Elena Ivor Carwyn hidup sebagai Duchess yang dibenci, dihina, dan dijadikan pion dalam permainan politik kaum bangsawan. Namun ketika hidupnya direnggut secara tragis, takdir memberinya kesempatan kedua kembali satu tahun sebelum kematiannya. Kali ini, Elena bukan lagi wanita naif yang mudah dipermainkan. Ia bertekad membalikkan keadaan, mengungkap pengkhianat di sekitarnya, dan melindungi masa depan yang pernah dirampas darinya.
Namun di balik senyuman manis para bangsawan, intrik yang lebih mematikan menanti. Elena harus berhadapan dengan konspirasi kerajaan, perang kekuasaan, dan rahasia besar yang mengancam rumah tangganya dengan Duke Marvyn Dieter Carwyn pria dingin yang menyimpan luka dan cinta yang tak pernah terucap. Di antara cinta, dendam, dan darah, Elena akan membuktikan bahwa Duchess Carwyn bukan lagi pion melainkan ratu di papan permainannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KazSil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pisau di Balik Senyuman
Keheningan menjerat aula. Seakan waktu berhenti pada momen itu di antara tangan Elena yang masih menggantung di udara, dan tatapan dingin Mervyn yang menusuk seperti belati.
Satu detik. Dua detik. Suara napas para tamu pun terdengar jelas, bercampur dengan bisikan yang menyebar bagai api liar.
“Dia… hampir menari dengan pria lain.”
“Dan Duke menyaksikannya sendiri…”
“Duchess Carwyn… berani sekali.”
Pria yang masih mengulurkan tangannya menelan ludah, keringat tipis tampak di pelipisnya. Senyumnya yang semula percaya diri mulai goyah, menyadari tatapan yang kini membekukan dirinya bukan hanya dari para bangsawan tetapi dari sang Duke Carwyn sendiri.
Mervyn melangkah.
Tak… tak… tak…
Suara sepatunya berat, ritmis, seolah setiap langkahnya menghakimi. Jalannya tidak terburu-buru, tapi justru itulah yang membuat semua orang semakin menahan napas.
Elena terpaku. Jantungnya berdegup begitu keras, nyaris menyakitkan. Ia ingin menarik tangannya, namun rasa takut bercampur gengsi menahan gerakannya. Jika ia menariknya sekarang… semua akan tampak jelas bahwa ia bersalah.
Tatapan Mervyn turun sekali lagi pada tangan Elena, lalu perlahan naik mengunci matanya, penuh tekanan.
Senyum tipis yang berbahaya akhirnya muncul di wajahnya.
“Sepertinya aku… terlambat untuk satu tarian,” suaranya rendah, namun cukup untuk menggema hingga sudut aula.
Bisikan pecah, semakin gaduh, sementara Lady Cecilia yang masih berdiri di antara kerumunan menutupi mulutnya, matanya berbinar puas, seolah menunggu Elena terjerat dalam skandal di depan mata semua orang.
Namun tak seorang pun menyadari, di balik wajah datar Edmund Valens yang duduk di kursinya, ada senyum samar yang hanya muncul di sudut bibirnya.
Mervyn melangkah mendekat tanpa sepatah kata, lalu meraih tangan Elena. Dalam satu gerakan tegas, ia menariknya ke lantai dansa. Tubuh Elena terhuyung karena tarikan itu, hampir menabrak dadanya. Refleks, Mervyn menahan punggungnya dengan satu tangan.
“Hhh…” Elena menghela napas pendek, terkejut. Jemarinya secara naluriah mencengkeram bahu Mervyn, sementara tangan satunya terkunci erat dalam genggaman sang Duke.
Ia mendongak, menatap wajah Mervyn yang kini begitu dekat. Tatapan tajam pria itu turun menyapu dirinya, lalu beradu tepat di matanya. Sepersekian detik terasa seperti keabadian, hingga alunan musik kembali memenuhi aula.
Tanpa memberi kesempatan, Mervyn menuntun langkahnya. Elena terpaksa mengikuti, gerak kakinya terseret ke dalam ritme dansa yang dikuasai sepenuhnya oleh Mervyn. Setiap gerakan tegas, setiap putaran menyiratkan dominasi.
Sorotan mata para bangsawan mengunci pada keduanya. Bisikan, decak kagum, bahkan tatapan iri berbaur menjadi satu, menjadikan mereka pusat panggung yang tak terbantahkan.
Dalam putaran pelan, Mervyn mendekat, suaranya rendah namun cukup tajam untuk menusuk telinga Elena.
“Duchess… apakah kau berniat berselingkuh?”
Elena terhenti sejenak, kaget mendengar pertanyaan itu. Namun bibirnya segera melengkung tipis. Ia menatap Mervyn, lalu menjawab dengan suara manis yang menyimpan duri.
“Mungkin?… Karena aku selalu ditinggal sendiri.”
Kata-kata itu menghantam lebih keras dari yang ia kira. Rahang Mervyn mengeras, matanya meredup dalam sorot berbahaya. Jemarinya di pinggang Elena menegang, lalu menarik tubuhnya lebih dekat, begitu dekat hingga napas mereka hampir bertemu.
