azalea steffani leandra seorang anak tunggal kaya raya ,ceria dan juga manja dipertemukan dengan seorang pria yang sifatnya berbanding terbalik dengannya dan ternyata pria itu adalah pengasuhnya ketika ibunya tidak ada dirumah (bodyguard)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayel_zaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TEROR
Pagi hari, Udara di kota masih sejuk, matahari baru naik. Biasanya, Gavin berhenti sebentar di depan rumah Lea, nunggu dia keluar seperti biasa. Tapi pagi ini, mobil hitamnya langsung meluncur melewati rumah itu—kosong. Tak ada Lea, dan tak ada Gavin yang menunggu.
Di sekolah.
Mobil Gavin berhenti di parkiran sekolah. Ia keluar seperti biasa—seragam rapi, wajah datar, langkah tenang. Tapi sesuatu terasa sepi.
Beberapa siswa menatapnya dari kejauhan. Ada yang saling berbisik, ada juga yang cuma menunduk. Gavin tidak peduli. Dia berjalan masuk, tas diselempangkan satu sisi.
Sesampainya dikelas, Gavin duduk di bangkunya sendiri, membuka buku catatan. Pandangannya sesekali melirik ke jendela. Tatapannya kosong, tapi matanya penuh isi. Seakan mengingat sesuatu, atau seseorang.
Bel istirahat berbunyi.
Biasanya Gavin langsung pergi ke rooftp atau diam di kelas. Tapi kali ini, entah kenapa, dia menuju kantin.
Di kantin sekolah.
Gavin duduk di sudut meja, nampan makanannya hampir tidak disentuh. Tatapannya lurus ke depan, tanpa ekspresi. Tapi dari cara dia meremas botol air mineral di tangannya, bisa ditebak bahwa pikirannya tidak di tempat.
Tak lama, satu per satu teman-teman Lea datang. Flo yang pertama duduk, disusul Laura dan Viona, lalu Vino, Zergan, dan Alvin. Mereka saling pandang, agak ragu.
"Lo sendiri, Vin? Gak bareng Lea kayak biasanya?" flo bertanya pelan.
"Dia masih di rumah sakit."
Semua langsung saling pandang, wajah mereka berubah khawatir.
"Dia kenapa sih, Gav? Kita bener-bener gak tau... kemarin cuma dibilang dia pingsan pas olahraga." viona tampak begitu khawatir mendengar jawaban dari gavin.
"Demamnya udah tinggi dari sebelum itu. Tapi dia maksain diri buat sekolah." jawabnya memberitahu semuanya.
"Astaga... dia bahkan gak cerita apa-apa ke kita." laura sama khawatirnya dengan yang lain.
"Lo yang bawa dia ke rumah sakit, kan?" tanya alvin, jika berurusan dengan lea, pasti dia akan ikut serta.
Gavin cuma mengangguk pelan. Tangannya masih diam di atas meja. Suaranya tetap datar, tapi ada sesuatu yang terasa berat di balik kalimatnya.
semua tampak khawatir, tidak seperti zergan yang tampak biasa saja.
Gavin menatap mereka sejenak. Matanya tetap dingin, tapi kali ini tidak menghindar. Ada sedikit kelegaan di wajahnya, walau tidak tersenyum.
Flo:
"Boleh jenguk nanti sore?"
Gavin:
"Boleh" jawabnya singkat.
Mereka semua mengangguk pelan. Makan siang berlanjut dalam diam. Tapi untuk pertama kalinya, Gavin tidak sendirian di meja itu. Dan meskipun dia tetap diam, keberadaan mereka sedikit mengisi ruang kosong yang ditinggalkan Lea.
Sore hari, seusai sekolah.
Langit mulai meredup. Mobil Gavin terparkir di depan gerbang sekolah. Ia berdiri bersandar di pintu mobil, tangan dimasukkan ke saku celana, menunggu. Tak lama, Flo, Laura, Viona, Vino, Zergan, dan Alvin muncul dari arah gedung sekolah, membawa tas masing-masing.
