"Aku hamil, Fir, tapi Daniel tidak menginginkannya,"
Saat sahabatnya itu mengungkapkan alasannya yang menghindarinya bahkan telah mengisolasikan dirinya selama dua bulan belakangan ini, membuatnya terpukul. Namun respon Firhan bahkan mengejutkan Nesya. Firhan, Mahasiswa S2, tampan, mapan dan berdarah konglomerat, bersedia menikahi Nesya, seorang mahasiswi miskin dan yatim-piatu yang harus berhenti kuliah karena kehamilannya. Nesya hamil di luar nikah setelah sekelompok preman yang memperkosanya secara bergiliran di hadapan pacarnya, Daniel, saat mereka pulang dari kuliah malam.
Di tengah keputus-asaan Nesya karena masalah yang dihadapinya itu, Firhan tetap menikahinya meski gadis itu terpaksa menikah dan tidak mencintai sahabatnya itu, namun keputusan gegabah Firhan malah membawa masalah yang lebih besar. Dari mulai masalah dengan ayahnya, dengan Dian, sahabat Nesya, bahkan dengan Daniel, mantan kekasih Nesya yang menolak keras untuk mempertahankan janin gadis itu.
Apa yang terjadi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moira Ninochka Margo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DUABELAS Terungkap—Firhan
HUJAN di luar sana terdengar sangat deras, seperti hendak mengalahkan perdebatan kami dan gemuruh di hati ini. Nesya baru saja memberitahu sesuatu hal yang mengejutkanku. Menjawab pertanyaan yang menanyakan penyebab mata bengkak dan bekas deraian airmata itu di pelupuk matanya saat kemarin siang. Yeah, aku baru menanyakannya hal itu, di sore yang penuh suasana dingin dalam background suara deras hujan di luar sana yang lagi-lagi bergemuruh di langit cakrawala.
"Jadi, kamu bertemu Dian?" dia bertanya sambil memandang wajah yang menatap aku serius.
"Jangan bertanya dengan pertanyaan bodoh itu, Firhan. Aku yakin, dia pernah memberitahu tentang perasaannya itu padamu, dan kamu menyakitinya!"
"Sudah kubilang, aku tidak menyakitinya! Dian memang sudah berulang kali menyatakan perasaannya, tapi aku tidak ingin semakin menyakitinya dengan memberikan harapan palsu pada cinta tulusnya yang membuat dia terus berharap, Nesya. Aku ingin dia menemukan cinta sejatinya. Percayalah, tidak ada maksud untuk menyakiti Dian, please?" jelasku berusaha meyakinkan sembari menggenggam tangan dingin istriku ini, seraya memandangnya yang masih bingung dan membuat rasa frustasi benar-benar merasukiku pikiranku saat ini yang mulai kusut.
"Fir, jika suatu saat aku memintamu menikah—"
"Jangan berpikiran bodoh! Istriku hanya satu dan akan tetap jadi satu selamanya,"
Sungguh, aku tidak habis pikir, apa yang ada di pikiran Nesya saat ini!
"Tapi mengapa kamu lebih memilih aku yang—"
"Aku mencintaimu, sangat mencintaimu! Cinta ini tumbuh dengan sendirinya saat kamu membuat aku hidup, saat kamu juga ingin belajar mencintaiku dan memberikan separuh hati dan hidupmu. Saat kamu selalu menguatkan aku yang tidak hanya sebagai sahabatku sampai saat ini, tapi juga sahabat hidupku sampai kapanpun,” Aku mengambil napas sejenak lalu menatapnya teduh dalam mata yang telah berkaca-kaca. “Kamu tahu, aku tidak peduli kamu bagaimana dan siapa, tidak peduli sesempurna apa perempuan yang berusaha masuk dalam hidupku. Aku tidak peduli, Nesya! Bagiku, kamu lebih dari segalanya dan tidak akan bisa dibandingkan oleh siapapun! Bagaimana bisa, bagian dari hidupku tidak lebih baik dari orang lain? Tidak, Nesya! Kamu, Ibu, Isti dan Ayah, tidak ada yang lebih baik dari itu, kalian segalanya," jelasku sembari menggenggam wajah gadis itu.
