Syima dan Syama adalah kembar identik dengan kepribadian yang bertolak belakang. Syama feminim, sementara Syima dikenal sebagai gadis tomboy yang suka melanggar aturan dan kurang berprestasi akademik.
Hari pernikahan berubah menjadi mimpi buruk, saat Syama tiba-tiba menghilang, meninggalkan surat permintaan maaf. Resepsi mewah yang sudah dipersiapkan dan mengundang pejabat negara termasuk presiden, membuat keluarga kedua belah pihak panik. Demi menjaga nama baik, orang tua memutuskan Devanka menikahi Syima sebagai penggantinya.
Syima yang awalnya menolak akhirnya luluh melihat karena kasihan pada kedua orang tuanya. Pernikahan pun dilaksanakan, Devan dan Syima menjalani pernikahan yang sebenarnya.
Namun tiba-tiba Syama kembali dengan membawa sebuah alasan kenapa dia pergi dan kini Syama meminta Devanka kembali padanya.
Apa yang dilakukan Syima dalam mempertahankan rumah tangganya? Atau ia akan kembali mengalah pada kembarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Misstie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Amanah Ahmad
Sepanjang hari, Devanka berusaha fokus pada jadwal mengajarnya. Tapi pikirannya terus melayang pada dua gadis kembar yang memiliki wajah yang sama, tapi kepribadian yang berbeda. Mereka berdua sama-sama membuat hatinya gelisah dengan cara yang berbeda.
Ketika jam kuliah terakhir berakhir, Devanka membereskan berkas-berkasnya dengan cepat. Dia berencana menjemput Syima untuk pulang bersama. Tapi ketika sudah sampai di parkiran dan memegang kunci mobil, dia baru sadar, dia tidak punya nomor handphone Syima.
"Sial," gumamnya pelan. Selama ini mereka hanya berkomunikasi melalui email. Nomor yang tersimpan di ponselnya adalah nomor Syama, bukan Syima.
Devanka memutuskan untuk langsung ke jurusan Syima, berharap bisa bertemu gadis itu di sekitar fakultas atau setidaknya mendapat informasi tentang jadwal kuliahnya.
Gedung Fakultas Teknik lumayan ramai ketika Devanka tiba. Mahasiswa berlalu lalang, sebagian masih ada yang keluar dari ruang kelas. Devanka berjalan menuju area yang biasanya menjadi tempat berkumpul mahasiswa teknik, matanya mencari-cari sosok Syima.
"Pak Devan?"
Devanka menoleh dan melihat seorang pemuda dengan tinggi hampir menyamai dirinya. Wajahnya tampak familiar, sepertinya salah satu teman Syima. Tadi pagi sekilas dia melihat pemuda itu.
"Ya, kamu?"
"Gama, Pak," jawabnya mantap.
"Kenal dengan Syima dari sipil, semester tujuh?"
"Saya temannya, Pak." Ada senyum tipis di wajah Gama, tapi matanya menyimpan sesuatu yang sulit ditebak. "Bapak cari Syima?"
"Iya. Dia masih ada kuliah atau sudah pulang?"
Gama memandang Devanka dengan pandangan yang agak menyelidik. "Syima sudah pulang dari jam 10, Pak. Dia tidak ikut dua kelas terakhir, katanya sakit."
Devanka langsung tersentak, ada rasa khawatir yang menyelinap di hatinya. "Sakit apa?"
"Kurang jelas, Pak. Dia bilang pusing, mual. Wajahnya memang pucat. Kami sarankan ke unit kesehatan, tapi dia bersikeras pulang."
Hati Devanka langsung terasa tercubit. Dia ingat bagaimana wajah Syima tadi pagi. Matanya sembab, lelah, jelas-jelas kurang tidur. Acara pernikahan kemarin pasti sangat menguras tenaga dan mentalnya. Belum lagi situasi yang harus dia hadapi sekarang.
"Dia pulang sendiri?" tanya Devanka, nada khawatir mulai terdengar di suaranya.
"Iya, Pak. Naik ojek online. Saya sempat mau antar pulang tapi Syima bilang tidak apa-apa." Gama sempat terlihat ragu, tapi dia memberanikan diri bertanya dengan hati-hati, "Pak, boleh saya tanya sesuatu?"