“Lo yakin gak ganggu, Gav? Kita beneran mau jenguk, tapi takut waktunya belum boleh.” tanya flo memastikan.
“Udah gue bilangin ke perawatnya tadi siang. Cuma sebentar aja.” jawab gavin
Mereka semua mengangguk, lalu naik ke kendaraan mereka masing-masing.
****
Rumah Sakit. Lantai 3, Ruang Rawat Inap.
Pintu kamar Lea perlahan diketuk. Seorang perawat membuka, lalu memberi isyarat bahwa Lea sudah sadar dan bisa dijenguk. Gavin masuk lebih dulu, diikuti keenam temannya.
Lea sedang duduk bersandar di ranjang, selimut menutupi kakinya. Wajahnya masih pucat, tapi matanya membulat kaget begitu melihat mereka.
“Flo...? Laura...? lo semua...” lea kaget melihat keberadaan teman-temannya, mereka sama sekali tidak memberitahunya bahwa mereka akan datang.
“Lea! Gila lo bikin kita semua panik!” flo langsung memeluk lea begitu juga laura dan viona.
“Lo sakit tapi diem aja, dasar bego!” viona mengumpat cewek itu yang keras kepala.
“ya..gue kan gak mau ngerepotin,lagian gak mau lo semua pada khawatir” katanya
“yaelah telat lu, kita udah pada khawatir dari kemarin.” sarkas flo
" untung ada gavin " ucap laura
Semua mata melirik ke Gavin yang berdiri di pojok ruangan, menyandarkan punggung ke dinding. Ia hanya menatap Lea tanpa banyak bicara.
Lea menatap Gavin, dan untuk pertama kalinya hari itu, matanya terlihat sedikit berair. Lea menatap satu per satu wajah teman-temannya yang masih berdiri di sekeliling tempat tidurnya. Canda ringan mereka, ucapan khawatir, bahkan kehadiran mereka saja sudah cukup buat bikin dadanya terasa hangat.
Terakhir, pandangannya jatuh ke arah Gavin, yang berdiri diam di pojok ruangan. Cowok itu gak banyak bicara, tapi keberadaannya selalu terasa. Diam-diam, dia yang paling peduli. Dia yang pertama datang, yang pertama bertindak, dan yang sekarang masih berdiri di sana meski Lea belum bilang apa-apa.
Mata Lea sedikit berair. Tapi bukan karena sedih, lebih ke rasa terharu yang gak bisa dijelasin. Selama ini, tak ada yang benar-benar peduli padanya. Bahkan ibunya sendiri pun tak pernah datang di saat dia butuh.
Tapi semenjak Gavin muncul, semuanya perlahan berubah.
Untuk pertama kalinya, Lea merasa… mungkin, dia gak benar-benar sendirian.
" oh ya, jadi lo kapan pulang kerumah?" tanya flo, semua yang berada disana melihat lea, menunggu jawabannya.
" besok malam " jawabnya.
" gue jemput ya " tawar flo, tapi ditolak oleh lea.
" gak usah, gue sama gavin aja " jawabnya tersenyum, mendengar jawaban lea, semua temannya menoleh ke gavin bahkan zergan,alvin, sama vino.
" gavinnnn... aja, curiga gue " laura menyipitkan matanya melihat gerak-gerik lea.
" apa sih lo.. mama gue kok yang nyuruh gavin " lea membuang wajahnya dari teman-temannya, sepertinya dia merasa salah tingkah.
Beberapa jam berlalu. Hari mulai gelap. Lampu-lampu di lorong rumah sakit menyala redup, suasana mulai sepi.
Satu per satu teman-teman Lea pamit pulang.
Flo melipat selimut Lea sebelum berdiri,
Laura memegang tangan Lea sebentar,
Viona tersenyum kecil sambil bilang, “Cepet sembuh ya,”
Vino dan Alvin hanya melambai, sedangkan Zergan menepuk bahu Gavin pelan sebelum keluar ruangan. gavin menoleh melihat pria itu, tidak seperti biasanya yang bersikap acuh tak acuh terhadap sekitar.
