Aku ke sini bukan buat main-main, Jim. Aku perlu bantuannya, dan kamu orang terakhir yang bisa aku andalkan untuk urusan ini.”
Jimmy diam sejenak, lalu mengangguk. “Aku paham. Tapi ... kamu yakin mau kembali ke rumah itu setelah semua yang dia lakukan?”
Ivy terdiam. Jawaban itu belum dia temukan. Perempuan tersebut hanya ingin waktu untuk bernapas.
Ketika tengah malam. Ketukan keras di pintu membuat Ivy terlonjak. Jimmy yang sedang menyeduh kopi buru-buru membuka pintu, dan di sanalah Noah berdiri. Matanya merah, wajahnya gelap, tubuhnya dibungkus mantel tebal.
“Ivy,” gumam Noah lirih, sebelum matanya mengarah pada Jimmy. “Jadi ini tempatmu bersembunyi?”
Ivy melangkah ke depan, berdiri di antara Noah dan Jimmy. “Apa yang kamu lakukan di sini?”
Noah mengangkat sebuah amplop. “Aku datang untuk menanyakan ini.”
Dia membuka amplop dan menghamburkan foto-foto Ivy dan Jimmy ke atas meja. Ivy tertegun.
“Noah—”