Airmatanya menetes. Seolah-olah, sorotan mata Nesya hendak mengatakan terima kasih tapi juga sekaligus tatapan bersalah di sana, lalu berhambur memeluk aku begitu erat.
"Aku mengunjungi ayah kemarin pagi." Pengakuannya membuat pelukan kami terlepas, kemudian memandangnya sejenak. "Mengapa menyembunyikan semua itu, Fir? Mengapa tidak memberitahuku kalau Ayah sakit?" pandangan gadis itu penuh tanya dan serius saat cepat-cepat menambahkan.
Aku lalu bangkit berdiri, memandang keluar ke arah jendela yang telah kuhampiri. Di luar masih hujan, namun sudah tidak terlalu deras. Aku menyusupkan kedua tangan di sela-sela rambut ini.
Nesya menemui Ayah? Apa yang dia lakukan di sana?
Helaan napas beratku keluar begitu saja. Aku jadi semakin rindu lelaki paruh baya itu. Bahkan rindu keras kepala dan tegasnya.
"Saat itu, aku dan Isti bertemu—secara tidak sengaja di parkiran restoran saat aku mau pulang—setelah pertemuan terakhirku dengan Dian untuk memintanya menemanim selama aku tidak bersamamu, setidaknya. Singkatnya, Isti memintaku menemui ayah karena beliau sakit, tapi ayah masih keras dengan keputusannya."
"Apa itu yang membuatmu terlihat seperti… "
Aku mengangguk dan tahu ke mana arah pertanyaannya.
"Itu yang membuat aku sedih dan menangis. Aku sengaja tidak memberitahumu, hanya karena tidak ingin membuatmu sedih lagi, Sayang, cukup terakhir kalinya kamu mendengar amarah ayah dan ikut terseret ke dalamnya."
Pandangan Nesya tidak setuju atas gagasan itu yang membuat dia menggeleng cepat. "Tidak! Karena ini salahku! Aku yang membuatmu hancur dan memisahkan seorang ibu pada puteranya, seorang kakak pada adiknya. Aku penyebabnya, Fir! Jadi, bagaimana bisa kamu mengatakan—"
"Tidak ada yang salah! Mungkin, memang seperti ini jalannya, dan berhentilah menyalahkan dirimu sendiri," elakku bersikeras menyela dan menyanggah kalimatnya sembari menghampirinya.
Entah sampai kapan dia akan mengerti!
"Mengapa tidak memberitahu ayah sesungguhnya apa yang terjadi?" tanya Nesya memandang wajah ini dengan menuntut setelah sejenak hening.
Senyum simpul merekah di wajah ini tampak, kemudian menarik istriku itu dalam pelukan. Mengecup lembut rambut harumnya, lalu memeluk kembali begitu erat.
Oh, Tuhan, aku butuh dia! Mengapa jadi rumit begini, sih?
Lagi-lagi desahan berat terdengar, namun masih dalam pelukan ini. "Aku tidak ingin kamu terhina di depan mereka, juga tidak ingin orang lain berpikir negative tentangmu. Bagiku, kamu tetap Nesya-ku yang terhormat dan tanpa cela. Bukan karena apapun, tapi memang pribadi dalam dirimu yang seperti ini, Nesya yang terhormat dan sempurna, juga indah," pelukanku semakin erat.
Ah Tuhan, aku sangat mencintainya, tolong jaga dia dan jangan memisahkan kami.
"Oh ya, mengapa tiba-tiba meminta Dian menjagaku?" tanya Nesya yang tiba-tiba melepaskan pelukan kami setelah lagi, hening sejenak di antara kami.
Dia seperti seolah telah merangkum semua ini. Apa dia buat daftar?
Kekehannya tetiba terdengar dan membuat wajahku semakin mengernyit heran. “Jangan berpikir macam-macam, aku hanya menghapal ekspresimu itu jika sedang sok tahu tapi bingung. Well, become of topic, mengapa memintanya seperti itu? Yang kutahu, kamu tidak akan se-protektif begitu jika tidak sedang cemas. Ada apa, Firhan? Apa yang terjadi?”
Rahang tiba-tiba mengeras dan memutar mata tanpa memandang dia. Aku mendesah mengalah.
