NovelToon NovelToon
Fangirl Cantik Milik Tuan Antagonis

Fangirl Cantik Milik Tuan Antagonis

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / Obsesi / Transmigrasi ke Dalam Novel / Kaya Raya / Fantasi Wanita / Ruang Ajaib
Popularitas:3.3k
Nilai: 5
Nama Author: BlackMail

Aluna, seorang pekerja kantoran, punya satu obsesi: Grand Duke Riven Orkamor, antagonis tampan dari game otome yang seharusnya mati di semua rute. Baginya, menyelamatkan Riven adalah mimpi yang mustahil.

​Hingga sebuah truk membuatnya terbangun sebagai Luna Velmiran — putri bangsawan kaya raya yang manja dan licik, salah satu karakter dalam game tersebut.

​Kini, Riven bukan lagi karakter 2D. Ia nyata, dingin, dan berjalan lurus menuju takdirnya yang tragis. Berbekal pengetahuan sebagai pemain veteran dan sumber daya tak terbatas milik Luna, Aluna memulai misinya. Ia akan menggoda, merayu, dan melakukan apa pun untuk merebut hati sang Grand Duke dan mengubah akhir ceritanya.

​Namun, mencairkan hati seorang antagonis yang waspada tidaklah mudah. Salah langkah bisa berarti akhir bagi mereka berdua. Mampukah seorang fangirl mengubah nasib pria yang ia dambakan, ataukah ia hanya akan menjadi korban tambahan dalam pemberontakannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BlackMail, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 16 : Satu Frame Bersama Ayang!

Luna membeku. Seluruh tubuhnya kaku seperti es. Waktu seolah berhenti, dan satu-satunya yang bisa ia rasakan adalah hawa dingin yang menguar dari sosok di belakangnya dan aroma samar mint dan kertas tua yang kini terasa begitu mengancam.

Suara yang dalam dan tenang itu masih terngiang di telinganya, setiap suku katanya menusuk langsung ke pusat kepanikannya.

"Apa itu Artefak?"

Pikiran Luna dipenuhi badai kekacauan.

"Sial, sial, sial, sial! Bagaimana bisa aku tidak menyadarinya!? Dia pasti melihatku! Dia melihatku memotretnya seperti penguntit gila! Dia melihat senyum bodoh di wajahku! Eh... Apa mungkin dia juga mendengar yang aneh-aneh!? TIDAK!!! Sial, tamat sudah! Misiku untuk menyelamatkan Riven berakhir bahkan sebelum dimulai! Dia akan membenciku selamanya!"

Setiap skenario terburuk melintas di kepalanya dalam sepersekian detik. Rumor sifat aslinya tersebar di seluruh akademi, dilaporkan ke Duke Velmiran karena mempermalukan nama keluarga, atau yang terburuk: Riven menatapnya dengan jijik!

Namun, di tengah badai itu, secercah logika dari Aluna si wanita karir yang terbiasa menghadapi krisis, muncul ke permukaan. Panik tidak akan menyelesaikan apapun. Ia butuh alibi. Sebuah kebohongan yang sempurna. Sekarang juga!

Dengan gerakan yang terasa seperti slow motion, Luna perlahan berbalik. Ia menyelipkan smartphone-nya di belakang kipas Desera yang masih terbuka, menyembunyikannya dari pandangan seolah sedang melindungi benda berharga.

Saat ia berhadapan langsung dengan Riven, ia telah berhasil memasang senyum paling anggun dan polos yang bisa ia kerahkan — senyum khas seorang nona bangsawan yang sedikit terkejut, bukan tertangkap basah.

"Maaf, Grand Duke? Anda mengatakan sesuatu?" tanyanya, berpura-pura tidak mendengar dengan jelas, berharap Riven akan menganggapnya angin lalu. "Please, untuk yang satu ini jangan peka, please!"

Harapannya pupus seketika. Riven tidak terpengaruh oleh aktingnya. Matanya yang sebiru es tidak beralih sedikit pun dari tangan Luna yang memegang kipas.

"Benda yang kau pegang," ulangnya, tanpa sedikit pun teralihkan, yang justru membuat Luna semakin ketakutan. "Aku bertanya, apa itu artefak?"

Gagal sudah taktik pura-pura tulinya. Otak Luna berputar lebih cepat dari sebelumnya, menyambungkan titik-titik. Divisi Artefak dan alat sihir... Hadiah dari Ayah... alasan untuk uang saku... Ya! Itu dia!

"Ah, ini..." kata Luna, dengan sengaja menunjukkan sedikit keraguan, seolah ia tidak yakin apakah harus membagikan rahasianya. Ia perlahan menunjukkan smartphone hitam polos itu, memegangnya dengan kedua tangan seolah benda itu adalah sebuah penemuan ilmiah yang sangat rapuh.

"Ini adalah artefak langka yang baru saja saya dapatkan dari Ayah sebagai hadiah masuk akademi. Sebuah... 'artefak perekam gambar'," jelasnya, nada suaranya berubah menjadi nada seorang peneliti yang antusias. Ia bisa merasakan jantungnya berdebar kencang, tapi suaranya tetap stabil.

"Duke Velmiran...." gumam Riven.