“Benarkah?” bisiknya dingin, seolah sebuah ancaman sekaligus tantangan.
Melihat ekspresi Mervyn yang tampak kesal, entah mengapa Elena justru tidak merasa takut.
“Ha… hahaha…” tiba-tiba tawa ringan lolos dari bibirnya.
Tawa itu terdengar jernih, memecah ketegangan, sekaligus menarik perhatian para tamu. Beberapa bangsawan menoleh penasaran, sementara alis Mervyn terangkat, ekspresinya berubah seketika.
Elena lalu tersenyum manis, menatap langsung ke dalam mata Mervyn, dan dengan lembut menuntunnya kembali ke irama dansa.
“Kamu… sangat lucu,” ujarnya, suaranya ringan namun tajam menyentuh ego Mervyn.
Kata-kata sederhana itu, yang disertai senyum manisnya, justru meluruhkan amarah yang sempat membara di mata sang Duke. Sorotannya melunak, meski hanya sedikit, namun cukup untuk membuat tarian mereka kembali mengalir indah.
Mereka berdansa hingga lantunan musik terakhir berhenti. Gerakan keduanya begitu serasi, seolah dibuat untuk menari bersama, membuat semua mata terpaku hingga nada terakhir benar-benar menghilang.
Begitu musik usai, Edmund segera melangkah mendekat. Dengan wibawa tuan rumah, ia menyapa Mervyn dan mengajaknya berbicara. Saat itulah, keduanya berpisah. Mervyn mengikuti Edmund dengan sikap tenang.
Begitu Mervyn melangkah bersama Edmund, seorang bangsawan wanita dengan gaun merah anggun menepuk tangan kecilnya, memanggil Elena dengan ramah.
“Duchess Carwyn, mari duduk bersama kami.”
Nada suaranya terdengar hangat, senyumnya tampak tulus. Beberapa wanita lain ikut mengangguk, memberi tempat kosong di deretan kursi khusus yang disediakan bagi para tamu wanita bangsawan.
Elena berjalan mendekat. Deretan kursi itu dipenuhi renda, bantalan lembut, dan aroma teh manis yang menggantung di udara. Dari sana, mereka bisa melihat seluruh lantai dansa dengan jelas. Sekilas suasana terasa akrab, seperti lingkaran pertemanan yang ramah.
Percakapan awal berjalan ringan mereka membicarakan keindahan dekorasi pesta, gaun terbaru dari butik ternama, hingga memuji alunan musik yang dimainkan malam itu. Beberapa bahkan tersenyum ramah kepada Elena, seolah benar-benar menerima kehadirannya.
Namun perlahan, arah pembicaraan bergeser.
“Ah, Duchess Carwyn,” ucap salah satu wanita dengan suara lembut, “gaun Anda benar-benar indah malam ini. Saya hampir mengira itu dipilih langsung oleh Duke Carwyn… tapi tentu saja, beliau terlalu sibuk, bukan?”
Seorang wanita lain menyusul, menegakkan punggungnya sambil tersenyum tipis.
“Duchess Carwyn,” ucap salah satunya dengan nada manis, “tarian Anda… ah, sungguh berkesan. Meski tentu saja, semua orang bisa terlihat indah bila dipandu oleh Duke Carwyn. Beliau bahkan bisa membuat patung kayu tampak anggun di lantai dansa.”
Wanita lain tertawa kecil sambil menutup mulut dengan kipas. “Tapi tetap saja, keberanian Anda luar biasa. Saya pribadi… tidak sanggup membayangkan berdiri di tengah aula, nyaris menerima uluran tangan pria asing. Hanya seorang wanita yang… haus perhatian, mungkin, yang bisa setegar itu.”
Beberapa yang lain berpura-pura terkejut, lalu menambahkan,
“Oh, benar. Semua orang membicarakannya. Hampir saja Duchess Carwyn menodai kehormatan suaminya di depan seluruh bangsawan. Seandainya Duke tidak datang tepat waktu… bayangkan saja, skandal macam apa yang akan menimpa nama Carwyn.”
Bisikan tawa berembus, makin menusuk.
“Ah, kasihan sekali… pasti tidak mudah menjadi istri yang… jarang ditemani. Wajar bila tangan lain terasa lebih… hangat.”
Elena berdiri tegak, tersenyum tipis, namun telapak tangannya mengepal di sisi gaun. Setiap kata mereka menelusup ke dalam dadanya seperti racun dingin, memalukan, menyakitkan. Ia bisa merasakan darahnya berdesir, panas naik ke wajah, namun bukan karena malu… melainkan amarah yang ditahan rapat.
Senyum para bangsawan semakin lebar, seolah mereka menemukan permainan baru melukai tanpa terlihat kejam.
Elena menghela napas pelan. Jemarinya yang menegang perlahan terlepas. Matanya menyapu satu per satu wajah mereka, sorotnya tak lagi lembut, melainkan berkilat tajam.
Bibirnya sedikit terbuka.
Saat itulah—