Aruna murid SMA yang sudah dijodohkan oleh ayahnya dengan Raden Bagaskara.
Di sekolah Aruna dan Bagas bertemu sebagai murid dan guru.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tsantika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Trik Kedekatan
Mobil itu melaju tenang di bawah langit malam, lampu-lampu jalan memantul di kaca depan. Bagas menyetir dalam diam, sementara Aruna duduk di sebelahnya, tangan menggenggam tas kecilnya, bingung harus berkata apa. Semua kata terasa canggung, dan keheningan justru membuat jantungnya berdetak lebih keras.
Mereka berhenti di lampu merah.
Tiba-tiba Bagas mulai membuka jaketnya.
Aruna refleks menoleh cepat. “Pak—Pak mau ngapain?” wajahnya panik.
Bagas melirik heran. “Tenang. Cuma buka jaket. Gerah.”
Aruna menghela napas, malu sendiri. “Ya kasih tahu dulu, jangan bikin kaget.”
Bagas tertawa pendek. “Kamu ini tegang banget. Padahal aku bukan kriminal.”
“Belum,” gumam Aruna pelan, tapi cukup keras untuk membuat Bagas menoleh dengan senyum geli.
Tak lama, mobil berhenti di depan rumah Aruna.
“Udah sampai,” ujar Bagas sambil mematikan mesin.
Aruna membuka pintu pelan, lalu ragu-ragu menoleh ke arah Bagas. “Mau mampir?”
Bagas cepat-cepat menggeleng. “Nggak, nanti digerebek warga. Lagian, aku nggak siap mental disidang Bi Rani.”
Aruna tertawa kecil. “Padahal Papa mungkin nyiapin teh.”
“Dan mungkin juga nyiapin pertanyaan jebakan,” balas Bagas.
Keduanya tertawa ringan. Setelah itu, Aruna menarik napas, menatap Bagas dengan ekspresi yang sedikit lebih tenang.
“Terima kasih… udah nganterin.”
Bagas menatapnya dalam-dalam sejenak, lalu mengangguk. “Kapan pun kamu butuh… guru matematika atau bukan.”
Aruna tersenyum kecil, menutup pintu, dan melangkah masuk ke rumahnya. Bagas menatap punggungnya yang menjauh, sebelum akhirnya menyalakan mobil kembali dan melaju ke arah sebaliknya—masih dengan sisa senyum di wajahnya.
Bagas masih berada di dalam mobilnya yang terparkir di pinggir jalan ketika notifikasi email masuk ke layar ponselnya. Ia membuka email dari sekolah—subject-nya mencolok: "Persiapan Kegiatan Kemah Kelas 12 - Minggu Depan".
Ia membaca cepat isi email itu. Rencana yang ia ajukan minggu lalu ternyata disetujui oleh pihak sekolah. Kini namanya tertera sebagai Ketua Pelaksana Kegiatan.
Bagas mengangkat alis. "Cepat juga disetujuinya," gumamnya sambil melajukan mobilnya dan memikirkan kegiatan nanti. Ia tahu betul, meskipun ini kegiatan santai, tapi dinamika anak kelas 12 tidak bisa dianggap enteng—terutama kalau ada satu nama di dalamnya: An!runa.
Sementara itu, di kamar Aruna...
Ia tengah rebahan sambil menggulir ponselnya. Matanya terhenti pada email masuk dari sekolah. Ia membuka dan membaca dengan malas. Begitu matanya menangkap nama ketua pelaksana kegiatan: Bagaskara R., ia langsung duduk tegak.
“Serius?” desisnya. Ia menutup email, lalu membuka grup kelas.
Notifikasi tidak berhenti berdatangan. Grup LINE Class XII Science One sedang ramai dibanjiri pesan:
"Woi, kita jadi kemah minggu depan!"
"Siap-siap bawa sleeping bag dong!!"
"Gue tidur sama siapa? Si Doni ngorok!"
"Yang penting bukan sama Aletta lah yaaa~"
Aruna mengetik sesuatu, lalu menghapusnya. Ia menatap layar sambil mendesah panjang.
