Kedamaian yang seharusnya bertahan kini mulai redup. Entitas asing yang disebut Absolute Being kini menjajah bumi dan ingin menguasai nya, manusia biasa tak punya kekuatan untuk melawan. Namun terdapat manusia yang menjadi puncak yaitu High Human. High Human adalah manusia yang diberkahi oleh kekuatan konstelasi kuno dan memakai otoritas mereka untuk melawan Absolute Being. Mampukah manusia mengembalikan kedamaian? ataukah manusia dikalahkan?. Tidak ada yang tahu jawaban nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyukasho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 13: Bertemu Kembali
Ibu kota Vixen tak pernah benar-benar tidur. Bahkan di bawah langit sore yang mulai berubah jingga, alun-alun utama tetap penuh warna, deretan pasar kecil, anak-anak berlarian, musik dari para pengamen jalanan, dan aroma daging panggang bercampur manisan dari gerobak kaki lima.
Di antara keramaian itu, Aria berdiri, mengenakan jubah panjang berwarna biru tua dengan simbol matahari keemasan di bahunya terdapat lambang Pulau Eterna. Rambut pendeknya lebih rapi, matanya lebih tajam, namun ada gurat-gurat lelah yang samar di balik sorot matanya. Tiga tahun bukan waktu yang singkat.
Pulau Eterna adalah tempat yang keras. Terisolasi dari dunia luar, pulau itu dikuasai oleh para penjaga tradisi yang sangat ketat. Siapa pun yang memasuki tanah suci itu harus menanggalkan status, masa lalu, bahkan nama, untuk menjadi satu bagian dari Penerus Cahaya. sebutan untuk mereka yang dilatih mengendalikan kekuatan langit.
Setiap hari adalah ujian. Dari bangun sebelum matahari terbit, meditasi di tebing karang, bertarung dengan tangan kosong, hingga memanah dalam badai yang dibuat secara magis. Aria berdarah-darah. Ia jatuh. Ia menangis. Namun ia tak pernah menyerah. Ia belajar mengendalikan kekuatan Apollo dengan disiplin yang luar biasa. Menerobos batasan tubuhnya. Menemukan bagian dirinya yang dulu ia kubur dalam perang. Sekarang, ia kembali. Lebih kuat. Lebih tenang. Tapi juga, lebih asing di tengah kota yang dulu ia kenal.
Tak ada tempat yang lebih kejam dari Gunung Faice. Begitu para calon rekrut militer Vixen menginjakkan kaki di kaki gunung itu, mereka tak lagi disebut warga biasa. Mereka adalah bayangan, tubuh-tubuh yang harus dibentuk atau dihancurkan.
Sho datang karena keinginannya untuk mengubah takdir. Setelah perang besar, setelah semua pertarungan, dunia menjadi sunyi baginya. Dia bertekad untuk menjadi lebih kuat dan mendapatkan pengalaman yang tak terlupakan, karena Sho tidak ingin kehilangan orang yang dia cintai lagi. Ketika tawaran pelatihan Faice datang melalui seleksi terbuka, bukan untuk bangsawan, bukan untuk kesatria berdarah biru. Dia menerimanya, dengan satu tujuan, yaitu berlatih hingga menjadi kuat, cukup kuat hingga bisa memutarbalikkan takdir.
Hari pertama di Faice, mereka digiring naik dalam barisan lusuh. Tanpa perlengkapan kecuali pakaian dingin tipis dan ransel berisi roti kering serta air. Tak ada sambutan, tak ada pengantar. Hanya teriakan instruktur dan udara dingin yang menggigit tulang.
Salju di Faice bukan sekadar dingin. Salju tersebut sudah seperti makhluk hidup yang mencoba membekukan tekad siapa pun yang menginjak tanahnya. Udara tipis, medan berbatu, badai dadakan. Tubuh Sho memar, perutnya kosong, pikirannya digempur terus-menerus. Meskipun begitu Sho tetap bertekad untuk menjalani pelatihan.
Latihan dimulai sejak subuh. Mendaki tanpa alas kaki, membawa batu sepanjang lereng, membangun pos darurat dari cabang pohon, bertarung dalam kegelapan dengan lawan yang tidak pernah ia lihat jelas. Di sanalah dia bertemu Yara Noelle.
