Aruna telah lama terbiasa sendiri. Suaminya, Bagas, adalah fotografer alam liar yang lebih sering hidup di rimba daripada di rumah. Dari hutan hujan tropis hingga pegunungan asing, Bagas terus memburu momen langka untuk dibekukan dalam gambar dan dalam proses itu, perlahan membekukan hatinya sendiri dari sang istri.
Pernikahan mereka meredup. Bukan karena pertengkaran, tapi karena kesunyian yang terlalu lama dipelihara. Aruna, yang menyibukkan diri dengan perkebunan luas dan kecintaannya pada tanaman, mulai merasa seperti perempuan asing di rumahnya sendiri. Hingga datanglah Raka peneliti tanaman muda yang penuh semangat, yang tak sengaja menumbuhkan kembali sesuatu yang sudah lama mati di dalam diri Aruna.
Semua bermula dari diskusi ringan, tawa singkat, lalu hujan deras yang memaksa mereka berteduh berdua di sebuah saung tua. Di sanalah, untuk pertama kalinya, Aruna merasakan hangatnya perhatian… dan dinginnya dosa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TDT 12
Setelah mencuci tangan, Raka berdiri dari kursinya.
“Terima kasih banyak, untuk ajakan makan siangnya, Bu Aruna. Maaf sudah merepotkan.” Ucapannya sopan, tulus, dengan senyum hangat yang sempat membuat Aruna menunduk sedikit menyembunyikan ekspresi yang tak ingin terbaca.
“Sama-sama, Mas Raka. Hati-hati ya di jalan. Nanti sore kirim kabar perkembangan terakhirnya,” kata Aruna, mengantar sampai ambang pintu.
Mereka berjabat tangan singkat. Saat tangan Raka melepaskan jemari Aruna, Bagas berdiri, menyandarkan diri di kusen dapur. Ia tidak bicara, hanya memperhatikan dari jauh. Pandangannya tajam, tapi tertutup senyum tipis yang nyaris seperti cengiran tidak sepenuhnya ramah, tidak pula sepenuhnya sinis.
Begitu suara mobil Raka menjauh, Aruna masuk ke rumah lagi.
“Peneliti yang sangat... dedikatif,” kata Bagas, menyelipkan kata itu seperti sedang menguji air yang tenang.
Aruna menoleh, membuka kulkas sambil berkata ringan, “Iya. Bagus ya? Ilmunya sangat membantu.”
Bagas diam. Ia duduk kembali, menyandarkan diri, lalu menatap istrinya yang sibuk merapikan meja makan.
“Sudah lama kamu kenal dia?”
“Baru beberapa hari ini,” jawab Aruna sambil mencuci piring. “Kenapa?”
Bagas tidak langsung menjawab. Ia hanya mengangkat bahu, lalu berkata pelan, “Nggak tahu. Tadi pas kamu narik tangannya masuk ke rumah... kayaknya akrab banget.”
Aruna berhenti sebentar. Air keran masih mengalir di tangannya. Ia menoleh perlahan, menatap suaminya.
“Kamu lupa, aku juga pernah menarik tanganmu. Tapi kamu sekarang selalu jauh.”
Bagas terdiam. Tak ada jawaban. Hanya keheningan yang menyusup di antara suara piring dan gelas yang berbenturan lembut.
Aruna mengeringkan tangannya dengan handuk kecil, gerakannya tenang namun sorot matanya menajam. Ia berbalik, menyandarkan tubuh di meja dapur, menatap suaminya yang kini duduk santai dengan satu kaki disilangkan.
“Kata-katamu tadi... seperti menyimpan kecemburuan.”
Nada suaranya tenang, tapi ada ujung tajam yang tersembunyi di balik setiap katanya.
Bagas menyeringai kecil, lalu bersandar lebih dalam ke kursi. “Wah, jangan GR dulu, Bu Peneliti.”
Ia menekankan sapaan itu dengan nada mengejek yang ringan. “Aku cuma komentarin cara kamu narik tangan orang. Nggak semua harus kamu artikan spesial.”
Aruna mengangkat alisnya. “Kalau memang nggak berarti, kenapa kamu komentari?”
Bagas tertawa pendek, lalu berdiri, melangkah mendekat sambil berkata, “Aku hanya mengamati. Itu aja. Nggak usah dibikin drama. Kamu terlalu banyak main perasaan belakangan ini.”
Aruna menatap suaminya lekat-lekat, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia ingin marah, tapi menahannya. Yang tersisa hanyalah kesadaran bahwa jarak antara mereka makin lebar bahkan ketika berdiri hanya sejengkal.
“Aku main perasaan karena kamu lupa caranya bersikap... sebagai suami,” ucap Aruna akhirnya, pelan tapi menghantam.
Bagas mendengus. “Dan kamu mulai tahu caranya merasa... dari pria lain?”
Dada Aruna sesak. Ia tidak menyangka Bagas akan mengatakan itu. Tapi ia tidak membantah, tidak juga mengiyakan. Yang dia lakukan hanyalah menatap balik suaminya hening, namun cukup menyayat.
Sampai akhirnya ia berkata, “Mungkin yang kamu lihat di luar sana cuma rimba dan binatang liar. Tapi di rumah ini, yang kamu tinggalkan... hatiku yang juga lama-lama jadi asing.”
Bagas menatapnya. Tak ada jawaban. Ia hanya berbalik, mengambil kameranya, dan berlalu begitu saja ke kamar meninggalkan Aruna dalam keheningan yang semakin tebal.