Ah, dia masih sama! Masih jeli dalam kepandaiannya. Mungkin memang seharusnya!
"Sebelum aku menelepon Dian untuk bertemu, Daniel menemuiku."
Mendengar nama terakhir itu, raut wajah Nesya berubah pucat. "Oh …. itukah alasannya dia mengejarku di Mall waktu itu?" Gumaman yang tanpa disadari gadis itu seketika keluar dari mulutnya, membuat aku terkejut.
Pandangan Nesya kosong seperti tengah melamun dan mengingat sesuatu.
Daniel menemuinya di Mall? Oh astaga, aku ingat! Nesya memang cerita saat itu.
"Dan malam itu, si penelepon misterius, dia adalah Daniel! Aku bisa mengenali suaranya, apalagi saat dia mengatakan rindu padaku." Akui Nesya dengan pandangan menerawang mengingat sesuatu.
Ingatanku seketika terbawa, saat malam itu, Nesya syok setelah mengangkat telepon dari seseorang yang tidak kuketahui.
Jadi Daniel orangnya? Dia yang membuat istriku menderita seperti itu?
Lagi-lagi rahangku mengeras dan mengatupkan mulut. Kepalan tangan kini erat dan rasanya ingin terbang menemuinya dan melampiaskan amarah ini. Tapi, tidak! Aku tidak ingin membuat Nesya sedih atas tindakan arogan yang saat ini telah benar-benar menguasaiku dan sungguh, tangan ini sangat gatal ingin memukul sesuatu.
Aku tersentak ketika tangan dingin itu menyentuh tanganku dan berusaha keras tersenyum sebaik mungkin, menunjukkan bahwa dia baik-baik saja. Tangan yang cukup bergetar dan berusaha menenangkanku dalam sentuhannya. Lagi-lagi aku menarik gadis itu dalam dekap hangat ini, memejamkan mata, berharap amarah yang masih mendera dan menguasai menjadi mereda, sembari membayangkan wajah cantik gadis yang tengah aku peluk saat ini. Mengalihkan sebisa mungkin.
Biasanya senyuman dan wajah Nesya—yang terlintas di pikiranku-lah yang selalu membuatku tenang dalam kegusaran dan kecemasan yang mengusik.
"Apa .… ayah baik-baik saja?"
Nesya mengangguk dalam dekapan. "Sudah mulai membaik."
Ah, sosok hebat itu. Aku sangat rindu padanya, terlebih candaan dan kecemasan berlebihannya yang begitu protektif.
Senyumanku begitu lepasnya merekah dalam mata terpejam, saat kenangan itu terputar ulang di pikiran.
"Aku menceritakan pada ayah sesungguhnya... "
Dia menunggu, menunggu reaksiku yang sengaja menahan untuk tetap tenang di depan istriku ini dan tak ingin membuat dia semakin cemas lagi. Lagi-lagi aku merapatkan pelukan sembari memejamkan mata dan membayangkan wajah Nesya yang tersenyum.
"Apa yang ayah katakan?" Suara yang keluar terdengar nyaris berbisik dan sekilas mengecup pucuk kepala Nesya sembari masih memeluknya.
"Kebanyakan Ayah diam, seperti menyadari sesuatu, dan .… mengenang masa-masa bersama putera tampannya."
"Oh, ya?"
Senyum merekah seketika di wajahku dalam mata masih terpejam. Informasi baru itu menjadi imun dan penyemangat—kebahagiaan di syarafku. Dia mengangguk pelan dalam dekapan.
"Aku juga memberi pianika sebagai hadiah ulangtahun ayah, atas namamu." Akuinya yang seketika membuat pelukan ini terlepas dan memandang dia dengan sorotan tak percaya.
“Benarkah?” angguknya mantap. "Iya! Bukankah Kemarin ulangtahun beliau, sesuai yang pernah kamu ceritakan, kan? Saat kita masih bersahabat dulu. Dan juga alat musik favorite ayah?" Anggukan dan senyuman ini membuat Nesya tersenyum manis. Aku lalu kembali menariknya dalam pelukan.
“Kamu masih mengingatnya, ya?” gumamku tak percaya dalam dekapan.