Gadis itu memiliki rambut berwarna abu-abu dengan mata berwarna hijau bagaikan zamrud. Dia bukan siapa-siapa hanyalah gadis biasa yang menjalani pelatihan meskipun dia seorang High Human juga. Suaranya serak, pakaiannya robek di sana-sini, rambutnya selalu acak-acakan. Tapi setiap kali Sho terjatuh, Yara selalu muncul entah memberi air, memberi pundak, atau sekadar menyindir dengan nada sinis. ”Kalau kamu mati, aku tak bisa pinjam selimutmu lagi.” itulah apa yang diucapkan oleh Yara dengan nada penuh sindiran.
Mereka tidak akrab pada awalnya. Mereka berkompetisi. Tapi di gunung sekeras Faice, orang tak bisa bertahan sendiri. Saat malam terlalu dingin, mereka tidur berdekatan. Saat badai datang, mereka saling menutupi. Dan saat salah satu dari mereka terluka, yang lain bertarung menggantikan. Gunung Faice memiliki aturan tabu, dimana High Human tidak boleh menggunakan kemampuan nya sekalipun meski dalam keadaan darurat. Aturan kejam ini bertujuan untuk membangun kepribadian yang keras dan tidak bergantung kepada konstelasi.
Saat pelatihan selesai, Sho dan Yara tak kembali ke kota Vixen sebagai lulusan terbaik. Mereka tidak mendapatkan medali, tapi mereka mendapatkan hal yang lebih. Tubuh yang sanggup bertahan, jiwa yang tidak mudah patah, dan satu sama lain, serta kepribadian yang keras dan tidak sepenuhnya bergantung kepada konstelasi nya. Gunung Faice tidak mengubah Sho menjadi makhluk perkasa. Tapi gunung itu mengajarinya arti kekuatan yang sunyi yang tidak terlihat, tapi terasa.
Tiba-tiba keramaian di Vixen sedikit terpecah. Seorang pemuda melangkah keluar dari kerumunan, tinggi dan berpostur tegap, rambut cokelat nya terlihat jelas dibalik tudung kain lusuh. Di sisinya, seorang gadis muda berambut abu-abu yang dikepang berjalan santai, tertawa kecil melihat seekor kucing mencuri ikan dari pedagang. Gadis itu adalah Yara.
Aria terdiam ketika melihat Sho. Tubuhnya lebih tegap, wajahnya terlihat sedikit lebih tampan, mungkin. Namun tatapan matanya masih sama. Mata yang dulu menatapnya di bawah pohon tua, tepat sebelum mereka berpisah. Sho menghentikan langkahnya begitu melihatnya. Hening menyergap seperti kabut. Yara yang berada di sisinya masih belum menyadari, melanjutkan langkahnya sambil menatap makanan di warung dekat situ.
"Aria...?" bisik Sho dengan nada skeptis, seperti memastikan bahwa sosok di depannya bukan bayang-bayang masa lalu.
Aria mengangguk perlahan, tak bisa menyembunyikan senyum tipis yang muncul di wajahnya. "Sudah lama ya..." katanya, suaranya nyaris tenggelam dalam riuh ibu kota.
Sho berjalan mendekat, perlahan, seperti seseorang yang takut membangunkan mimpi. "Kau terlihat... berbeda, jauh lebih cantik dari sebelumnya, dan kau memanjang rambut mu?" Ucap Sho dengan nada penuh syukur.
"Kau juga terlihat berbeda, omong-omong apakah kau suka rambut ku panjang seperti ini?" Tanya Aria sembari menyentuh rambut nya sendiri yang terurai, matanya tertuju pada Sho.
Sho mengangguk singkat. "Ya, aku menyukainya" Jawab Sho dengan nada yang sedikit canggung.
Mereka tertawa kecil. Singkat, canggung, tapi hangat. Suasana sekeliling seolah memudar, meski keramaian kota tetap mengalun.
"Apakah kau lulusan terbaik dari pegunungan Faice?" Tanya Aria dengan nada meremehkan.
"Tentu saja, aku lulusan terbaik disana, bahkan aku mendapatkan ini!" Ucap Sho dengan nada bangga sembari menunjukkan emblem berbentuk lambang Vixen yang dibuat dari emas asli.
