NovelToon NovelToon
Aku Kekasih Halalmu

Aku Kekasih Halalmu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Dosen / Nikahmuda / CEO / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: RahmaYusra

Hana Hafizah menjadi perempuan paling tidak beruntung ketika ayah dan ibu memintanya untuk menikah, tetapi bukan dengan lelaki pilihannya. Ia menolak dengan tegas perjodohan itu. Namun, karena rasa sayang yang dimilikinya pada sang ayah, membuatnya menerima perjodohan ini.

•••

Gadibran Areksa Pratama. Dosen muda berumur 27 tahun yang sudah matang menikah, tetapi tidak memiliki kekasih. Hingga kedua orang tuanya berkeinginan menjodohkannya dengan anak temannya. Dan dengan alasan tidak ingin mengecewakan orang yang ia sayangi, mau tidak mau ia menerima perjodohan ini.

•••

“Saya tahu, kamu masih tidak bisa menerima pernikahan ini. Tapi saya berharap kamu bisa dengan perlahan menerima status baru kamu mulai detik ini.”

“Kamu boleh dekat dengan siapapun, asalkan kamu tahu batasanmu.”

“Saya akan memberi kamu waktu untuk menyelesaikan hubungan kamu dengan kekasih kamu itu. Setelahnya, hanya saya kekasih kamu. Kekasih halalmu.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RahmaYusra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Aku Kekasih Halalmu – Keputusan

Masuk waktu sholat maghrib, Dibran memutuskan untuk mereka pulang saja. Namun sebelum pulang, Dibran ingin sholat maghrib di mushalla yang ada di restoran ini. Hana mengangguk saja mengiyakan. Ia sedang halangan, jadi mengikuti Dibran saja.

Saat turun, ternyata restaurant cukup ramai. Membuat Hana dan Dibran cukup berdesakan. Dan tanpa diduga, Dibran menggenggam tangan Hana menuntunnya untuk turun.

Hana terdiam, karena ia kaget dengan perlakukan laki-laki didepaannya ini. restaurant sangat ramai sehingga wajar saja Dibran menggandengnya seperti ini.

“Mau tunggu disini, atau di mobil?”

“M-mobil.” Sial. Kenapa dia jadi gugup!

Tetapi sepertinya Dibran tidak menyadari kegugupannya, karena laki-laki itu langsung menuntunnya menuju mobil lalu membuka pintu.

“Tunggu sebentar. Saya Sholat dulu.”

Hana mengangguk, dan menatap punggung Dibran yang sudah kembaali ke restaurant menuju mushalla yang kebetulan ada didalam.

Lepas itu, Hana menghela lega dan memaki. “Kenapa juga kudu gugup kayak tadi. Untung itu manusia nggak denger!”

***

“Ada tempat yang mau dikunjungi?”

Saat ini mereka sedang dalam perjalanan pulang ke rumah Hana. Dibran kemudian menawarkan apakah ada tempat yang ingin Hana kunjungi.

Hana berpikir sejenak. Sebenarnya ada satu tempat yang sudah lama sekali ingin Hana datangi. Tapi karena sangat jauh dan selalu buka pada malam hari, Hana jadi malas sendiri. Ia pasti sulit mendapatkan izin.

“Ada. Tapi lumayan jauh. Sekitar 40 menit dari sini.”

“Dimana?”

Dengan ragu, Hana menunjukkan sebuah maps tempat itu padanya. Dibran hanya melihat sekali dan mengangguk, kemudian memutar kemudi sesuai dengan arahan maps yang ia lihat.

“Disana ada apa memangnya?”

Hana mengedikkan bahu. “Cuma tempat buat nongkrong sama kulineran doang, sih, ada live music juga.”

“Kenapa belum pernah ke sana?”

“Jauh. Mau ajak Nengsih juga dia pasti bakalan malas duluan.”

“Nengsih?”

“Sahabat saya.”

Dibran mengangguk. “Pacar kamu?”

“Dia cukup sibuk. Jadi saya nggak berani ajak dia jalan-jalan yang jauh.”