Windi mengiriminya DM.
Windi
[Lu liat nggak? Yang ngusulin ternyata Pak Raden. Fix dia pengen ngelatih fisik kamu buat jadi istri tahan banting.]
Aruna
[Dia pikir aku nggak bisa kabur di tengah hutan? Lucu.]
Aruna meletakkan ponselnya di dada dan menatap langit-langit.
“Jadi begini caramu, Pak Guru?”
Pagi itu, Aruna mengenakan seragam sekolahnya seperti biasa. Rambutnya diikat rapi, wajahnya segar, tapi ada sorot enggan di matanya. Ia menuruni tangga menuju ruang makan, langkahnya sedikit lambat.
Di meja makan, sudah tersaji roti panggang, telur mata sapi, dan jus jeruk. Bi Rani sedang membereskan piring ketika Pak Agam juga turun dari lantai atas.
“Pagi, Nak,” sapa Pak Agam sembari duduk dan menyambar koran pagi.
“Pagi, Pa,” sahut Aruna datar, lalu duduk dan mulai makan pelan-pelan.
Tak lama kemudian, ia membuka suara, “Minggu depan ada kemah di sekolah, Pa.”
Pak Agam mengangguk sambil membuka korannya, “Oh ya? Bagus tuh, biar segar juga pikirannya.”
Aruna melirik ayahnya sejenak sebelum mengangkat bahu.
“Yang ngadain itu... calon menantu kesayangan Papa, lho.”
Pak Agam menurunkan koran sedikit. Sebuah senyum menggoda tersungging di bibirnya. “Wah, akhirnya Aruna mengakui juga.”
Aruna mendesah.
“Aku cuma ikut bahasanya Papa. Bukan berarti aku setuju sama semua ini.”
Pak Agam tertawa kecil. “Papa ada pekerjaan luar kota beberapa hari ke depan. Setidaknya Papa tenang, kamu di bawah pengawasan Bagas.”
Aruna meletakkan garpunya. “Pa, ini kemah, bukan resepsi. Aku bukan nikah sama dia, cuma tidur di tenda.”
Pak Agam mengangkat kedua tangan seperti menyerah, tapi wajahnya masih ceria. “Iya, iya... Tapi Bagas itu tanggung jawab, bisa dipercaya.”
Aruna menghela napas panjang. Dalam hati ia bergumam, “Tanggung jawab sih iya, tapi suka bikin hidupku berantakan juga.”
Pagi itu masih sedikit berkabut ketika mobil Pak Anwar berhenti di depan kedai kopi kecil dekat sekolah.
“Pak Anwar, kita mampir sebentar ya,” kata Aruna sambil menutup buku catatannya.
Pak Anwar menoleh ke belakang. “Non Aruna mau ngopi pagi-pagi?”
“Teh,” koreksi Aruna. “Dan kue cokelat. Mood booster sebelum jam pelajaran horor.”
Pak Anwar terkekeh. “Siap, Non.”
Aruna melangkah masuk ke dalam kedai. Aroma kopi dan kayu manis menyambutnya. Di atas counter, monitor kecil menampilkan tulisan: Nomor 7, pesanan siap diambil.
Seorang laki-laki berseragam rapi maju ke depan dan mengambil nampan berisi kopi serta roti panggang. Aruna sempat memperhatikan punggungnya.
Laki-laki itu berbalik. “Pagi juga, Aruna.”
Aruna terbelalak. “Mas Bagas?”
Bagas tersenyum tipis. “Kedai ini enak buat ngopi sebelum chaos kelas dimulai.”
Aruna cepat-cepat menunduk dan pura-pura mengecek pesan di ponsel.
Tak lama, pesanan Aruna dipanggil. Ia menerima teh dan kue cokelatnya. Tapi begitu berbalik, ternyata Bagas masih berdiri di sana, menyesap kopinya pelan.
“Mas,” kata Aruna sambil menarik napas. “Kita break. Ingat?”