Gavin tetap tinggal, duduk diam di sisi tempat tidur Lea. Sementara itu, di luar kamar, teman-teman lain mulai berjalan menuju parkiran
Lorong rumah sakit mulai sepi.
Lampu-lampu redup, hanya suara langkah kaki terdengar sesekali di lantai ubin. Salah satu dari mereka berjalan agak tertinggal dari yang lain,
Begitu yakin tidak ada yang memperhatikan, dia melangkah ke sudut lorong yang lebih gelap dan mengambil ponsel dari saku jaketnya. Dengan cepat, dia menekan satu nomor.
Nada tunggu sebentar. Lalu tersambung.
“Besok malam… dia pulang dari rumah sakit.” orang itu memberitahu kabar kepulangan lea pada orang yang disebrang sana.
Hening sebentar, hanya suara napas dari lawan bicara di seberang sana.
“Dia gak curiga.” balasnya.
Setelah beberapa detik, panggilan diputus. Orang itu memasukkan ponsel kembali ke jaketnya, lalu berjalan tenang menyusul teman-temannya, seolah tak pernah terjadi apa-apa.
Malam hari.
Jam dinding menunjukkan pukul sebelas. Di ruang rawat yang sunyi, hanya terdengar suara detak jam dan mesin infus yang stabil.
Lea terbaring sambil menatap langit-langit, sesekali melirik ke sisi tempat tidur. Gavin duduk di kursi, punggungnya bersandar, tangan disilangkan, mata menatap kosong ke lantai, Dia belum tidur.
“lo gak pulang?” tanya lea pelan.
“Enggak.” jawabnya
“Tapi besok lo sekolah…”
“Tahu.” balasnya singkat
Lea menoleh, menatap wajah Gavin yang tetap dingin seperti biasa. Tapi dia tahu… sikap itu bukan berarti Gavin gak peduli. Justru sebaliknya.
“Aku gak apa-apa. Beneran. lo pulang aja. Istirahat.” lea tetap mencoba bujuk gavin agar pulang untuk istirahat.
“kalo gue gak mau?.”
Lea diam, dia tak bisa menentang ucapan gavin.
Gavin masih menatap lurus ke depan.
“Gue bisa sekolah kayak biasa besok. Tapi malam ini, gue di sini.”
Lea menutup matanya perlahan, tersenyum kecil.
Dalam diam, ia tahu meski Gavin tak pernah banyak bicara, sikapnya jauh lebih tulus dari siapa pun.
*******
Besoknya, sepulang sekolah.
Langit sedikit mendung, angin sore berembus pelan. Gavin masuk ke ruang rawat Lea dengan langkah tenang. Di tangannya, ada kantong plastik berisi buah potong dan dua kotak makanan dari restoran langganannya.
Lea yang sedang duduk bersandar langsung noleh bppl]]itu pintu terbuka.
“lo dateng lagi…” lea tampak begitu bersemangat
“Emang gue pernah gak dateng?” ucapnya sembari menaruh kantong plastik tersebut dimeja.
“Hehe… ya enggak sih.”
Gavin duduk di kursi biasa, nyodorin buah apel ke arah Lea.
“Makan dulu.” ucapnya, lea diam tak mengambil buah itu. gavin menyerngitkan dahi nya, isyarat bertanya.
" kupaskan kulitnya " lea tersenyum, sesekali mengedip-ngedipkan matanya, merayu agar gavin memenuhi permintaannya.
dengan senang hati gavin mengupaskan kulit apel itu, tetapi lea masih tak ingin mengambilnya.
" suapin.." sama seperti sebelumnya lea merayu gavin dengan cara yang sama, tapi untungnya gavin tetap mengikuti kemauannya lea.
Setelah hening beberapa menit, Lea tiba-tiba buka suara.
“Eh… pelajaran tadi di kelas lo, bahas apa?”
Gavin berhenti ngunyah.
“ Lo nanya pelajaran?” gavin bertanya seperti terkejut.
“Iya. Kenapa?”
