NovelToon NovelToon
Lihatlah Aku Dari Nirwana

Lihatlah Aku Dari Nirwana

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Duda / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Beda Dunia / Cinta Murni / Slice of Life
Popularitas:696
Nilai: 5
Nama Author: indrakoi

Nael, seorang notaris kondang, tenggelam dalam kesedihan mendalam setelah kepergian istrinya, Felicia. Bermodalkan pesan terakhir yang berisi harapan Felicia untuknya, Nael berusaha bangkit dan menjadi pribadi yang lebih baik. Meski kehidupannya terasa berat, ia tidak pernah menyerah untuk membenahi diri seperti yang diinginkan oleh mendiang istrinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indrakoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

CHAPTER 12: Pengukuran

Di bawah hangatnya mentari pagi, Aku dan Alvie sedang sibuk mengukur tanah yang dibeli oleh Deborah bersama calon suaminya. Jujur, aku sendiri cukup terkejut ketika mengetahui bahwa masih ada tanah seluas ini yang tersisa di tengah padatnya kota Andawana.

Asal kalian tahu, rata-rata tanah di kota ini hanya memiliki luas sekitar 4 are saja. Sementara itu, tanah yang dibeli oleh mereka berdua ini punya ukuran yang empat kali lipat lebih besar daripada luas rata-rata tersebut. Dengan tanah seluas ini, kau bisa saja mendirikan sebuah mansion mewah untuk ditinggali bersama.

Sepanjang proses pengukuran, hatiku tiada henti-hentinya merasa gelisah. Ini disebabkan karena aku nggak tahu pekerjaan apa yang digeluti oleh si jalang itu, hingga dia berhasil membeli tanah seluas ini di Andawana. Berdasarkan rincian akta jual beli yang kuperiksa kemarin, Indah Deborah menyumbang sekitar 35% dari biaya pembelian tanah ini. Dan angka 35% itu memiliki nominal hingga miliaran rupiah.

Setelah selesai mengukur tanah milik Deborah, aku dan Alvie memutuskan untuk berteduh di bawah pohon beringin yang rindang untuk mengistirahatkan badan. Karena lokasi tanah ini berada di wilayah pinggiran kota, makanya situasi di sekitar tidak terasa begitu ramai. Bahkan, aku bisa mendengar suara kicauan burung dengan sangat jelas di sini.

“Hah… Tanah mantan pacarmu ini lumayan juga, ya. Aku rasa ini adalah hasil kerja kerasnya dalam menipu banyak orang-orang kaya di luar sana. Hahahaha!” Ucap Alvie dengan nada mengejek, sembari menyulut sebatang rokoknya.

“Yah, begitulah.” Balasku singkat, sambil ikut menyulut sebatang rokok.

Suasana hening sejenak ketika kami menikmati cita rasa nikotin dari rokok masing-masing. Hembusan sejuk dari angin sepoi-sepoi terasa mengelus kulit dengan lembut, hingga keringat yang membasahi seluruh badan ini mengering secara perlahan-lahan.

“Nael, kau nggak takut kalau nanti terlibat kasus gara-gara tanah ini ternyata diperoleh dari pekerjaan kotor?” Tanya Alvie memecah keheningan dengan nada khawatir yang bisa kurasakan dengan baik.

“Nggak juga.” Jawabku sambil menghembuskan asap rokok secara perlahan-lahan. “Aku udah punya bukti yang bisa melindungiku kalau nanti harus terseret ke dalam pengadilan.” Tanganku kemudian merogoh saku celana untuk mengambil handphone yang berisi rekaman suara Deborah di dalamnya.

“Ini, coba kau dengerin, deh.” Ucapku sambil memutar rekaman suara tersebut.

*Brskkk… brskk…* “Sebentar lagi, aku bakal nikah sama Matthias Otis yang merupakan pacarku dari Jerman. Dia berencana membeli tanah di Andawana untuk membangun rumah yang akan kami tinggali bersama. Namun, karena masih harus mengurus beberapa hal penting di Jerman, Matthias memintaku untuk mengurus sertifikat kepemilikan tanahnya.” Alvie mengangguk pelan dengan wajah yang tersenyum puas setelah mendengar rekaman itu.

“Wah, untung kakakku orangnya cerdas banget, ya.” Ujarnya dengan suara yang terdengar lega, sambil memadamkan rokoknya di tanah.

“Tentu saja. Nggak akan kubiarkan jalang itu menipuku untuk yang kedua kalinya.” Aku membalas dengan nada yang terdengar sedikit congkak, sambil mencari kontak Deborah di WhatsApp untuk segera menelponnya.

Setelah menunggu selama beberapa detik, akhirnya panggilan teleponku dijawab oleh Deborah. “Halo, Nael?” Sapanya dengan suara yang terdengar jelas di speaker handphoneku.

“Tanahmu udah selesai diukur. Untuk sertifikatnya, kurang lebih akan selesai dicetak sekitar jam 2 siang nanti.” Balasku untuk mengabari masalah sertifikatnya, tanpa menyapa balik.

“Wah, begitu, ya. Tapi, masalahnya aku sibuk banget, nih, hari ini~” Ucapnya dengan nada memelas yang menggelikan itu.

“Kalau gitu, kau bisa mengambilnya besok pagi aja.” Responku singkat.

“Tapi besok pagi aku sibuk juga gara-gara ada photoshoot. Bisa nggak kalau kau yang ngebawain sertifikatnya ke kantorku nanti sekitar jam 5 sore?” Hadeh, orang ini sebenarnya kerja apa, sih, sampai sibuknya minta ampun gini? Kau nggak tahu, ya, betapa inginnya aku menyelesaikan urusan ini agar aku nggak pernah melihat wajahmu lagi?