Aruna terduduk di tepi meja makan yang kini dingin. Jemarinya yang tadi sibuk kini diam di pangkuan. Ucapan Bagas tadi terus terngiang mengenainya, tentang Raka, tentang perasaannya yang tak pernah diakui.
Hatinya campur aduk. Ia tidak pernah berniat menggantikan siapa pun di hatinya. Tapi bagaimana mungkin seseorang bertahan ketika selalu merasa sendiri di tengah pernikahannya?
"Seandainya kamu tahu, Bagas..." bisiknya lirih, menahan air mata yang menggantung.
Ia menoleh ke arah pintu, tempat suaminya menghilang. Ia tahu, mungkin malam ini akan kembali sunyi. Dan dirinya kembali menjadi istri yang tak didengar, tak disentuh dengan hati, hanya tubuh.
Bagas menutup pintu kamar sedikit keras, lalu menjatuhkan tubuh ke ranjang. Kamera masih tergantung di leher, beratnya seperti beban yang tak hanya fisik.
Ia menatap langit-langit kamar. Ucapan Aruna tadi menamparnya lebih keras dari pukulan siapa pun di lapangan liar. Tapi egonya terlalu besar untuk mengaku salah, terlalu rapuh untuk membuka kelemahan.
"Sejak kapan kamu mulai melawan kata-kataku, Aruna?"
“Apakah kamu mulai suka dengan pria itu?”
Ia mendengus, mencibir dirinya sendiri. Cemburu? Mungkin. Tapi lebih dari itu, ia takut. Takut rumah ini sudah bukan rumah baginya. Takut Aruna mulai melihat dunia yang lebih hangat di mata lelaki lain.
___
Dalam perjalanan pulang, Raka menyetir dengan satu tangan di kemudi, satu lagi menopang dagu. Jalanan sore itu sepi, hanya suara mesin dan sesekali hembusan angin lewat celah kaca yang terbuka. Tapi pikirannya tidak seramai biasanya.
Ia melamun. Membiarkan benaknya berkelana ke rumah itu, ke suasana yang ia rasa... dingin. Hambar. Ada jarak tak kasat mata di antara dua insan yang seharusnya saling mencintai.
“Aruna...” ucapnya pelan, nyaris seperti desah napas yang tak disengaja.
Senyum itu. Tatapan itu. Semua seolah menyimpan kepedihan yang dibungkus rapi oleh keramahannya. Aruna seperti hidup dalam kerangka kewajiban, bukan kebahagiaan. Dan pria itu suaminya berdiri di sana seperti bayang-bayang yang tak memberi cahaya.
Raka menggenggam kemudi lebih erat, mencoba menepis pikirannya. Tapi hatinya tetap menolak diam.
“Kenapa aku jadi memikirkannya?” gumamnya pelan sambil menggeleng. Ia membenci ketika logikanya tergelincir seperti ini. Aruna adalah perempuan bersuami. Tapi mengapa hatinya justru makin terjerat?
Mobil melaju lurus, tapi pikirannya mulai berbelok ke arah yang tak seharusnya.
Begitu mobilnya masuk ke garasi kontrakan itu, Raka mematikan mesin dan bersandar sejenak, membiarkan kepalanya bersandar ke sandaran kursi. Hening. Tapi tak bertahan lama dering ponsel memecah keheningan. Rita menelponnya.
Ia menghela napas pelan, lalu menjawab.
Belum sempat ia mengucap sepatah kata pun, suara di seberang langsung menyembur penuh emosi.
"Raka! Kamu tuh ke mana aja sih? Susah banget dihubungi. Aku nelpon berkali-kali! Emang kamu sekarang udah nggak pengin ketemu aku, ya?"
Raka mengusap wajahnya, menahan letih yang makin menumpuk.
"Rita, aku kan udah bilang. Aku lagi ngerjain proyek penelitian. Lokasinya agak jauh. Sinyalnya juga nggak selalu bagus..."
"Tapi kamu bisa aja ngabarin. Sekali aja. Apa sesibuk itu sampai buat bales pesanku aja nggak bisa?"
Suara Rita terdengar kecewa, bukan sekadar marah. Raka tahu, hubungan mereka sudah renggang sejak ia menerima tugas ini. Tapi ia tak menyangka akan semelilit ini rasanya.
"Aku nggak maksud ngejauh, Rit. Aku cuma butuh fokus sekarang. Ini pekerjaan yang penting."
Nada suaranya rendah, tapi cukup tegas.
"Aku ngerti kamu kerja. Tapi kita ini apa? Aku cuma... pengin tahu kamu masih mikirin aku atau nggak," kata Rita lirih, kali ini nadanya berubah, nyaris seperti bisikan hati yang luka.
Raka terdiam beberapa detik. Ada jeda panjang.
"Aku masih mikirin kamu," ucapnya akhirnya. "Tapi sekarang pikiranku juga penuh sama hal-hal lain..."
Ia tahu kalimat itu terdengar menggantung. Tapi ia belum siap menjelaskan lebih jauh. Belum saatnya Rita tahu bahwa pikirannya akhir-akhir ini justru terlalu sering memutar senyum ke seseorang, seseorang bernama Aruna.
"Oke..." sahut Rita pelan.
"Jangan lupa makan. Dan jaga dirimu."
Klik. Sambungan terputus.
Raka menatap layar ponselnya yang kini gelap. Di balik matanya, ada rasa sesak yang sulit ia definisikan.
prosanya sip...mkin skbma novel mu thor