Dahi Gibran mengkerut. “Setau saya, nggak ada masalah mau jauh dan sesibuk apapun, kalau pasangan emang jadi prioritas kita.”

***

Alun-Alun Street/20.10 WIB

“Ini tempatnya?” Hana mengangguk sembari tersenyum. Akhirnya ia bisa ke tempat ini tanpa harus khawatir gimana dia akan pulang nanti.

“Yuk, Mas,” ajak Hana dan Dibran pun mengikuti. Meskipun keningnya agak mengkerut melihat ramainya manusia disana. Hampir semua kalangan umur ada ditempat ini. Membuatnya menjadi sedikit ragu untuk masuk. Oksigen masih aman, kan? pikirnya

Dibran mengejar Hana yang sibuk memandangi suasana Alun-Alun yang ramai. Wajahnya tersenyum dan sangat berbinar seperti anak kecil yang keinginannya akhirnya didapatkan. Secara tidak sadar, Dibran tersenyum.

Alun-alun Street berada dipinggir jalan. Berbentuk lingkaran yang ditengah-tengahnya lokasi dimana live music berada, yang dikelilingi oleh berbagai stand makanan dan permainan. Sebab alun-alun ini berada ditepi jalan, jembatan menjadi jalan penghubung pengunjung untuk bisa menikmati suasana didalam alun-alun. Ada 8 jembatan disediakan, sebagai pintu masuk dan keluar. 4 sebelah kanan untuk masuk, lalu 4 sebelah kiri untuk keluar.

Dibran pun masih mengikuti Hana, berhubung ia tidak pernah masuk ke tempat seperti ini, ia lebih baik mengikuti Hana saja.

“Cari apa?” tanya Dibran sebab Hana nampak kebingungan sambil kepalanya melihat kiri-kanan-depan-belakang.

“Tempat duduk, Mas. Tapi kayaknya udah penuh semua. Nggak papa kan, kalau kita berdiri aja?”

Mengkerut, Dibran heran kenapa perempuan ini malah mempertanyakan hal ini padanya. Bukankah seharusnya ia yang bertanya?

“Kamu sendiri? Nggak papa berdiri?”

Hana menggeleng. “Nggak papa. Lagian kayaknya kita nggak bisa lama-lama. Takut Papa sama Mama nyariin.”

Dibran semakin bingung. “Kamu nggak mau nyobain makanan disini?”

Lag-lagi Hana menggeleng. “Saya masih kenyang. Mas

masih mau makan?”

Suara ribut tiba-tiba terdengar oleh mereka dari arah belakang, namun bukan hal itu yang membuat Hana terkejut. Melainkan sebuah tarikan dipinggangnya hingga keningnya berbenturan dengan rahang Dibran yang kokoh. Keduanya tangannya menggantung diudara karena tidak siap dengan apa yang baru saja dia alami.

“Kamu nggak papa?” tanya Dibran khawatir, tapi tidak mendapatkan jawaban karena ia menoleh pada pelaku yang hampir saja akan membuat Hana tersungkur didepan orang ramai seperti ini.

Seorang laki-laki yang sepertinya seumuran Hana segera meminta maaf karena tidak sengaja melakukan hal yang hampir mencelakakan orang lain. Dengan wajah yang seperti menahan amarah, jelas laki-laki itu ketakutan, bukan hanya dia tapi rombongannya yang mejadi dalang kemarahan laki-laki matang didepan mereka. Sebab merekalah yang mendorong laki-laki ini sehingga ia menjadi oleng dan hampir menabrak orang lain.

Hana segera melepaskan diri setelah mampu menguasai rasa terkejutnya. Ia segera menoleh dan mendapati kalau orang-orang yang ribut tadi ketakutan. “Mas, aku nggak papa,” ucapnya karena merasa kasihan dengan orang-orang itu.

“Mbak, saya minta maaf, ya. Saya didorong teman-teman saya,” katanya meminta maaf lalu menyuruh teman-temannya juga meminta maaf.

