Di dunia di mana Spirit Master harus membunuh Spirit Beast untuk mendapatkan Spirit Ring, Yin Lian lahir dengan kekuatan yang berbeda: Kontrak Dewa. Ia tidak perlu membunuh, melainkan menjalin ikatan dengan Spirit Beast, memungkinkan mereka berkembang bersamanya. Namun, sistem ini dianggap tabu, dan banyak pihak yang ingin melenyapkannya sebelum ia menjadi ancaman.
Saat bergabung dengan Infernal Fiends Academy, akademi kecil yang selalu diremehkan, Yin Lian bertemu rekan-rekan yang sama keras kepala dan berbakatnya. Bersama mereka, ia menantang batas dunia Spirit Master, menghadapi persaingan sengit, konspirasi dari akademi besar, serta ancaman dari kekuatan yang mengendalikan dunia di balik bayangan.
Di tengah semua itu, sebuah rahasia besar terungkap - Netherworld Spirit Realm, dimensi tersembunyi yang menyimpan kekuatan tak terbayangkan. Kunci menuju puncak bukan hanya soal kekuatan, tetapi juga keberanian untuk menghadapi kegelapan yang mengintai.
⚠️pict : pinterest ⚠️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon `AzizahNur`, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 28
Meski selama ini kasih sayang ayahnya terasa seperti bayangan yang jauh, namun momen singkat saat sebelum ia berangkat ke Akademi Tianlong—pelukan itu, tatapan itu—sudah cukup untuk mengisi ruang kosong dalam hatinya. Dan kini… semuanya kembali menghilang.
Selene muncul dari dalam rumah dan melangkah perlahan ke sisinya. Sosok spirit beast itu kini lebih tinggi dari Yin Lian, tapi tak pernah membuatnya merasa kecil. Ia duduk tenang di sebelah gadis itu, menatap lembayung di langit seperti ikut berbagi kesedihan.
Selene menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan.
“Kalau dia pergi… pasti ada alasan yang belum bisa dia ceritakan,” ucapnya lembut, suaranya dalam tapi menenangkan. “Orang dewasa memang suka begitu… menyimpan beban sendirian.”
Yin Lian tak menjawab. Ia hanya memeluk lututnya sambil tetap menggenggam surat itu di dada.
Selene menunduk, lalu meletakkan kepalanya di pangkuan Yin Lian. “Tapi kau tahu, kan? Kau masih punya janji.”
Yin Lian menoleh sedikit, mata birunya menatap spirit beast yang kini jadi satu-satunya keluarga yang ada di sisinya.
“Janji… dari Ayah,” bisik Yin Lian pelan.
Selene mengangguk pelan. “Lima tahun lagi… kau akan pergi ke Infernal Akademi. Kau harus kuat, Yin Lian. Dan menjadi kuat… kadang artinya harus merelakan.”
Ia mengangkat kepalanya sebentar, menatap mata gadis kecil itu penuh keyakinan.
“Termasuk… merelakan kesedihan.”
Yin Lian memejamkan mata. Tak ada air mata. Hanya keheningan dan janji yang mulai tertanam dalam hatinya.
Dan di sore itu, di bawah langit desa yang sepi, seorang gadis kecil mulai memahami arti kehilangan.
Dan kekuatan… yang harus dibangun di atas luka.
.....
Lima tahun telah berlalu sejak hari Yin Lian kembali ke rumah, hanya untuk menemukan keheningan dan sebuah surat perpisahan dari ayahnya. Lima tahun—waktu yang panjang bagi seorang anak berusia tujuh tahun untuk tumbuh dalam sunyi, ditemani oleh semangat, tekad… dan satu-satunya sahabatnya, Selene.
Kini, Yin Lian telah berusia dua belas tahun. Ia bukan lagi gadis kecil yang dulu sering terjatuh saat latihan pertama, atau menangis diam-diam ketika mengenang sosok ayahnya. Dia tumbuh menjadi seorang remaja muda yang tangguh, tenang, dan penuh potensi.
Rambutnya kini memanjang hingga punggung, lurus dan hitam legam, terkadang dikepang longgar atau diikat ekor kuda saat berlatih. Bola matanya berwarna biru terang, berkilau seperti danau musim dingin yang tenang namun dalam. Kulitnya putih bersih, sedikit kecokelatan di tangan karena terkena matahari selama bertahun-tahun latihan di luar ruangan.
Ia mengenakan pakaian biru tua sederhana, dipadukan dengan jaket putih panjang yang menjuntai hingga lutut, bagian kerahnya tinggi dan rapi. Di sabuknya tergantung kantung kecil berisi alat pelatihan dan beberapa ramuan dasar yang ia buat sendiri dari tanaman liar di sekitar desa. Sepatu kulitnya usang, tapi kuat—ia menjahitnya sendiri.
Di halaman belakang rumahnya, Yin Lian selalu memulai hari sebelum matahari terbit. Meditasi pagi dilakukannya di atas batu besar, diam dalam posisi teratai. Ia mengatur pernapasan dengan presisi, menyelaraskan aliran energi spiritualnya sambil membiarkan angin pagi menyapu wajahnya.
