Sejak bayi, Eleanor Cromwel diculik dan akhirnya diasuh oleh salah satu keluarga ternama di Kota Olympus. Hidupnya tampak sempurna dengan dua kakak tiri kembar yang selalu menjaganya… sampai tragedi datang.
Ayah tirinya meninggal karena serangan jantung, dan sejak itu, Eleanor tak lagi merasakan kasih sayang dari ibu tiri yang kejam. Namun, di balik dinginnya rumah itu, dua kakak tirinya justru menaruh perhatian yang berbeda.
Perhatian yang bukan sekadar kakak pada adik.
Perasaan yang seharusnya tak pernah tumbuh.
Di antara kasih, luka, dan rahasia, Eleanor harus memilih…
Apakah dia akan tetap menjadi “adik kesayangan” atau menerima cinta terlarang yang ditawarkan oleh salah satu si kembar?
silahkan membaca, dan jangan lupa untuk Like, serta komen pendapat kalian, dan vote kalau kalian suka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hazelnutz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Malam setelah pemakaman, suasana di pemakaman keluarga Cromwell benar-benar sudah kosong. Karangan bunga yang tadi siang masih harum, kini mulai layu, tersisa aroma tanah basah bercampur dupa yang masih mengepul samar. Orang-orang sudah bubar, kembali ke rumah masing-masing. Hanya bayangan lampu jalan dan dinginnya angin malam yang menemani sepi itu.
Dominic menyalakan Harley Davidson miliknya, suara mesinnya meraung di tengah keheningan. Tapi dia tidak mengarah ke kediaman Cromwell. Tangannya gemetar di stang motor, matanya merah, kepalanya penuh dengan bayangan senyum Elanor. Rasanya rumah terlalu menyakitkan untuk dituju, maka ia membelokkan motor menuju sebuah bar yang masih buka di ujung kota.
Begitu masuk, aroma alkohol langsung menyambutnya. Dominic tak bicara apa-apa, hanya menjatuhkan tubuhnya di kursi tinggi dekat meja bar. “Whiskey. Botol, bukan gelas,” katanya pendek, suara serak dan berat. Bartender sempat ragu, tapi tatapan dingin dan wajah kusut penuh duka Dominic membuatnya tak banyak bertanya.
Satu botol, habis. Botol kedua, menyusul. Setiap kali menenggak, Dominic menunduk, bibirnya bergetar, lalu gumaman itu keluar pelan tapi terus berulang.
“Maafin gue, El…”
“Harusnya gue ada di sana…”
“Kenapa harus elo, kenapa bukan gue aja…”
Semakin lama, gumaman itu berubah jadi ocehan mabuk yang penuh sesal. Tiga jam berlalu, botol-botol kosong berjejer di depannya. Mata Dominic merah, napasnya berat, badannya sudah hampir tak bisa seimbang. Bartender sempat mencoba menahannya, tapi Dominic langsung mengibaskan tangan, lalu keluar sempoyongan dengan langkah berat.
Motor Harley itu kembali meraung di jalan. Angin malam menusuk wajahnya, tapi tak mampu menyadarkan kepalanya yang berat. Entah bagaimana, Dominic akhirnya sampai di kediaman Cromwell.
Dia masuk dengan langkah terseok, tangannya berpegangan pada dinding agar tidak jatuh. Bukannya menuju kamarnya sendiri, dia justru berjalan lurus menuju kamar Elanor. Pintu kamar itu masih sama seperti biasanya, dengan pita kecil yang Elanor gantungkan di gagangnya.
Begitu dia membuka pintu, aroma samar parfum Elanor langsung menyergap. Sepi. Sunyi. Ruangan itu masih persis seperti terakhir ditinggalkan. Dan di atas tempat tidur, duduk diam sebuah boneka bunny putih, hadiah dari Dominic saat ulang tahun Elanor dulu.
Dominic melangkah pelan, seperti anak kecil yang takut menghancurkan sesuatu. Tangannya terulur, meraih boneka itu, lalu ia duduk di tepi ranjang, memeluknya erat.
Dan saat itulah semua yang ia tahan pecah. Air mata jatuh deras, tubuhnya bergetar, dan tangisnya pecah seperti anak kecil yang kehilangan segalanya.
“EL… maafin gue… Maafin kakak lo yang lemah ini…”
Dia terus memeluk boneka itu, menangis, tersengal, terisak tanpa henti, seolah malam itu dunia hanya berisi dia dan bayangan Elanor.