Hana mengangguk dan segera menyuruh mereka untuk pergi. “Saya nggak papa. Kalian boleh pergi.”

Tanpa menunggu waktu, mereka akhirnya pergi. Sedangkan Dibran tidak mengeluarkan suara selain dengkusan napasnya.

Setelah rombongan itu pergi, Hana menatap Dibran sejenak lalu mengedarkan pandangannya. akhirnya ada satu tempat duduk yang kosong di depan stand minuman. “Duduk, yuk. Disana ada tempat kosong,” ajak Hana dan Dibran hanya mengikuti walaupun dengan perasaan yang masih kesal.

Hana memesan minuman untuk mereka berdua setelah bertanya pada laki-laki itu ingin minum apa. Lalu mengedarkan pandangannya dan sedikit tersenyum karena akhirnya berhasil kesini. Ia mengambil ponsel lalu memotret beberapa gambar dan mengunggahnya di instagram pribadinya.

Live music disana sedang berlangsung dan suara salah satu pengunjung menemani malam itu dengan sangat baik. Bebarapa pengunjung yang lain juga ikut bernyanyi saat lagu yang sedang hits dinyanyikan.

Selesai dengan unggahannya, Hana kemudian menatap Dibran yang hanya diam. Laki ini masih kesal? Pikirnya.

“Mas, Masih kesal?”

“Kenapa kamu biarin mereka gitu aja?”

“Terus harus gimana?”

“Seenggaknya kamu tegur karena bikin orang lain hampir celaka.”

Hana tergelak sebentar dan tiba-tiba minuman mereka sudah datang. 2 cappuchino dingin. “Tanpa harus saya tegur, mereka udah ketakutan duluan lihat Mas.”

Dibran mengernyit.

“Lagian saya nggak papa, Mas. Nggak jatuh juga. Kan Mas lindungin saya dari mereka tadi.”

***

Jam sembilan lewat lima belas menit, Hana sampai dirumah. Sebelum mereka turun, Hana memanggil Dibran yang akan membuka pintu.

“Apa yang kita obrolin hari ini keep dulu, ya. Besok baru kita kasih tau mereka.”

Dibran menghadap Hana sepenuhnya. “Kamu udah ada keputusan?”

“Mas sendiri? Udah yakin sama keputusan Mas.”

“Semua tergantung kamu. Kalau kamu menolak, saya akan terima.”

Seperti ada yang mengganjal. Hana merasa ada rasa tidak rela ketika mendengar ucapan Dibran yang menolak perjodohan ini.

Hana menghembuskan napas kasarnya perihal perasaan yang tiba-tiba mengganggunya saat ini.

Sedangkan Dibran, laki-laki itu serius dengan perkataannya. Ia memang menerima perjodohan ini, tetapi jika Hana menolak, ia pun tidak akan memaksa. Karena dirinya sangat mengerti dengan kegundahan yang sedang dialami oleh perempuan ini. dijodohkan dengan orang lain saat ia sendiri sudah punya kekasih.

“Baiklah. Kita lanjutkan besok saja. Kamu bebas dengan keputusan kamu,” katanya lalu segera keluar mobil dan membuka pintu Hana.

Mereka jalan beriringan menuju pintu rumah. Hana mengetik pintu sebelum masuk dan sama-sama mengucapkan salam.

Kebetulan sekali Lidia dan Evan sedang berada di ruang keluarga sedang menonton. Salam yang mereka ucapkan di sambut dengan senyuman oleh kedua orang tua Hana. Sepasang insan itu lalu menyalami Lidia dan Evan bergantian.

Keduanya duduk berdampingan di sofa sebelah Evan dan Lidia duduk.

“Maaf, ya Om, Tante, saya telat antar Hana pulang,” ucap Dibran tidak enak karena sudah malam ketika mereka pulang.

“Nggak papa. Lebih malam dari ini juga nggak papa.”

Eh? Hana menatap tidak percaya dengan apa yang baru saja didengar dari mamanya. Sementara Evan tertawa, dan Dibran yang tersenyum segan.