"Dan kau? apakah kau lulus dari Eterna?" tanya Sho, pandangannya menelusuri lambang matahari emas di bahu Aria.
Aria menarik napas panjang, tatapannya mengarah ke langit yang mulai berubah keemasan. "Eterna bukan tempat yang mengajarkan kelembutan. Tetapi aku bertemu banyak perempuan luar biasa. Mereka mengajarkanku bahwa kekuatan bukan hanya tentang menang. Tapi tentang bertahan, tentang mengenal siapa dirimu tanpa suara orang lain di kepalamu." Ucap Aria sembari menatap langit.
Sho menatap sosok Aria yang menatap langit. "Aku senang kita bisa bertemu kembali setelah tiga tahun berlalu." Ucap Sho dengan nada yang lega.
Sebelum Aria menjawab, suara riang memanggil Sho dari belakang. "Hei Sho! Gerobak kue madu itu buka! Kau mau kue madu?" Ucap Yara dengan nada penuh semangat.
Yara sedikit terkejut ketika ia melihat Aria. Sekejap, mata mereka bertemu. Tidak ada kata. Hanya pandangan panjang yang tak mudah diuraikan. "Hei Sho, apakah dia Aria? gadis yang selalu kau ceritakan kepadaku." Tanya Yara dengan nada penuh penasaran.
"Perkenalkan, aku Aria Pixis. Mungkin kau sudah banyak mendengar kabar tentang ku dari Sho" Jawab Aria dengan anggun.
Aria tersenyum tipis. Ia bisa menebak siapa gadis bernama Yara itu. Tidak disangka Aria merasa cemburu. Namun dia menahan rasa cemburunya untuk saat ini. Tidak setelah apa yang telah mereka lalui." Apakah kalian teman seperjuangan?" Tanya Aria kepada Sho, matanya menatap tajam kearah Sho sambil tetap tersenyum.
Sho mengangguk. "Namanya Yara Noelle, seseorang High Human juga. Kami rekan seperjuangan yang bertahan bersama di neraka bersalju." Jawab Sho dengan nada santai.
Aria hanya mengangguk. "Kau punya banyak cerita yang harus diceritakan padaku." Aria menatap tajam kearah mata Sho, seakan-akan dia meminta penjelasan lebih tentang hubungan Sho dan Yara.
Sho seketika merinding dan hanya bisa terdiam disaat Aria menatap nya dengan sangat tajam, namun Yara teralihkan lagi, kini dia pergi menjauh dari Sho dan Aria karena dia melihat kucing lucu.
Dan saat senja benar-benar turun, Aria melangkah ke sisi Sho, berjalan bersamanya menyusuri alun-alun yang kini bermandikan lampu lentera, meninggalkan Yara yang sedang asyik bermain dengan kucing liar. Di belakang mereka, ibu kota terus hidup, riuh dan penuh harapan.
Malam turun sepenuhnya di Vixen, dan lentera gantung mulai menari-nari di atas kepala, membentuk bayang-bayang hangat di sepanjang jalan. Setelah pertemuan canggung dan singkat itu, Sho mengajak Aria duduk di sebuah restoran kecil di daerah utara kota Vixen. Tempat itu tak besar, hanya beberapa meja kayu, dapur terbuka, dan aroma kaldu daging yang memenuhi udara. Mereka duduk berdua, dipisahkan oleh semangkuk sup hangat dan piring kecil berisi acar sayur.
"Aku ingat tempat ini" ucap Sho, jari-jarinya mengetuk pelan pinggiran mangkuk.
"Dulu kau pernah mentraktir ku disini setelah kita berhasil mengalahkan Absolute Being pertama kita." Ucap Sho sembari melihat-lihat kearah sekitar.
Aria tersenyum, mengangguk. "Kau terlihat bodoh pada saat itu, bahkan kau tidak tahu apa itu steak dan cake" Ucap Aria sembari menahan tawa.
Sho tertawa kecil, lalu mengangkat sendok. "Oke, aku akui itu cukup memalukan karena saat itu aku terlihat seperti bocah bodoh yang kampungan." Ucap Sho dengan nada kesal karena ditertawakan oleh Aria.