" agak syok sih gue.” ledek gavin.
wajah lea berubah, bibirnya manyun kedepan.
“parah lu... tapi gue kan takut aja gitu, ntar ketinggalan banyak, aku gak ngerti apa-apa.”
“Lo emang dari awalkan gak ngerti apa-apa.” ketus gavin, cukup membuat lea terdiam. pantes gavin jarang berbicara, sekarang lea juga paham bahwa lebih baik jika gavin tak terlalu banyak bicara, perkataanya ternyata jauh lebih menyakitkan dari pada wanita.
“anjirr... kit heart gue” ucap lea mendramatis , itu cukup membuat gavin tersenyum.
“Ya udah, ya udah. Santai. Tadi matematika, bahas integral. Terus biologi bahas sistem pernapasan. Ada tugas juga, satu kelompok, mungkin pertemuan selanjutkan dikelas lo bakal bahas ini.” jelas gavin panjang lebar, lea mengangguk paham.
“Integral? Yang pake simbol ‘S’ gede itu ya?” walaupun bodoh setidaknya dia ingat sesuatu dari pelajaran yang pernah dikasih tau gavin.
“Iya. Yang waktu itu lo bilang mirip huruf meliuk di jalanan.” jelas gavin, sebelumnya dia pernah memberitahu materi ini kepada lea.
“Haha… ya maaf, itu susah sih kata gue.”
“Nanti gue ajarin. Asal lo gak ngantuk waktu gue jelasin.” tawar gavin membuat lea tampak begitu antusias.
“Serius? lo mau ngajarin gue?”
“Iya. Tapi kalo gue ajarin lo makin bodoh, ya..gue berhenti.”
“anjirr, tuh mulut bisa rem dikit gak. jahatnya kayak kang bitna.?” kedua kalinya lea merasa mengenaskan dari ucapan seseorang sama seperti kang bitna, idolanya di film judge from the hell.
“Bukan jahat, realistis.” jawabnya santai
Lea ngedumel kecil tapi senyumnya gak ilang. Hari-hari di rumah sakit memang membosankan, tapi sejak Gavin datang, semuanya terasa lebih ringan. Bahkan hal kecil kayak dibecandain aja bisa bikin dia ketawa.
Sore hari, dua hari setelah Lea dirawat.
Lea sudah berdiri di dekat ranjang dengan jaket tipis di tangan. Wajahnya terlihat lebih segar, walau tubuhnya belum sepenuhnya pulih. Di sisi lain ruangan, Gavin tengah menerima telepon, suaranya agak pelan, tapi cukup jelas terdengar oleh Lea yang masih membereskan barang-barangnya.
“…bunda udah dibandara?” dia sedikit kaget tidak tahu kalau ibunya sudah pulang.
" aku..dirumah sakit "
"..enggak bun, teman aku yang sakit."
" iya aku jemput "gavin tersenyum, dia bahagia karna bunda nya sudah kembali tapi, lea juga harus dian antar pulang kerumah.
Lea menoleh pelan, tak ingin terlihat kalau ia sedang mendengarkan. Tapi raut wajahnya berubah sedikit saat tahu mama Gavin baru pulang dari luar negeri. Hatinya agak tidak enak, ia merasa merepotkan.
Gavin selesai menelpon dan mendekat. Tapi sebelum dia sempat bicara, Lea lebih dulu angkat suara sambil tersenyum lembut.
“lo jemput bunda lo aja, gue bisa pulang sendiri kok, naik taksi.” ucapnya tak ingin merepotkan.
“Gue gak bakal ninggalin lo sendirian.”
“gue cuma mau mampir ke taman bentar. Duduk-duduk aja sebentar sebelum pulang. Lagian gue udah sehat, bukan pasien lagi.” lea tersenyum kecil, berusaha meyakinkan gavin bahwa dirinya sudah baik-baik saja dan akan baik-baik saja.
“Lagipula... mama kamu pasti udah kangen banget.”
Gavin diam beberapa detik, lalu menghela napas.
“Lo keras kepala banget, ya.”