Devanka mengangguk, meski merasa agak tidak nyaman dengan cara Gama menatapnya.
"Tadi pagi Syima diantarkan ke kampus sama Bapak ya?"
Devanka tidak langsung menjawab. Dia bisa menangkap nada cemburu juga kecurigaan di balik pertanyaan itu. Sebagai pria, Devanka bisa tahu seseorang tengah cemburu.
"Iya," jawab Devanka singkat. "Ada masalah?"
Gama menggeleng cepat. "Bukan apa-apa. Hanya aneh saja, biasanya Syima berangkat sendiri. Jarang mau diantar. Jadi agak kaget aja."
Ada jeda di antara mereka. Devanka bisa merasakan Gama ingin memgetahui sesuatu lebih banyak, tapi menahannya. Aura yang terbangun di antara keduanya begitu kaku dan gelap.
"Baiklah, Terima kasih infonya. Saya permisi," ujar Devanka, berbalik.
"Pak," panggil Gama ketika Devanka sudah berjalan beberapa langkah. "Kalau boleh tahu, Syima kenapa ya? Dia kelihatan aneh hari ini. Beda dari biasanya."
Devanka berhenti, menatap balik Gama. Dia bisa menangkap pemuda di depannya ini jelas memiliki perasaan khusus pada Syima. Atau jangan-jangan dia pacar Syima? Kalau benar dia pacar Syima, berarti Devanka sudah melakukan sebuah kesalahan.
"Syima sedang ada sedikit masalah keluarga," jawab Devanka hati-hati. "Tolong jaga dia ya, kalau di kampus."
Tanpa menunggu respons Gama, Devanka berjalan cepat menuju mobil. Begitu masuk mobil, dia langsung menelepon Ahmad.
"Halo, Pak?"
"Ya, Nak Devan. Ada apa?"
"Syima sudah sampai rumah, Pak? Tadi dia pulang dari kampus karena sakit."
"Iya, dia sudah di rumah. Langsung masuk kamar dan tidur. Ibunya bilang wajahnya pucat, sepertinya memang tidak enak badan," jawab Ahmad dengan nada khawatir. "Mungkin kecapekan ya, kemarin kan acara besar."
Devanka menghela napas lega. Setidaknya Syima ada di tempat yang aman.
"Syukurlah kalau sudah sampai, Pak. Saya baru pulang dari kampus. Sebentar lagi saya jemput kesana."
"Iya Nak Devan."
Setelah menutup telepon, Devanka duduk terdiam di dalam mobil. Hari pertama setelah pernikahan dan sudah banyak masalah yang harus dia hadapi. Syama yang menghilang tanpa jejak, Syima yang sakit karena tekanan, dan dirinya yang masih belum bisa menerima kenyataan bahwa hidupnya berubah drastis dalam semalam. Dan sekarang ada kerumitan lain, kemungkinan Syima memiliki kekasih.
Sesampainya di rumah mertuanya, Devanka masuk dengan wajah tenang. Dia menyalami Ahmad dan Dewi. "Assalamualaikum, Pak, Bu."
"Waalaikumsalam, Nak Devan.” Ahmad tersenyum hangat. "Syima masih tidur."
Devanka menghela napas lega, sembari duduk di kursi sebelah Ahmad. "Gak apa-apa, Pak."
"Nak Devan, ada yang mau bapak bicarakan sebentar. Bisa? Gak buru-buru kan?"
Devanka menggeleng, memusatkan perhatiannya pada Ahmad.
"Perihal Syima." Ahmad menghela napas, mengingat anak bungsunya itu. "Kamu tahu sendiri, Syima itu anaknya keras kepala, tapi sebenarnya hatinya lembut. Cuma selalu menolak dulu sebelum akhirnya menurut. Semoga kamu bisa sabar menghadapi sifat Syima kedepannya. Mulai sekarang Bapak titip Syima sepenuhnya sama kamu. Tolong jangan bosan menuntunnya, ya. Bapak sama Ibu berharap pernikahan kalian ini jadi yang pertama dan terakhir. Langgeng selamanya."