Daniel juga sama, di Malam itu ruang kerja Cromwell terasa begitu sunyi. Hanya bunyi detak jarum jam di dinding yang menemani, pelan tapi menusuk, seakan mengejek setiap detik yang berjalan tanpa Elanor. Lampu meja memancarkan cahaya kekuningan, samar, menyinari buku-buku tebal yang tak pernah lagi disentuh.
Di kursi rodanya, Daniel duduk kaku. Tubuhnya ada di sana, tapi jiwanya entah sudah ke mana. Pandangannya kosong, menembus hampa, namun mata itu akhirnya jatuh ke satu benda yang berdiri tegak di atas meja, sebuah bingkai foto dengan wajah Elanor di dalamnya.
Tangannya terulur dengan perlahan, gemetar, seolah menyentuh sesuatu yang rapuh. Ujung jarinya menelusuri garis wajah Elanor di balik kaca. Senyuman hangat itu masih sama, tatapan lembut itu masih menatapnya, tapi kini semua hanya ilusi, tak pernah bisa ia gapai lagi.
Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. Satu tetes, dua tetes, hingga kaca bingkai berembun oleh basahnya. Daniel menggenggam foto itu, mendekatkannya ke dada. Nafasnya tersengal, seakan dadanya terlalu sempit menahan seluruh rasa bersalah yang berputar di dalam dirinya.
Bayangan malam ballroom kembali menyesak. Lampu kristal yang berkilauan, musik klasik yang mengalun, dan Elanor…
Elanor dalam gaun sapphire, tersenyum, tertawa, memohon agar mereka berdansa sekali lagi. Tangannya yang kecil menggenggam erat tangannya, begitu penuh kehidupan. Daniel memejamkan mata, membiarkan memori itu menghantam dirinya. Itu adalah kali terakhir ia melihat Elanor bersinar, sebelum dunia merenggut semuanya.
“Kenapa lo, El…?” suaranya pecah, parau. “Kenapa harus lo?”
Amarah mendidih dalam dirinya, campur aduk dengan rasa bersalah yang menggerogoti. Tangan kanannya menghantam meja. BRAKKK! Suara kayu bergetar keras, pena-pena jatuh berhamburan, bingkai foto hampir terjungkal. Tapi Daniel cepat-cepat meraih lagi, memeluknya erat seolah takut kehilangan sekali lagi.
Tubuhnya bergetar hebat, tangannya mengepal sampai urat-urat di lengannya menonjol. Nafasnya berat, seperti orang yang dicekik oleh rasa bersalahnya sendiri.
“Gue… kakak yang nggak berguna…” suaranya serak, nyaris tak terdengar. Tapi di dalam ruang hening itu, kata-kata itu bergema, menusuk, memantul kembali ke telinganya, mengiris hatinya sendiri.
Air matanya semakin deras. Bahunya berguncang, ia menunduk, menekan wajahnya pada foto itu.
“Andai saja aku lebih kuat… andai aku nggak duduk di di kursi sialan ini… andai saja aku bisa gantiin posisi mu, El…”
Kursi roda itu berdecit ketika ia merosot sedikit, kepalanya menunduk makin dalam. Ia menutup wajah dengan telapak tangannya, tapi tangisan itu pecah juga. Tangisan seorang kakak yang kehilangan adik yang seharusnya ia jaga.
Di sisi lain kota, kesedihan yang sama tengah melanda seseorang yang berbeda.
Bella duduk sendirian di kamar tidurnya. Lampu tidak dinyalakan, hanya cahaya ponsel di tangannya yang menerangi wajahnya yang sembab. Tangannya menggenggam erat ponsel itu, membuka deretan chat lamanya bersama Elanor.
Pesan-pesan itu bertebaran dengan emoji tawa, candaan receh, sampai curhat panjang malam-malam. Tapi di balik semua itu, ada satu pesan yang membuat air matanya semakin deras:
> “Gue udah masukin nama lo ke daftar VIP, Bell. Lo jadi tamu undangan resmi.”
Bella menutup mulutnya dengan telapak tangan, menahan suara isakan yang akhirnya pecah juga. Sebuah acara besar yang di rayakan oleh keluarga sahabatnya itu, penuh tawa, penuh senyum, dan sekarang, semua itu hanya sebuah kenangan pahit.
