NovelToon NovelToon
(Bukan) Pengantin Idaman

(Bukan) Pengantin Idaman

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Berbaikan / Pengantin Pengganti / Cinta Paksa / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:4.7k
Nilai: 5
Nama Author: Edelweis Namira

Pernikahan antara Adimas Muhammad Ibrahim dan Shaffiya Jasmine terjalin bukan karena cinta, melainkan karena sebuah perjodohan yang terpaksa. Adimas, yang membenci Jasmine karena masa lalu mereka yang buruk, merasa terperangkap dalam ikatan ini demi keluarganya. Jasmine, di sisi lain, berusaha keras menahan perasaan terluka demi baktinya kepada sang nenek, meski ia tahu pernikahan ini tidak lebih dari sekadar formalitas.

Namun Adimas lupa bahwa kebencian yang besar bisa juga beralih menjadi rasa cinta yang mendalam. Apakah cinta memang bisa tumbuh dari kebencian yang begitu dalam? Ataukah luka masa lalu akan selalu menghalangi jalan mereka untuk saling membahagiakan?

"Menikahimu adalah kewajiban untukku, namun mencintaimu adalah sebuah kemustahilan." -Adimas Muhammad Ibrahim-

“Silahkan membenciku sebanyak yang kamu mau. Namun kamu harus tahu sebanyak apapun kamu membenciku, sebanyak itulah nanti kamu akan mencintaiku.” – Shaffiya Jasm

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAGIAN 13

Cahaya matahari menyelinap dengan malu-malu. Namun sinar terang itu membuat mata Adimas mengerjap beberapa kali. Tangannya reflek menyentuh perutnya karena ia merasakan ada yang lain di perutnya. Bukan karena rasa nyeri atau rasa yang disebabkan oleh sakit tertentu, melainkan karena tiba-tiba rasa lapar itu datang.

Masih dalam posisi berbaring, Adimas mencoba membuka matanya dan melihat sekeliling. Ini bukan kamarnya. Ruangan itu terlalu didominasi dengan warna putih dan itu terlalu kontras dengan kamarnya atau pun rumahnya. Saat ia akan berusaha duduk, tiba-tiba ia meringgis karena merasakan sakit di punggung tangannya.

Dahinya mengernyit ketika melihat tangannya diinfus. Saat itulah ia menyadari bahwa ia sekarang berada di sebuah ruang rawat inap. Tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Muncullah seorang perempuan yang sangat Adimas kenali. Kenal dalam arti hanya mengenal karena sering bertemu, setidaknya dia adalah perempuan asing yang kini berstatus sebagai istrinya.

Mirisnya perempuan itu adalah perempuan yang sangat Adimas benci dan kenyataan bahwa ingatannya yang mengingat tentang cara perempuan itu merawatnya semalam membuatnya ingin marah. Terutama kepada dirinya sendiri. Ia benci karena harus menunjukkan sisi lemahnya di depan perempuan itu. Ia benci harus berutang budi pada perempuan itu.

"Mas sudah sadar?" Suara lembut itu menyapa pendengarannya.

"Hmmmh...." jawab Adimas dengan malas dengan ekspresinya yang datar.

Apakah Jasmine akan kesal? Tidak. Perempuan itu justru mengulas senyum seolah-olah respon Adimas tadi bukanlah hal yang menyakitkan.

"Makan dulu, ya. Aku tahu kamu sepertinya lapar." Masih dengan begitu hangat Jasmine membantunya untuk duduk.

Adimas pasrah saja saat Jasmine membantunya. Ia sebenarnya ingin menolak namun yang benar saja, tubuhnya masih sangat lemas. Apalagi kepalanya kembali mengingat betapa rasa gengsinya tadi pagi justru membuatnya semakin memalukan di depan Jasmine.

Kini ia sudah duduk setengah tegak. Jasmine mengatur bantalnya agar bisa dijadikan sandaran yang nyaman. Pandangan Adimas lurus ke depan. Meski begitu, ia kerap melirik Jasmine dari sudut matanya. Perempuan itu sedang menuangkan bubur ke mangkok dengan begitu hati-hati.

"Hp saya mana?" tanya Adimas tanpa melihat Jasmine.