Devanka menunduk penuh hormat. “Insyaallah, Pak. Saya akan jaga Syima sebaik-baiknya."
Ahmad tersenyum lega. Untuk pertama kalinya sejak pernikahan tiba-tiba itu, ia merasa sedikit lebih tenang melihat sikap Devanka yang dewasa dan penuh tanggung jawab.
"Satu lagi..." Ahmad menjeda sejenak, rautnya berubah penuh sesal. "Bapak minta maaf mewakili Syama. Tadi siang Ibu mendapatkan video call dari Syama."
Jantung Devanka berdetak kencang, napasnya memburu, hatinya terasa sakit sekaligus lega mendengar Syama memberi kabar pada ibunya.
"Apa kata Syama, Pak." tanya Devanka berusaha menjaga suaranya tetap tenang.
"Katanya dia baik-baik saja. Dia tinggal di rumah temannya. Gak perlu khawatir, dia minta waktu untuk menenangkan diri. Dia juga minta maaf sama kamu. Ibu juga menceritakan soal pernikahanmu dengan Syima."
Devanka seketika menatap Ahmad. Bahunya naik turun, ingin tahu respon dari Syama tentang pernikahannya. Apa Syama akan terluka dan memintanya membatalkannya?
"Syama bilang dia ikhlas, kamu menikah dengan Syima. Karena dia belum siap untuk menikah, masih banyak yang ingin Syama raih." Suara Ahmad bergetar, kedua mata pria paruh baya itu berkaca-kaca.
"Maafkan Syama ya, Nak. Dan tolong terima Syima menjadi istrimu seutuhnya. Bapak mohon." Ahmad menepuk bahu Devanka yang termangu.
Devanka hanya bisa mengangguk dan memaksakan tersenyum. Dia akan membicarakan ini dengan Syima segera, pernikahan mereka bukan hanya sandiwara, tapi sah secara agama dan negara, tapi Devanka pun tidak bisa memaksa Syima karena kemungkinan Syima memiliki hubungan dengan pria lain bernama Gama.
Setelah cukup lama menunggu, Ahmad melirik jam dinding lalu menoleh pada Devanka. "Nak Devan, daripada nunggu di sini nggak jelas, kamu masuk saja ke kamar Syima. Dia itu kalau tidur bisa berjam-jam. Lagipula, kalian kan sudah suami istri."
Devanka sempat terdiam, menimbang sebentar. Tapi akhirnya dia mengangguk sopan. "Baik, Pak."
"Kamarnya yang ada tulisan 'Dont disturb'," lanjut Ahmad, takutnya Devanka salah masuk kamar.
Langkahnya pelan saat menuju kamar di ujung lorong. Ia mengetuk pintu dulu. “Syi, saya masuk ya.” Tak ada jawaban, hanya suara barang-barang bergeser di dalam. Dengan ragu, Devanka memutar gagang pintu dan mendorongnya pelan.
Begitu pintu terbuka, Pandangannya langsung terpaku. Kamar itu bagai kapal karam. Buku-buku berserakan, lemari setengah terbuka dengan pakaian terburai, meja penuh kertas dan alat tulis, sneaker nyasar di atas meja belajar, dan selimut menggumpal seperti ular malas di pojok kasur.
Devanka menahan napas, bibirnya tanpa sadar bergumam lirih, "Astaga... kamar apa ini?"
Di tengah kekacauan itu, Syima duduk di lantai, memeluk bantal, rambut awut-awutan, tatapan sayu. Baru bangun, tapi masih sempat melotot.
“Heh! Keluar! Seenaknya masuk kamar orang!” suaranya serak, nyolot.
Sebuah bantal melayang, menghantam dada Devanka.
tp Thor jgn ada yang aneh2 ya sejenis Kunti alias PELAKOR 👍👍👍👍
aku juga mau digendong pak Devan... gimana ya ra
sanya.....ga bisa bayangin...
Gatau diri jg nina
lanjutkan 💗💗💗💗🌷🌷
Apapun tar alasan syama pas kabur jgn smpe devan goyah & mau balikan ke syama
thank Thor for update ya 👍👍🌷🌷