“Oke, aku temui kau jam 5 nanti.” Aku langsung mematikan telepon tepat setelah mengucapkan kalimat persetujuan itu.

Yah, aku rela direpotkan sama makhluk neraka ini agar sertifikat tanah itu cepat sampai di tangannya. Sumpah, aku benar-benar ngerasa nggak nyaman karena harus berurusan sama Deborah selama dua hari ke belakang. Semoga setelah penyerahan sertifikatnya nanti sore, aku nggak akan pernah bertemu dengan orang ini lagi.

...***...

Sesuai yang telah dijanjikan, aku pergi menemui Deborah di kantornya yang berada di pusat kota Andawana. Kawasan yang akan aku kunjungi sekarang ini merupakan tempat berkumpulnya orang-orang kaya dari seluruh penjuru negeri. Kalian pasti tahu PIK di Jakarta, kan? Nah, kurang lebih seperti itu lah gambaran pusat kota Andawana ini.

Meskipun jam sudah menunjukkan pukul 16.51, namun aku tetap mengendarai mobil dengan santai sebab kondisi jalanannya juga tidak terlalu ramai. Selain itu, orang yang akan kutemui sekarang ini adalah seorang Indah Deborah, yang pernah menyebabkan berbagai masalah di masa mudaku. Jadi, untuk apa ngebut-ngebut hanya demi bertemu dengan iblis itu?

Setelah mengambil belokan ke kiri pada perempatan jalan, aku langsung disuguhkan oleh pemandangan gedung-gedung dengan gaya arsitektur yang unik. Billboard digital yang menampilkan iklan yang berwarna-warni juga menambah kesan megah dan luxury dari pusat kota ini. Di sisi kanan dan kiri, terlihat banyak sekali orang-orang kaya yang berjalan kaki di trotoar. Walaupun sudah sering datang ke sini, tetap saja aku dibuat terkesima oleh lingkungan yang sangat elit ini.

Aku kemudian memarkirkan mobil pada sebuah bangunan unik yang memiliki bentuk bola. Bangunan ini adalah kantor utama dari sebuah manajemen terkenal yang telah menaungi banyak sekali artis populer di Indonesia. Tanpa menunggu lebih lama lagi, aku langsung menelpon Deborah sambil duduk di atas kap mobilku.

“Halo, Nael. Kau udah sampai di depan?” Di luar dugaan, Deborah ternyata langsung mengangkat panggilanku hanya dalam beberapa detik saja.

“Iya, aku udah di parkiran depan. Cepat keluarlah.” Balasku dengan nada datar.

“Oke, ditunggu, ya.” Sembari menunggu kedatangan Deborah, aku memutuskan untuk membakar sebatang rokok sambil menikmati pemandangan kota yang megah.

Oh iya, aku punya sedikit fakta unik yang sebenarnya nggak terlalu penting juga buat kalian. Dulunya, Felicia pernah tinggal di sebuah apartemen di sekitar sini waktu masih bekerja sebagai seorang penasehat hukum untuk perusahaan global. Tapi, semenjak menikah denganku, dia memutuskan untuk mengundurkan diri dan tinggal bersamaku di rumah dua lantai itu. Alasannya adalah karena dia malas untuk bekerja lagi sebab sudah ada seorang suami yang mampu memenuhi segala kebutuhan hidupnya.

Setelah menunggu sampai rokokku habis, Indah Deborah akhirnya keluar juga dari kantornya. Dari kejauhan, aku bisa melihatnya mengenakan setelan jas dan juga rok berwarna putih. Kakinya juga tampak melangkah dengan cepat, seolah dia tidak mampu meninggalkan pekerjaan apapun yang ada di dalam gedung berbentuk bola itu.

“Maaf, ya, udah bikin nunggu~” Ucapnya dengan nada centil yang menggelikan, sambil menghentikan langkahnya tepat di hadapanku.

“Nggak masalah. Coba kau periksa dulu sertifikat tanahmu ini.” Balasku singkat, sambil memberikan stopmap plastik yang dari tadi kuletakkan tepat di sampingku.

Deborah perlahan-lahan membuka stopmap plastik itu, lalu mengeluarkan sertifikat tanah yang ada di dalamnya. Matanya terlihat menyapu setiap kata yang tertulis di sana, seolah ingin memastikan bahwa tidak ada kesalahan yang terjadi pada dokumen tersebut.

“Oke, semuanya sudah beres! Makasih, ya Nael~” Ucapnya dengan senyuman ceria yang terlihat sengaja dibuat-buat.

“Bukannya aku udah bilang buat berhenti ngomong kayak gitu, ya?” Gerutuku dengan nada rendah yang tidak bersahabat.

“Ahahaha, iya deh, maaf.” Deborah kemudian merogoh tasnya yang terlihat begitu mewah, seolah ingin mengambil sesuatu.

“Ini bayaranmu. Coba diperiksa dulu jumlahnya.” Ujarnya kepadaku, sembari menyerahkan sebuah amplop putih yang tampak begitu tebal.

Aku kemudian mengambil amplop tersebut, lalu mengeluarkan tumpukan uang yang ada di dalamnya. Dengan gerakan cepat namun penuh kehati-hatian, aku menghitung setiap lembar uang yang menjadi bayaranku. Setelah mengetahui bahwa semuanya berjumlah genap, aku memasukkannya lagi ke dalam amplop, lalu menyimpannya dengan baik di saku dalam jaketku.

“Semuanya sudah genap.” Ucapku dengan singkat.

“Oke, senang berbisnis denganmu!”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!