 Ia perlu memberitahukan sekretarisnya perihal kondisinya. Pikiran Adimas memang hanya memikirkan tentang pekerjaan. Ia sungguh sadar siapa dirinya, oleh karena itu ia harus menunjukkan bahwa dirinya juga bisa diandalkan tanpa harus menjadi bayangan adiknya.

"Di rumah. Tadi subuh tidak sempat aku bawa. Ada keperluan mendesak? Perlu aku ambilkan?" tanya Jasmine yang kini sudah duduk di kursi dekat ranjang dengan semangkuk bubur di tangannya.

Adimas menggeleng. Ia memang membutuhkan ponselnya sekarang. Namun bukan berarti ia harus merepotkan Jasmine. Oh tentu saja tidak. Ia tidak akan membiarkan dirinya terus menerus terlihat lemah dan bergantung pada Jasmine. Ia tidak ingin perempuan di depannya ini besar kepala.

"Atau gini aja, aku bisa minta bantuan Fita untuk membawanya ke sini."

Raut wajah Jasmine masih secerah tadi. Adimas sedikit bingung dengan itu. Bahkan sekalipun sudah ditanggapi dengan respon yang ketus dan dingin, Jasmine masih bisa bersikap hangat padanya.

Dasar perempuan licik bermuka dua.

"Fita itu yang tadi bantu aku bawa kamu ke sini. Sama suaminya sih. Mau minta tolong keluarga kamu atau pun aku, takutnya mereka khawatir. Jadi... ya Fita dan Bang Indra adalah pilihan terbaik untuk aku mintai bantuan." Jasmine terus berbicara sambil mengipaskan bubur di mangkok.

Mengenai nama-nama yang Jasmine sebutkan tadi, Adimas sama sekali tidak mengenalnya. Ia sama sekali tidak tertarik untuk mengetahui kehidupan Jasmine.

Lalu Jasmine menyodorkan sesuap bubur kepada Adimas. Ingin menolak? Tentu saja tidak. Perutnya sedari tadi minta diisi. Untuk kali ini ia harus menekan rasa bencinya ke dalam tanah sebentar. Namun menerima suapan itu, membuat Adimas kesal dengan dirinya sendiri.

Hingga tiba-tiba suara Jasmine menyadarkannya. "Makan dulu, ya."

Tanpa menjawab apapun, Adimas pun membuka mulutnya. Saat bubur yang terlihat biasa itu masuk ke mulutnya, saat itulah Adimas teringat sesuatu. Keadaan seperti ini mengingatkannya tentang kebersamaannya bersama mamanya dulu.

Semangkok bubur menemani di kala sakit. Suapan bubur di saat lapar karena sakit itu membuat kenangan bersama mamanya hadir tanpa diminta.

Tanpa Adimas sadari, air matanya keluar dari sudut mata. Ia merindukan sosok perempuan lembut dengan senyum hangat itu. Sosok perempuan yang sudah hampir dua puluh tahun tidak bersamanya itu. Meskipun kini ia memiliki keluarga yang lengkap, namun tetap saja mereka tidak bisa menggantikan satu sosok perempuan yang sejak dulu mencintainya tanpa syarat itu.

"Kenapa? Buburnya nggak enak, ya?" tanya Jasmine khawatir. "Ini dimasak dengan resep ibuku. Ternyata nggak cocok di Mas, ya?"

Adimas menoleh. Tanpa bisa ia cegah, tiba-tiba jemari Jasmine mengusap air matanya dengan lembut.

"Maaf ya, aku tidak tahu rasanya akan seburuk itu. Tapi melihat Mas yang sampai menitikkan air mata seperti ini benar-benar membuatku merasa bersalah."

Adimas terdiam. Matanya beradu tatap dengan mata Jasmine. Saat Jasmine hendak meletakkan mangkok yang masih berisi bubur tersebut, tangan Adimas dengan cepat menahannya.

"Bantu saya menghabiskannya."

Bola mata Jasmine membulat. "Maksudnya?"

"Suapkan itu ke saya sampai habis," jawab Adimas dengan raut datar dan membuat wajah Jasmine sumringah.

Perempuan itu menyuapkan makanan itu sesendok demi sesendok kepada Adimas. Ekspresinya? Jangan ditanya. Adimas sendiri sampai heran kenapa Jasmine begitu senang berada di dekatnya. Padahal jelas selama ini Adimas memperlakukannya dengan buruk.

