Hana, gadis sederhana anak seorang pembantu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah dalam sekejap. Pulang dari pesantren, ia hanya berniat membantu ibunya bekerja di rumah keluarga Malik, keluarga paling terpandang dan terkaya di kota itu. Namun takdir membawanya pada pertemuan dengan Hansel Malik, pewaris tunggal yang dikenal dingin dan tak tersentuh.
Pernikahan Hansel dengan Laudya, seorang artis papan atas, telah berjalan lima tahun tanpa kehadiran seorang anak. Desakan keluarga untuk memiliki pewaris semakin keras, hingga muncul satu keputusan mengejutkan mencari wanita lain yang bersedia mengandung anak Hansel.
Hana yang polos, suci, dan jauh dari hiruk pikuk dunia glamor, tiba-tiba terjerat dalam rencana besar keluarga itu. Antara cinta, pengorbanan, dan status sosial yang membedakan, Hana harus memilih, menolak dan mengecewakan ibunya, atau menerima pernikahan paksa dengan pria yang hatinya masih terikat pada wanita lain.
Yuk, simak kisahnya di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35. 25 tahun kemudian
Suasana rumah besar keluarga Malik kini terasa berbeda. Dulu penuh hiruk pikuk, kini lebih sering diliputi keheningan. Furqan, pemuda gagah berusia 25 tahun, berteriak dari ruang tengah.
“Mamaaa!” suaranya bergema, disertai dentuman langkah kakinya yang berat. Helm motor besar tergantung di tangannya, sementara tas ransel hitam tersampir di bahunya. Raut wajahnya menunjukkan semangat khas anak muda yang baru saja lulus dari salah satu universitas ternama di Indonesia.
Rencana awalnya dulu, Furqan ingin melanjutkan studi ke luar negeri. Namun, niat itu pupus oleh keputusan tegas Laudya. Ibunya itu menolak dengan alasan sederhana namun penuh makna, dia tak ingin anak semata wayangnya pergi terlalu jauh. Laudya yang masih terikat pada bayang kehilangan seakan menahan Furqan dalam genggamannya.
“Ma, aku berangkat dulu…” Furqan masih berteriak sambil melangkah ke ruang makan, namun jawabannya nihil. Dia mendesah kesal, meletakkan helm di meja, lalu duduk sekadar mengambil sepotong roti dan segelas susu.
Saat itulah Hansel muncul. Pria itu kini menua dengan elegan. Rambutnya mulai beruban, namun sorot matanya masih tajam, dan gaya rapinya dengan jas serta kacamata membuatnya terlihat seperti direktur yang berwibawa. Sambil merapikan jas, Hansel menatap anaknya.
“Mama kamu belum pulang. Syutingnya tadi malam agak molor,” katanya tenang.
Furqan mendengus pelan. “Huft … Mama nggak capek apa, Pa? Umurnya udah segini masih aja kerja terus.”
Hansel tersenyum tipis, menghela napas yang sarat dengan makna. “Kamu tahu kan, Al. Mama kamu nggak pernah bisa jauh dari dunia itu. Syuting sudah jadi bagian hidupnya.”
Furqan mengangguk, meski wajahnya masih diliputi kesal. Dia mencintai mamanya, dan bahkan sangat mencintainya. Namun, kadang ia iri karena dunia hiburan masih sering merebut perhatian Laudya darinya.
“Aku ke Bogor, Pa. Camping sama teman-teman. Seminggu mungkin,” kata Furqan, berdiri sambil mengangkat tas ranselnya.
"Aku pasti akan menuruti keinginan papa untuk ngambil bisnis papa ... tapi biarkan aku bersenang-senang dulu barang dua Minggu ke depan," ujarnya.
Hansel buru-buru menahan dengan tatapan tegas. “Tapi sebelum berangkat, temui dulu mama kamu. Jangan bikin dia khawatir kalau tahu-tahu kamu nggak ada di rumah. Kamu tahu, Mama selalu panik kalau nggak dapat kabar.”
Furqan terdiam, dia tahu itu benar, meski kadang merasa Laudya terlalu mengekang, ia sangat menyayangi wanita itu. Akhirnya ia hanya mengangguk. “Iya, Pa. Aku nanti mampir ke lokasi syuting dulu.”
Lokasi syuting di salah satu studio film Jakarta ramai seperti biasa. Kru lalu lalang membawa peralatan, beberapa artis berdandan di balik layar, dan teriakan sutradara memecah suasana. Begitu Furqan masuk, aura ruangan seketika berubah. Banyak mata menoleh, menatap pemuda tampan dengan pesona yang sulit diabaikan.
“Eh, itu anaknya Bu Laudya, kan?” bisik seorang kru.
“Ganteng banget ya, pantas jadi aktor juga tuh…”
“Cocok banget kalau ikut syuting, bisa-bisa trending,” celetuk yang lain sambil terkekeh.
Furqan hanya tersenyum sopan, menundukkan kepala setiap kali ada yang menyapa. Kesantunannya membuat banyak orang semakin kagum. Hingga akhirnya matanya bertemu dengan sosok yang ia cari Laudya. Wanita itu tengah dirias, mengenakan gaun untuk adegan terakhir film terbarunya. Meski usianya sudah jauh dari muda, kecantikannya masih bersinar, bahkan auranya semakin matang dan memikat.
“Al?” suara Laudya tercekat begitu melihat putranya mendekat. Ia segera bangkit, meskipun makeup artist berusaha menahannya. “Sebentar, aku harus ketemu anakku dulu.”
Laudya memeluk Furqan erat, seolah tak ingin melepaskannya. “Kenapa nggak bilang mau datang? Mama kangen banget.”
Furqan menepuk lembut punggung mamanya. “Aku cuma mampir sebentar, Ma. Mau pamit, besok aku ke Bogor camping sama teman-teman ... seminggu paling lama.”
Raut wajah Laudya langsung berubah. Ada cemas yang mengendap di matanya. “Bogor? Camping? Al, kenapa nggak ngabari mama dulu? Mama...”
“Ma,” Furqan memotong lembut. “Aku udah besar. Aku bisa jaga diri ... lagi pula Papa udah kasih izin. Aku cuma nggak mau Mama khawatir, makanya mampir dulu. Mama juga jarang di rumah, kita jarang ketemu juga, Ma. Jadi hari ini aku datang mau minta izin,"
Beberapa kru yang melihat momen itu saling berbisik lagi. Ada yang nyeletuk dengan nada bercanda, “Bu Laudya, anaknya ganteng banget. Sekalian aja main film bareng, pasti laris!”
Laudya menoleh dengan senyum sopan, tapi nada suaranya tegas. “Tidak. Aku nggak mau Furqan ikut dunia ini ... biar dia punya jalan hidup sendiri.”
Ucapan itu membuat Furqan menatap mamanya lebih lama. Ada sesuatu yang ia rasakan, seakan-akan mamanya menyembunyikan sesuatu, seolah dunia hiburan yang membesarkan nama Laudya juga menyimpan luka yang ia tidak ingin Furqan sentuh.
"Kalau sampai kabarin, Mama. Ingat, jangan macam-macam di luaran sana. Kalau ada yang orang tak dikenal nggak perlu ditanggapi," Laudya mengingatkan anaknya, kening Furqan langsung berkerut.
"Ma, aku bukan bayi lagi. Mama terlalu posesif," bisik Furqan pelan sembari mencium pipi ibunya. Furqan pun berlalu pergi setelah berpamitan, Laudya menatapnya dengan cemas meskipun telah mengizinkan Furqan pergi.