Ia mulai membuka galeri fotonya. Jemarinya menggulir cepat, melewati ratusan foto dirinya dengan Elanor. Selfie di taman sekolah, tawa mereka di café kecil langganan, wajah Elanor yang manyun setiap kali Bella menggoda. Semuanya terasa masih segar, masih hangat.
Tapi hatinya terhimpit semakin kuat. Sampai akhirnya ia berhenti pada satu foto, Elanor tersenyum jahil dan pergi ke lantai dansa bersama Daniel kakaknya setelah dia menaruh tanganya di atas tangan Dominic ketika dansa di ballroom. Senyum itu begitu hidup, begitu nyata… dan Bella sadar, senyum itu tak akan pernah ada lagi.
Ponselnya tergelincir dari tangannya, jatuh ke kasur. Bella buru-buru meraih boneka panda putih besar yang selalu ada di kamarnya. Ia memeluk erat boneka itu, wajahnya tenggelam di bulu lembutnya, seakan berusaha mengganti kehilangan sahabatnya dengan sesuatu yang tak pernah bisa sebanding.
“El…” suaranya pecah, nyaris seperti anak kecil. “Kenapa Lo ninggalin gue secepat ini… kenapa Lo tega ninggalin gue sendirian?”
Isakannya memenuhi ruangan. Bahunya terguncang hebat, air matanya tak lagi bisa dikendalikan. Di kepalanya, kenangan Elanor terus datang silih berganti, tawa, suara, bahkan caranya memanggil nama Bella. Semua itu kini hanya bayangan yang menyakitkan.
Malam itu, Bella merasakan untuk pertama kalinya bahwa dunia tanpa Elanor adalah dunia yang dingin, sunyi, dan tak lagi sama.
Sedangkan Rafael, malam itu memilih duduk sendirian di bangku tua di halaman belakang sekolah, tempat yang dua hari lalu masih dipenuhi tawa Elanor. Udara dingin menusuk, tapi bukan itu yang membuat tubuhnya terasa beku. Pikirannya kembali pada momen-momen singkat bersama gadis itu.
Ia bisa dengan jelas membayangkan bagaimana wajah Elanor memerah saat ia sengaja melempar candaan kecil, membuatnya salah tingkah. Masih terasa nyata ekspresi polos bercampur gugup itu, seolah baru terjadi beberapa menit lalu. Dan seketika, bayangan lain muncul: wajah Elanor yang berubah serius, matanya penuh luka saat ia mengaku, “Ibuku yang membunuh Ayahku.”
Kenangan itu menancap kuat, membuat Rafael menunduk dalam-dalam. Tangannya mengepal di atas lutut, rahangnya mengeras, tapi tak ada yang bisa ia lakukan untuk menghapus rasa bersalah yang menghantui. Ia menatap kosong ke arah bangunan sekolah yang hening, lalu mendongak ke langit gelap. Bintang-bintang bertaburan, tapi malam terasa begitu kosong.
Tanpa sadar, setetes air mata jatuh, mengalir perlahan di pipinya. Rafael mengangkat tangannya, meraba wajahnya sendiri dengan heran. Ia bahkan tak sadar dirinya menangis.
Saat itu, suara getar dari ponselnya memecah kesunyian. Sebuah notifikasi muncul di layar. Pesan singkat dari asisten nya:
“Tuan. Wasiat Tuan Alexander Cromwell sudah di tangan kami.”
Rafael terdiam cukup lama, menatap layar itu tanpa ekspresi. Hatinya masih berat, pikirannya penuh oleh sosok Elanor. Tapi di balik semua itu, ada satu hal yang membuat bibirnya akhirnya terangkat sedikit, dan senyum tipis, hambar, namun penuh arti. Ia baru saja menang satu langkah dari Cassandra.
----
Keempat orang itu, dengan cara mereka masing-masing, merasakan kehampaan yang sama. Kehilangan yang begitu dalam, seperti sebuah lubang gelap yang tak bisa diisi oleh apa pun.
Dan malam itu, langit seakan ikut berduka. Bintang-bintang berkelip redup, seolah mereka pun meratapi apa yang telah terjadi. Angin berhembus pelan, membawa kesunyian yang menusuk. Seolah seluruh alam tahu, bahwa satu jiwa yang pernah begitu berarti… telah pergi, meninggalkan luka yang tak akan pernah benar-benar sembuh.
mirip kisah seseorang teman ku
air mata ku 😭