Keduanya tetap diam dan yang terdengar hanyalah suara sendok beradu dengan mangkok keramik di tangan Jasmine. Meski begitu, Adimas takjub dengan dirinya sendiri yang ternyata demi semangkok bubur ia bisa menekan dalam-dalam kebenciannya pada Jasmine.

...****************...

"Tidak perlu, Rin. Aku tahu kamu sedang disibukan dengan rencana launchingnya produk skincaremu. Lagipula kondisi ku juga sudah membaik."

"Tetap saja, Kak, seharusnya kamu segera mengabariku perihal sakitmu. Masa iya aku justru mendengarnya dari Rama."

Adimas terkekeh mendengar suara rajukan Rindu di seberang. Sejak ia mengetahui dari Rama bahwa dirinya sakit, Rindu terus mengomelinya dengan gaya merajuknya yang khas. Segala tentang Rindu terlalu menancap kuat di pikirannya.

"Yang penting sekarang kan kamu tahu. Lagipula mana bisa aku membebanimu yang sedang bersemangat dan bahagia itu dengan sakitku?"

Rindu mendengus. "Kamu itu tidak kalah pentingnya dengan produk baruku, Kak. Kamu itu Kakak ku. Mana bisa seorang adik mengabaikan kakaknya yang sedang sakit."

Adimas tertawa hambar. Rindu yang selama inu hanya menganggapnya kakak nyatanya membuat Adimas tersadar bahwa sampai kapanpun Rindu terlalu sulit digapai. Dekatnya mereka nyatanya hanya sebatas kakak dan adik.

"Iya. Sana istirahat. Tidak usah datang ke sini. Aku akan menemuimu begitu aku keluar dari rumah sakit."

"Kenapa? Takut istrimu marah? Apakah Jasmine memperlakukanmu dengan baik?"

Saat Rindu bertanya, pintu ruangannya terbuka. Jasmine masuk dengan seorang perempuan berhijab dan seorang lelaki berwajah oriental. Merekalah yang Jasmine kenalkan sebagai Fita dan Bang Indra. Begitulah Jasmine memanggilnya. Mereka pula yang sudah membawa ponselnya.

"Nanti ku telepon lagi, ya."

Adimas segera menutup telepon tersebut. Bukan untuk menjaga hati Jasmine, namun Adimas tidak ingin membuat Rindu terlihat buruk di mata dua orang kenalan Jasmine tersebut. Bagaimana pun nama baik Rindu lebih penting.

"Kamu dengan Bang Indra dulu ya, Mas. Aku dan Fita mau keluar sebentar."

Adimas sebenarnya ingin menolak. Ia malas berbasa-basi dengan orang baru. Namun ingin menolak langsung Adimas terlalu sungkan. Bagaimana pun bencinya ia pada Jasmine, ia harus tetap menghormati orang-orang terdekat perempuan itu.

Ia hanya membenci Jasmine, bukan orang-orang terdekat perempuan itu.

"Iya," sahut Adimas berusaha merilekskan raut wajahnya.

Setelah itu, Jasmine berusaha Fita keluar ruangan. Meninggalkan dirinya dengan lelaki berwajah ramah itu berdua. Sikap lelaki itu sama ramahnya dengan wajahnya. Berbanding terbalik dengan Adimas yang raut wajahnya terlihat dingin dan datar. Inilah yang membuatnya terlihat seperti orang marah saat tidak tersenyum.

"Selamat untuk pernikahan kalian. Maaf saya tidak bisa datang karena bertepatan dengan pekerjaan di luar."

Adimas mengangguk. "Tidak apa. Terima kasih ucapannya, Bang." jawab Adimas kaku.

Lelaki bermata sipit itu tertawa. Ia kini duduk di kursi dekat ranjang Adimas sambil mengupaskan apel. "Jangan sekaku itu. Saya rasa kita seumuran. Panggil saja Indra, tanpa embel-embel 'Bang' seperti Fita dan dua sahabatnya itu."

"Dua?" Adimas mengernyit bingung. Fita dan Jasmine, lalu siapa satu lagi?

Indra mengangguk cepat. "Iya. Fita, Jasmine dan Naina. Mereka itu tiga sekawan. Kalau mereka bertiga sudah bertemu, lebih baik kamu siapkan penyumbat telinga. Suara mereka itu terlalu cempreng dan sangat berisik."