Mereka tertawa bersama. Suasana terasa nyaman, seperti hangatnya api di tengah musim dingin. Namun momen itu pecah saat pintu restoran terbuka, dan sesosok gadis dengan rambut abu-abu melongok ke dalam. Gadis itu adalah Yara.
"Sho, kau di sini! Aku mencari mu dimana mana. Eh?" ucap Yara begitu melihat Aria duduk di hadapan Sho.
Suaranya menurun, tapi senyumnya tetap cerah. "Maaf ganggu waktu kencan kalian..." Ucap Yara dengan nada lembut sembari berusaha keluar perlahan-lahan dari restoran agar tidak menggangu.
Sho berdiri setengah badan. "Aku hanya… bicara sebentar dengan Aria, ini bukan kencan!." Ucap Sho dengan nada canggung, terlihat jelas bahwa wajah Sho memerah karena malu.
Yara mengangguk pelan. "Baiklah... nikmati kencan nya namun jangan terlalu lama, makan malam akan dingin." Ucap Yara secara sengaja agar memancing kesalahpahaman.
Tatapannya beralih ke Aria. "Senang bertemu lagi, Nona Penerus Cahaya." Ucap Yara dengan nada sarkas, lalu ia pun pergi, dan pintu kembali menutup.
Aria tidak langsung bicara. Ia hanya menatap Sho. Lama. Tatapan tajam yang tak bisa dipahami sepenuhnya, antara marah, kecewa, atau sekadar ingin tahu lebih banyak.
“Kau bilang kalian rekan seperjuangan ya?" gumam Aria, nadanya pelan namun tegas, tatapan nya begitu tajam.
"Tapi caranya memanggilmu… bukan seperti rekan biasa, apa hubungan kalian yang sebenarnya?" Tanya Aria dengan nada tegas.
Sho terdiam. Ia meneguk teh di depannya, sedikit gugup. "Bisa dibilang... kami cukup dekat. Tapi hanya karena saling menyelamatkan berkali-kali. Itu tidak mudah dijelaskan." Ucap Sho dengan penuh kehati-hatian agar tidak salah ucap karena tatapan Aria sungguh tajam.
Aria menyandarkan tubuhnya ke kursi, lalu menyilangkan tangan ke dada nya. "Tentu saja tidak mudah. Apalagi aku tidak pernah tahu apa yang terjadi kepadamu selama tiga tahun terakhir... bisa saja kau menyukai wanita lain tanpa sepengetahuan ku." Ucap Aria dengan nada penuh kekesalan.
Suara denting sendok, hiruk-pikuk jalanan di luar, semuanya terasa jauh. Sho menarik napas, kemudian menatap Aria dalam-dalam. "Dan aku juga tidak tahu apa yang terjadi kepada mu selama di pulau Eterna. Bisa saja kau menyukai pria lain juga!" Ucap Sho kepada Aria, terdengar jelas bahwa Sho mengalihkan topik sedikit.
Aria mengalihkan pandangan, ke luar jendela. "Sudah tiga tahun berlalu namun kau masih saja idiot. Pulau Eterna hanya dihuni oleh wanita!" Bentak Aria dengan nada penuh emosi kepada Sho
Sho terdiam membeku dan sedikit takut karena dibentak oleh Aria. Kali ini Aria benar-benar terlihat galak. "Apakah kau masih orang yang sama?" Tanya Sho dengan nada skeptis.
Aria tidak menjawab. Tapi dari caranya memandangi Sho. Terlihat jelas bahwa Aria sedang kesal dan marah, akan tetapi terlihat juga tatapan penuh kerinduan terpancar dimata Aria.
Btw bagusss bangett, aku menunggu chapter berikutnyaa/Applaud//Applaud/
sayangg lioraa🫂🫂
peluk jauh untukmu sayanggg🫂🫂
Btw Aria cantik 08 berapa neng? /Smirk//Smirk/
Semangatt terus buat authornya yaaaa
Rasanya campur aduk kayak nasi uduk, aaaa aku ga bisa ngungkapin perasaan ku dengan kata' tapi yang pasti ini KERENNN BANGETTTTT
Oiyaa, semangat terus yaa buat authornyaa /Determined//Determined/