“Dikit.” lea tersenyum mengalah.
Gavin membuka ransel kecil yang dia bawa, lalu mengeluarkan sesuatu, sebuah gelang hitam tipis, dengan liontin logam kecil berbentuk sayap. Dia mengambil tangan Lea, dan tanpa banyak bicara, memakaikannya ke pergelangan tangannya.
“… ini apa?” tanya lea kaget.
“Pakai aja." jawabnya singkat.
“Lucu. Tapi kenapa?” lea melihat gelang yang diberikan gavin.
“ga papa”
Lea tersenyum kecil. Dia tahu Gavin bukan tipe yang gampang ngungkapin sesuatu, tapi sikapnya—sekecil apapun, pasti ada maksud. Dan itu cukup buat dia.
“Terus nanti aku kabarin kamu kalo udah sampe rumah, ” ucapnya. dijawab anggukan gavin.
“Kalau lo berani lupa, gue datangin rumah lo tengah malam.”
Lea tertawa, walau matanya sedikit berkaca-kaca. Rasanya hangat… dipedulikan seperti ini.
“Jangan duduk terlalu lama di taman. Udara malam bisa dingin. Dan jangan kasih makan kucing liar, lo masih sakit.”
“Iyaaa… perawat dadakan.” ledek lea tapi dia juga merasa senang.
Gavin melangkah pergi, tapi sebelum keluar pintu, dia menoleh sebentar, ngeliat Lea yang masih berdiri sambil mandang gelang di tangannya.
Tanpa banyak kata, dia pergi.
Taman kota, menjelang malam. Langit udah mulai gelap, lampu-lampu taman mulai menyala satu per satu. Lea duduk sendirian di bangku dekat kolam kecil. Angin sore menyapu rambutnya pelan, dan suara gemericik air menenangkan pikirannya. Tangannya sesekali mengelus gelang yang tadi Gavin pasangkan.
Dia menunduk, menatap kakinya sendiri, lalu mendongak ke arah langit malam.
Tapi tanpa dia sadari, suasana taman mulai berubah.
Semua jadi lebih sepi dari sebelumnya. Suara tawa anak-anak, suara burung… lenyap. Lampu taman masih menyala, tapi terasa lebih redup. Sesekali terdengar bunyi dedaunan jatuh karena angin, dan Lea mulai sadar... tidak ada siapa-siapa lagi di sana.
“Kok… sepi banget, ya?” lea bergumam pelan.
Dia menoleh ke kiri dan kanan, mulai merasa nggak nyaman. Suara-suara kota terasa jauh.
Dan saat dia bersiap berdiri, bunyi langkah kaki terdengar. Pelan, berat, dan teratur.
“Tap... tap...”
Tapi bukan cuma langkah. Ada suara lain yang mengiringi.
“Sraak… sraak…”
Seperti sesuatu diseret di atas tanah berkerikil. Suara itu tajam, kering, dan membuat bulu kuduknya berdiri.
Lea berdiri dengan cepat, matanya mencari sumber suara. Nafasnya mulai terasa berat.
Lalu dia lihat… dari kejauhan, di jalan setapak di antara pepohonan taman, seorang pria berjalan pelan. Wajahnya tak terlihat jelas karena ia memakai topeng, Tunggu... ini pria bertopeng? apa pria yang sama, yang kemarin dia temui?.
di tangannya… ada tongkat besi panjang. Ujungnya… berlumur darah, dan diseret di sepanjang jalan setapak itu.
Lea mundur satu langkah. Jantungnya berdetak makin cepat.
Pria itu berhenti.
“…Gavin" lirihnya,dia memanggil nama cowok itu yang pertama, berharap agar pria itu benar-benar datang menyelamatkannya.
Pria itu hanya diam.
Lalu, perlahan… tersenyum dibalik topengnya.
Langkah kakinya mulai lebih cepat.
Tongkat itu masih diseret, suara logamnya melengking.
“Sraak… Sraak… Tap. Tap. Tap!”
Lea membalikkan badan, dan lari sekuat tenaga.