Adimas diam ketika Indra membicarakan perilaku Jasmine bersama Fita dan Naina. Anehnya, meskipun yang dibicarakan sebenarnya negatif, Indra justru menceritakannya dengan tertawa geli. Seolah-olah itu lebih lucu dibandingkan menjengkelkan.

Indra memberikan satu potong apel pada Adimas. Tentu saja Adimas menerima itu. Namun ia sendiri masih bingung akan merespon apa ucapan Indra tadi. Ia tidak mengenal Jasmine lebih dalam, apalagi yang lainnya

"Jodoh itu adalah misteri yang semua umat manusia pasti menerka-nerka dengan siapa ia berjodoh. Setiap orang pun pasti mengharapkan jodoh yang baik yang akan menemaninya sampai dengan maut memisahkan. Yaaa bersyukur bisa berjodoh sampai surga." Mata Indra menatap Adimas dengan begitu bersahabat. Tiba-tiba ia merasakan sebuah tepukan pelan mendarat di bahunya.

"Kami titipkan Jasmine padamu. Impiannya adalah mendapatkan jodoh sehidup sesurga." Indra tertawa pelan setelah mengatakan itu. "Itu impiannya. Terdengar klise sebenarnya, namun saya sendiri merasa terharu dengan itu. Ikhtiarnya nggak main-main. Kami yang mengenalnya bahkan sebelum ia memakai jilbab begitu iri dengan perubahannya. Keistiqomahannya, cara ia memandang dan berprasangka. Sungguh itu membuat kami sendiri takjub sekaligus iri."

Adimas belum mengerti. Istilah-istilah yang disampaikan Indra terlalu sulit ia pahami. Meski begitu ia sadar bahwa Indra sedang memuji Jasmine. Pujian sebagai teman.

"Jaga Jasmine dengan baik. Saat kita menikah, itu artinya janji kita di hadapan Allah sedang diuji. Jadilah pakaian terbaik yang mampu menutupi aib dan kekurangan pasangan kita. Jadilah imam yang baik untuk Jasmine dan anak-anak kalian nanti. Semoga Allah selalu memberkahi pernikahan kalian, ya. Ini doa saya sebagai kakak untuk adik perempuannya."

Adimas terdiam. Perkataan Indra memukul telak hatinya. Ia tahu ia salah, namun ia sendiri tidak ingin membohongi hatinya sendiri yang terlalu membenci Jasmine.

Meski begitu, bayangan betapa tulusnya Jasmine merawat dirinya membuat Adimas sedikit terenyuh.

"Stop, Dim. Hilangkan bayangan itu. Jasmine itu adalah perempuan jahat. Ia yang sudah membuat Rindu seperti itu!"

Adimas tersenyum sinis. Matanya menatap wajah serius Indra dengan tatapan tajam. "Menua apalagi sehidup sesurga bersama Jasmine tidak pernah masuk ke daftar impian saya. Tidak akan pernah."

1
Lia Yulia
kasian jasmin
Jeng Ining
hemmm sudh kudugem, klo Rindu ke dapur krn panas dimas dn rama ngomongin Jasmine, kmudian mw cari masalah dn playing victim 🙄
Edelweis Namira: Tapi realitanya emg suka gitu, yg terbiasa buat masalah akan selalu dianggap tukang buat masalah sekalipun ia gak salah
total 1 replies
Jeng Ining
cahbodo kamu Dim, kalo emng kalem bakalan tau diri, ga bakal peluk² laki org apalagi di rumh si laki yg pasti jg ada bininya😮‍💨😏
Edelweis Namira: Adimas emg bodoh emang
total 1 replies
Jeng Ining
haiyyyaaahhh.. gimana nasibnya ituh bawang, gosong kek ayam tadi kah🤭👋
Jeng Ining: 🤟😂😂/Facepalm/
Edelweis Namira: suka speechless emang kalo suami modelan Adimas
total 2 replies
Lembayung Senja
knp ndak up date..crita satunya juga ndak dlanjut
Fauziah Rahma
padahal tidak
Fauziah Rahma
penasaran? kenapa bisa sebenci itu
Edelweis Namira: Pernah dispill kok di awal2.
total 1 replies
Alfatihah
nyesek
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!