“Tentu saja, aku masih mengingat semua tentang kita, semua yang kamu ceritakan padaku! Ice cream, Paris, Hellyped dan... “
Pelukanku semakin erat. Informasi baru itu membuat senyuman ini tak bisa kutahan. Senyuman lebar yang begitu senangnya dalam mata memejam. Itu seperti ibarat celah yang selama ini tertutupi dalam kegelapan.
Sungguh, rasanya seperti vitamin penyemangat untukku.
"Terima kasih, Sayangku." Desahku dalam rengkuhan dan masih dalam mata terpejam yang keluar begitu saja.
"Terima kasih kembali, Suamiku sayang. Tapi, tidak ada kata terima kasih untuk ayah yang sama," senyumanku semakin melebar dalam mata terpejam.
“Terima kasih untuk semuanya, untuk ingatan itu,”
Dia terdiam, tapi bahuku seperti merasakan sebuah kecupan lembut. Tangannya kini mengusap punggungku sejenak, lalu mengeratkan kembali kedua tangannya yang semakin memelukku begitu erat.
“Aku mencintaimu, Fir.” Gumaman Nesya yang nyaris berbisik itu seketika membuatku spontan melepaskan pelukan.
"Tadi kamu bilang apa?"
Keningnya mengernyit tapi tersenyum.
"A-aku mencintaimu,"
Raut wajahku merona dengan senyum mereka. "Katakan sekali lagi?"
Nesya tergelak. "Kamu ini kenapa, sih, Sayang?"
Aku tidak bisa menahan senyumku saat melihatnya tertawa. "Katakan sekali lagi yang tadi kamu ucapkan, aku ingin make sure saja,"
"Yakin buat apa?" Dia tertawa lagi. "Kamu tidak yakin kalau aku benar-benar sudah jatuh cinta padamu dan sangat mencintaimu saat ini?" lanjutnya yang membuatku semakin tersenyum lebar mendengar informasi sekaligus fakta terbaru itu.
Akhirnya? Yaa, Tuhan!
Aku semakin tersenyum lebar sambil berhambur memeluknya yang membuatnya bingung juga dengan tingkahku.Aku mengecup pucuk kepalanya dan semakin memeluknya erat.
"Kamu sesenang itu, ya?" Kalimat konyolnya membuat aku tertawa tapi kali ini terasa sangat bahagia.
"Tentu saja aku sangat senang! Siapa coba yang tidak senang karena akhirnya setelah sekian lama, kamu membuka hati untukku dan mencintaiku tanpa terpaksa,"
Dia ikut memelukku erat yang sekilas mengecup pundakku.
"Kamu layak mendapatkan itu, Sayang. Aku sangat mencintaimu dan sangat bersyukur memilikimu," gumamnya yang membuat pelukan kami semakin erat. Aku sangat bahagia.
“Dan aku lebih. Aku sangat lebih mecintaimu," bisikku dalam senyuman.
"Jadi, jangan ada rahasia lagi?" sahutnya tetiba sembari melepaskan pelukan.
Dan sungguh, itu merusak mood-ku dan senyuman ini menjadi cemberut.
“Tidak bisakah moment romantisku tercipta lama? Aku baru saja menikmati bahagiaku dan sikap manis istriku ini, tapi malah dirusak!” gumamku bersungut dengan kesal.
“Apa?”
Gadis itu hanya terkekeh dalam raut wajah tak bersalahnya, tapi seperti mengejek. Ia lalu menghampiriku lebih dekat di hadapanku, menatap lekat dalam senyuman menggodanya, lalu mengambil kedua tanganku dan menangkupkan keduanya hingga mengacung di hadapan kami sembari menggenggam dengan kedua tangannya pula.
“Maaf?” tatap Nesya memohon dalam nada suara menggoda setelah mengecup tangan yang tengah di genggam dan ditangkupkan ini hingga senyumanku merekah.
Aku lalu mengecup keningnya, dan, "Janji!" riangku ringan yang seketika berjanji dalam diri sendiri, saat kedua tangan kelingking kami saling bertaut-satu-sama-lain, kemudian menarikku kembali dalam peluknya. Senyum lebar gadis cantik dihadapanku itu tersungging mempesona.
...* * *...