Setelah itu, ia melatih teknik pergerakan tubuh—melompat, meluncur, menghindar, memutar, dan menghantam. Gerakannya kini tak hanya cepat, tapi juga terukur. Tangannya cekatan, tubuhnya lentur dan seimbang. Latihan fisik berat pun dilakukannya: mengangkat beban batu besar, berlari mengelilingi bukit, bahkan berenang melawan arus sungai di bagian utara desa.
Setiap malam, ia mengasah kendali atas martial soul-nya—jiwa spiritual yang terhubung langsung dengan Selene. Ia mempelajari bagaimana memadatkan aura menjadi proyektil, memperkuat pertahanannya, bahkan menciptakan bidang pelindung untuk sesaat.
Dan ketika ia mencapai level 20, dua spirit ring mengelilinginya. Yang pertama, dulunya berwarna kuning, kini bersinar ungu pekat. Yang kedua, muncul seiring pertumbuhan kekuatannya, memiliki aura yang lebih dalam dan elegan.
Selene, yang dahulu terlihat seperti makhluk buas, kini menunjukkan bentuk yang lebih matang—anggun dan megah. Tubuhnya menyerupai serigala berlapis aura kabut lembut, bulunya putih perak, matanya berkilat biru muda seperti milik Yin Lian sendiri.
Mereka berdua telah menjadi tak terpisahkan. Mereka makan bersama, kadang berdebat soal rasa sup buatan Yin Lian, lalu tidur bersebelahan di dekat perapian. Selene juga terkadang menjadi tempat curhat Yin Lian yang tak pernah bicara dengan siapa pun lagi.
Di usia 12 tahun, di pagi yang tenang, Yin Lian berdiri di ambang pintu rumahnya. Ia membawa satu ransel kecil, pakaian cadangan, dan sebotol ramuan obat. Udara desa yang sejuk membelai wajahnya, sementara mata birunya menatap lurus ke jalan tanah yang membentang ke luar.
“Lima tahun… sudah cukup,” gumamnya.
Angin pagi mengibaskan ujung jaket putih Yin Lian saat ia melangkah pelan melewati ambang rumahnya. Tak ada kata perpisahan, tak ada siapa pun yang melepasnya—hanya suara dedaunan yang bergoyang pelan dan langkah kaki kecilnya di jalanan tanah yang sepi.
Ia menoleh sekali ke belakang, menatap rumah tua yang telah menemaninya lima tahun terakhir. Rumah itu mungkin sederhana, sunyi, dan kadang menyimpan kenangan menyakitkan… tapi di situlah tempat ia menempa jiwanya.
Yin Lian menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk kecil.
"Aku akan kembali… setelah segalanya selesai."
Selene menyusul dari belakang, berjalan sejajar di sisinya dalam wujud spirit transparan, hanya bisa dilihat oleh Yin Lian. Mata keduanya menatap ke depan—ke jalan panjang menuju kota, ke kehidupan yang baru, dan ke takdir yang akan segera mereka hadapi.
Langkah mereka mantap, beriringan dalam keheningan pagi, meninggalkan rumah kayu kecil itu untuk pertama kalinya dalam lima tahun.
Dan perjalanan menuju Infernal Akademi… baru saja dimulai.
“Ayah… lima tahun telah berlalu. Aku bukan anak kecil lagi. Tapi aku masih ingat janji itu… Jadi sekarang, aku akan pergi. Untuk menjadi seseorang yang hebat. Dan saat aku kembali nanti… aku akan jadi gadis pemotong kayu biasa, seperti yang Ayah inginkan.”
.....
Langit pagi menggantung cerah di atas kota Yunzhao, salah satu kota yang cukup terkenal di wilayah Timur karena menjadi pusat jalur perdagangan dan tempat berkumpulnya para praktisi muda dari berbagai penjuru negeri. Jalan utama dipenuhi pedagang kaki lima yang menjajakan barang-barang langka, pedang roh, pil-pil pemulihan, dan berbagai jimat spiritual yang bersinar redup.
Yin Lian berjalan pelan menyusuri lorong utama, matanya awas memperhatikan setiap bangunan yang menjulang dan setiap bendera akademi yang berkibar di kejauhan. Suara tawar-menawar terdengar di mana-mana. Anak-anak muda yang usianya tak jauh darinya tampak mengenakan pakaian mencolok dari akademi-akademi populer, membicarakan hasil pelatihan mereka dengan penuh semangat.
Di sela-sela keramaian itu, Yin Lian tampak seperti bayangan yang bergerak tenang. Rambut panjangnya yang hitam berkilau terkena cahaya matahari, jatuh lembut hingga pinggang. Bola matanya berwarna biru terang menyapu sekeliling kota, mencari tanda keberadaan Infernal Akademi—tempat yang dulu disebut Xu Feiyan, dan tujuan utamanya hari ini.
Berbeda dengan akademi lain yang mudah ditemukan karena memiliki gerbang besar dan penjaga berseragam, nama Infernal tak terdengar di antara bisik-bisik siswa maupun pedagang. Bahkan ketika Yin Lian bertanya kepada penjaga toko dan penjual jimat, kebanyakan hanya tersenyum kaku atau bergegas mengalihkan topik.