Luna melanjutkan, "Benda ini bisa 'menangkap' sebuah pemandangan dalam sekejap dan menampilkannya kembali di layar kaca ini. Saya berencana menggunakannya untuk mendokumentasikan arsitektur kuno dan rune-rune langka di sekitar akademi untuk bahan studi saya di Divisi Artefak. Sangat berguna, bukan?"

Alibi itu sempurna. Cerdas, berhubungan dengan akademis, dan sangat sesuai dengan citra baru yang ingin ia bangun. Sebuah kebohongan yang dibungkus dengan beberapa lapis kebenaran.

Riven menatap smartphone di tangan Luna, lalu beralih menatap mata Luna. Keheningan kembali menyelimuti mereka, tatapan analitisnya seolah mencoba menemukan celah sekecil apa pun dalam cerita Luna.

Di bawah tekanan tatapan itu, Luna memutuskan bahwa pertahanan terbaik adalah menyerang — dengan keanggunan, tentu saja.

Sambil tersenyum tipis, ia melanjutkan, "Tapi, saya justru lebih penasaran dengan Grand Duke sendiri. Semua siswa baru sedang sibuk membentuk tim. Mengapa Anda ada di sini sendirian? Bukankah ujian labirin akan segera dimulai?"

Pertanyaan itu berhasil mengalihkan fokus Riven sejenak. Ia melirik ke arah keramaian di kejauhan dengan ekspresi datar.

"Ujian tim yang dirancang untuk memancing emosi dan melihat karakter asli seseorang," jawab Riven, suaranya terdengar dingin dan logis. "Bagiku, itu bukan ujian, melainkan sebuah kelemahan yang dieksploitasi. Aku tidak tertarik untuk berpartisipasi dalam drama semacam itu."

Bingo! Persis seperti yang Luna duga. Namun, Riven bukanlah orang yang mudah dialihkan perhatiannya. Matanya yang sebiru es itu kembali tertuju pada smartphone di tangan Luna.

Ia mengulurkan tangannya yang terbalut sarung tangan hitam. "Tunjukkan," katanya. Itu bukan permintaan, melainkan perintah singkat yang tidak bisa dibantah. "Tunjukkan cara kerja artefak itu."

Mampus! Jantung Luna serasa jatuh ke perutnya, tapi kemudian, sebuah ide gila, sebuah ide yang sangat Aluna, terlintas di kepalanya. Ini adalah krisis, tapi juga sebuah kesempatan emas.

"Baik, Grand Duke," jawabnya, berusaha keras menjaga suaranya agar tidak bergetar. "Cara terbaik untuk menunjukkannya adalah dengan menangkap subjek secara langsung. Jika Anda bersedia, Saya ingin mencoba menangkap gambar kita berdua. Ini akan menjadi uji coba yang bagus untuk melihat bagaimana artefak ini menangani detail dua orang dalam satu bingkai."

Riven menatapnya dalam diam, menganalisis. Luna menahan napas. Ini adalah pertaruhan besar. Setelah beberapa detik, Riven mengangguk singkat. "Lakukan."

"YES! BERHASIL! AKU AKAN BERFOTO DENGAN RIVEN!" Luna menjerit dalam hati, tapi di luar ia hanya tersenyum anggun.

Ia mengaktifkan kamera depan. "Mohon jangan bergerak, Grand Duke. Saya harus mengatur posisi," katanya dengan nada profesional. Untuk memasukkan mereka berdua ke dalam bingkai, Luna harus berdiri sangat dekat dengan Riven. Ia bisa merasakan hawa sejuk dari aura sihir Riven dan mencium kembali aroma mint yang membuatnya pusing.

Ia mengangkat smartphone itu, dan untuk pertama kalinya, ia melihat wajahnya — wajah Luna dan wajah Riven berdampingan di sebuah layar. Pemandangan itu begitu sureal hingga ia hampir lupa bernapas.

"Tiga... dua... satu..." KLIK! Foto pertama mereka berdua berhasil diambil.

Merasa sukses besar dan sedikit mabuk karena adrenalin, sisi Aluna yang impulsif mengambil alih.

"Wow! Lihat, Grand Duke! Gambarnya sangat jernih, Grand Duke terlihat sangat tampan di sini!" serunya dengan nada yang lebih ceria. "Ah, artefak ini juga punya fitur 'filter' yang menarik. Katanya bisa menambahkan 'hiasan' magis. Boleh kita coba sekali lagi? Kali ini dengan pose yang lebih... imut?"

Sebelum Riven sempat memproses kata "imut", Luna sudah menggeser layar, menampilkan berbagai filter dan berhenti di filter telinga kelinci yang panjang dan berwarna pink. Ia mengangkat smartphone itu lagi, menunjukkan pada Riven bagaimana gambar mereka di layar kini dihiasi telinga kelinci yang menggemaskan.

"Lihat? Imut sekali, kan? Bagaimana kalau Grand Duke mencoba membuat tanda 'peace' dengan jari seperti ini?"

Riven menatap layar. Ia melihat wajahnya yang dingin dan serius, dengan sepasang telinga kelinci pink yang bergoyang-goyang di atas kepalanya. Ia terdiam.

Ekspresinya tidak berubah sedikit pun. Keheningan itu jauh lebih menakutkan daripada amarah. Ia lalu menatap Luna.

"Tidak," katanya, suaranya datar, dingin, dan absolut.

1
aku
TIDAK. mak jlebb 🤣🤣
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!