Bagas mengangguk santai. “Aku ingat. Tapi di sekolah, nggak ada yang berubah. Aku guru. Kamu murid. Semua orang lihat kita seperti itu.”
“Kecuali Atta,” timpal Aruna cepat.
Bagas menaikkan satu alis. “Kenapa sih kamu selalu bawa-bawa Atta?”
Aruna menghela napas. “Karena dia tahu. Aku takut dia sebar gosip ke mana-mana. Satu sekolah bisa ribut.”
Bagas tertawa pelan, lalu menyesap lagi kopinya. “Kalau emang gosip itu keluar, justru karena kamu terus mikirin Atta.”
“Aku bukan mikirin dia. Aku mikirin reputasi.”
Aruna cemberut. Bagas tersenyum.
“Reputasimu tetap utuh, Aruna. Tenang aja. Yang penting, kamu lulus matematika.”
“Jangan ingetin soal PR, Mas.” Aruna mendengus.
“Aku nggak. Tapi kamu yang baru aja ingetin,” jawab Bagas sambil tersenyum nakal, lalu melangkah keluar dari kedai.
Aruna berdiri beberapa detik, memandangi pintu yang baru saja tertutup. Lalu ia bergumam, “Dasar guru nyebelin.”
Tapi senyumnya tetap tersungging saat ia duduk dan menyeruput tehnya.
Aruna memasuki kelas dengan wajah kusut, langkahnya berat, dan pandangan menerawang. Ia menjatuhkan tasnya ke meja dan duduk tanpa semangat.
Windi yang sudah duduk rapi menatapnya heran. “Kamu kenapa, sih? Baru juga pagi udah kayak abis lomba debat sama Bu Kamila.”
Aruna mendesah panjang. “Nggak, aku cuma capek mikirin satu orang... yang tiba-tiba jadi pusat dari semua drama hidupku.”
Windi menyipitkan mata, lalu menyenggol lengan Aruna. “Jangan-jangan... ini soal Pak Raden lagi?”
Aruna menoleh malas. “Menurutmu siapa lagi?"
"PR matematika minggu kemarin, aman, kan? Udah kamu kerjain juga?"
"Udah aku beresin PR matematika semalam sampai tengah malam. Lengkap, semua soal. Tapi aku curiga ini trik Pak Raden.”
“Trik?” Windi menaikkan satu alisnya. “Trik gimana?”
“Ya... mungkin dia pikir aku bodoh dan bakal minta bantuan, jadi dia bisa makin dekat. Strategi guru-tunangan murahan,” gumam Aruna sambil menutup bukunya dengan kasar.
“Dan kamu ngerasa... dia nganggap kamu bodoh?” tanya Windi sambil menahan senyum.
“Ya! Atau... dia pikir bisa deketin aku pakai dalih tugas. Sok-sokan guru baik. Padahal kita udah sepakat break.”
Windi tertawa pelan. “Tapi kalau kamu suka, kenapa keberatan dideketin?”
Aruna langsung memalingkan wajah. “Aku nggak suka sama dia.”
“Kamu pasti udah ngaca belum hari ini? Mukamu kalau bahas dia tuh kayak habis makan coklat. Manis tapi nggak mau ngaku.”
Aruna menepis lengan Windi. “Bisa diem nggak sih? Aku udah cukup kacau.”
“Iya, iya. Kamu nggak suka sama guru tinggi, ganteng, perhatian, dan bikin greenhouse khusus buat makan malam sama kamu. Jelas banget.”
Aruna makin cemberut. Ia heran kenapa membahas laki-laki itu. Windi cekikikan.
“Udah, siap-siap aja. Sebentar lagi bel masuk. Dan... jeng jeng jeng... Pak Raden bakal masuk bawa soal cerita yang absurd itu.”
Aruna menunduk, merapikan bukunya dengan kesal. Tapi di dalam hatinya, ada getaran aneh yang selalu muncul setiap kali nama Bagas disebut. Ia benci mengakuinya... tapi Windi mungkin tidak sepenuhnya salah.