Menjadi sekretarisnya saja sudah sulit, apalagi kini aku jadi istrinya.
Dia bos galak yang tak kenal kompromi.
Dan aku… terjebak di antara cinta, gengsi, dan luka masa lalu yang siap menghancurkan segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nfzx25r, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19
Aruna masih terduduk di tepi ranjang ketika suara-suara dari ruang tamu mulai terdengar jelas menembus dinding tipis rumah mereka. Ia menahan napas, mencondongkan tubuh mendekati pintu, berusaha mencuri setiap kata yang terucap.
“Wah, rumah Ibu ini hangat sekali,” suara lembut seorang wanita mengalun, ramah namun berwibawa. “Tidak heran Aruna tumbuh jadi gadis yang anggun. Saya jadi semakin bersyukur rencana pernikahan ini bisa berjalan.”
Itu suara Ibu Arkan.
Aruna merasakan hatinya mencelos, jari-jarinya otomatis mengepal di atas map krem yang masih ia genggam.
Suara ibunya menyusul, penuh semangat. “Ah, jangan berlebihan, Bu. Justru saya yang bersyukur. Sejak dulu saya selalu berharap Aruna mendapat pasangan yang bisa menjaganya. Dan Arkan… anak yang pintar, pekerja keras, punya masa depan cerah. Apa lagi yang bisa saya minta?”
Ibu Arkan terkekeh kecil, terdengar puas. “Arkan memang keras kepala, tapi sekali ia berkomitmen, dia akan setia. Saya yakin Aruna akan bahagia bersamanya. Lagi pula, ini bukan hanya menyatukan mereka berdua, tapi juga menyatukan keluarga kita. Hubungan bisnis kita akan semakin kuat.”
"Iya Bu…” ibunya Aruna berdesah kagum, tak mampu menyembunyikan senyum. “Itulah yang saya harapkan. Dengan begitu, Aruna tidak perlu susah payah memikirkan hidupnya nanti. Ia akan terjamin. Saya hanya ingin anak saya aman… meski kadang dia tidak mengerti itu.”
Aruna menutup mata rapat-rapat, air matanya mengalir lagi tanpa bisa ditahan. Kata-kata ibunya menusuk dalam, seolah kebahagiaan dirinya sendiri tidak pernah benar-benar diperhitungkan.
Ibu Arkan melanjutkan, suaranya penuh keyakinan. “Saya sudah bilang ke Arkan, Aruna adalah pilihan terbaik. Cantik, sopan, dan… dari keluarga baik-baik. Dia senang, Bu. Sangat senang. Saya bisa lihat dari sorot matanya saat membicarakan Aruna. Anak laki-laki saya itu jarang sekali menunjukkan perasaan, tapi kali ini berbeda.”
Di dalam kamar, Aruna terhenyak. Senang? Hatinya berteriak pilu. Bagaimana mungkin Arkan senang, sementara dirinya setiap hari merasa tercekik oleh rencana yang dipaksakan?
Suara ibunya kembali terdengar, kali ini lebih lirih tapi penuh harapan. “Kalau begitu… semoga ini benar-benar jadi awal yang indah untuk mereka berdua. Saya ingin Aruna belajar mencintai, meski mungkin awalnya berat. Tapi… bukankah cinta bisa tumbuh setelah mereka bersama?”
Ibu Arkan menyahut mantap, “Benar sekali. Dan saya yakin, dengan Arkan di sisinya, Aruna akan menemukan bahagia yang selama ini dia cari.”
Aruna menggigit bibirnya, menahan isak agar tak terdengar keluar. Rasanya tubuhnya terperangkap di antara dua dinding yang menutup rapat—dinding yang dibangun dari ambisi, harapan, dan kepalsuan.
Ia tahu, malam itu, suara-suara riang di ruang tamu justru menjadi penjara baru. Semua orang tampak bahagia dengan perjodohan ini. Semua orang… kecuali dirinya sendiri.
Dalam hati, sebuah bisikan lirih bergema:
Kalau semua orang begitu yakin aku akan bahagia, kenapa aku justru merasa ingin kabur sejauh-jauhnya?
Aruna mengusap kasar air matanya, berusaha menutup telinga dengan kedua tangan. Suara tawa dan percakapan yang masih bergema dari ruang tamu hanya menambah sesak di dadanya. Ia menarik napas panjang, lalu merebahkan tubuh ke ranjang.
"Percuma… aku tidak bisa melawan semua ini. Lebih baik aku tidur saja, melupakan sebentar."
Dengan pasrah, ia memejamkan mata. Pelan-pelan kesadarannya tenggelam, meski hatinya masih penuh luka.
Dalam mimpinya, dunia terasa berbeda. Aruna berdiri di sebuah taman luas, dipenuhi bunga warna-warni yang bermekaran di bawah cahaya mentari sore. Ia mengenakan gaun putih sederhana, dan di sampingnya, Arkan tersenyum hangat.
Tidak ada tekanan, tidak ada dokumen bisnis, tidak ada paksaan. Hanya mereka berdua—tertawa, berjalan berdampingan, tangan mereka saling menggenggam erat.
Aruna merasakan kebahagiaan yang selama ini ia dambakan. Senyum Arkan terlihat tulus, matanya menatap Aruna seolah ia benar-benar berharga. Untuk pertama kalinya, Aruna merasa ringan, bebas, dan… dicintai.
Namun kebahagiaan itu mendadak pecah.
Dari kejauhan, sosok Rani datang dengan langkah anggun namun penuh kuasa. Bibirnya melengkung membentuk senyum sinis, matanya tajam menusuk ke arah Aruna.
“Aruna… kau pikir kau pantas berdiri di samping Arkan?” suara Rani menggema, dingin dan menusuk.
Tangan Arkan yang semula menggenggamnya tiba-tiba terlepas. Aruna menoleh panik, hanya untuk melihat Arkan kini menatap Rani dengan sorot berbeda—hangat, sama seperti tadi ia menatap Aruna.
“Arkan… jangan…” suara Aruna bergetar, tangannya terulur, tapi Arkan melangkah menjauh darinya, mendekati Rani.
Rani menyentuh tangan Arkan, dan dalam sekejap, bunga-bunga di taman layu, langit cerah berubah kelam. Aruna terjatuh, gaun putihnya kotor oleh tanah yang retak, tangisnya pecah tanpa henti.
“Tidak… jangan tinggalkan aku… jangan…”
Air mata membanjiri wajahnya di dalam mimpi. Dan saat kesadarannya perlahan kembali, Aruna mendapati bantalnya basah—ia benar-benar menangis di dunia nyata.
Matanya terbuka, menatap langit-langit kamarnya yang muram. Isakannya masih bergetar di dada, sama seperti dalam mimpi.
Tak ada Rani, tak ada Arkan. Hanya ia sendiri, terjebak dalam kenyataan yang tak kalah menyakitkan.
Aruna menutup wajah dengan kedua tangannya, tubuhnya terguncang oleh tangis yang makin pecah.
"Kalau bahkan dalam mimpi pun kebahagiaan itu direnggut dariku… lalu di mana aku bisa menemukannya?"