“Nggak papa. Om malah senang lihat kamu dan Hana bisa menghabiskan waktu.” Evan ikut menanggapi ucapan Dibran tadi.

Saat mendengar itu, jantung Hana merasa diremas sebab sang papa yang nampak begitu senang saat melihatnya bersama Dibran. Sangat jauh berbeda ketika ia bersama Galang. Papa dan mamanya tidak pernah tertawa senang seperti ini ketika Galang mengantarnya ke rumah.

I

a meremas jemarinya sambil terus menatap papanya. Papaa

Hana terpaku pada wajah Evan yang masih terus tersenyum dan Dibran melihat itu. Ditatapnya wajah Hana dari samping yang terlalu fokus pada hal didepannya. Merasa heran hal apa yang membuat Hana terdiam, Dibran mengikuti arah pandang wanita itu.

Beberapa kali Dibran memastikan matanya, dan ternyata memang Hana tengah menatap papanya yang sedang tertawa dengan bahagia. Dibran tersenyum kecil.

“Ekhem!”

Jika saja deheman Lidia tidak terdengar oleh keduanya, Mungkin saja Dibran dan Hana masih terfokus pada objek yang mereka lihat. Hana menatap Evan, lalu Dibran menatap Hana.

Keduanya nampak terkejut, dan menatap Lidia. Mendengar ucapan sang mama yang mengatakan kalau Dibran memperhatikannya sedari tadi mengkerut kan keningnya. Saat menoleh, Hana semakin heran saat sang laki-laki nampak salah tingkah dan terus menunduk. Dibran juga mengelus tengkuknya.

Belum hilang rasa heran yang ada pada dirinya, perasaan herannya semakin menjadi saat kedua orangtuanya malah tertawa tidak jelas. Kenapa sih?! pikirnya.

Sedangkan untuk Dibran …

Sial! Itulah kata tertahan yang ingin dilontarkan olehnya. Ia sangat malu sekarang. Kenapa juga ia harus memperhatikan Hana seperti itu? Lihatlah akhirnya sekarang? Ditertawai oleh orang tua Hana!

“Eum ... Kalau gitu, saya pamit dulu, Om, Tante. Sudah malam.” Akhirnya setelah merasa cukup bisa meredam rasa malunya, Dibran memilih untuk pergi dari sana. Ia pamit pulang.

Dibran lalu berpamitan dan menyalami Evan dan Lidia. Laki-laki itu menatap Hana dan mengatakan, “saya pulang dulu.” Mendengar itu, Hana mengangguk saja.

Ketika Dibran sudah melangkah meninggalkan ruangan itu, Lidia menyuruh Hana untuk mengantarkan Dibran ke depan. Menurut, Hana menuruti perintah sang mama.

Hana mengantarkan Dibran hingga kedepan dan masuk ke mobilnya. Lalu menghidupkan mesin dan segera meninggalkan rumah Hana setelah memberikan tanda. Saat mobil Dibran tidak lagi terlihat, barulah Hana bergerak menutup pintu, dan menguncinya. Langkah kakinya beranjak untuk segera ke kamar.

“Jadi, gimana Hana? Kalian sudah mendapatkan keputusan? Kalian menerima perjodohan ini?”

Langkahnya yang baru menginjak tangga pertama terhenti saat mendengar pertanyaan dari sang mama.

Sejenak, ia menghembuskan napasnya kemudian berbalik badan. Hana tersenyum tipis. Papa dan mamanya sedang menanti jawaban dari Hana.

“Besok aja, ya, Ma, Pa. Hana mau tidur. Besok soalnya mau ke kampus, ada acara,” kata Hana memberi alasan yang sangat tidak masuk akal. Tetapi Evan dan Lidia pun hanya bisa mengangguk lalu membiarkan sang anak naik tangga dan masuk kamar.

***

Sama hal-nya dengan Hana, Dibran juga ditanyai oleh Damian dan Sovia. “Besok aja, Yah, Bun. Kami sepakat buat ngasih tahu kalian besok.”

Sesuai kesepakatan, Dibran belum memberitahu orang tuanya tentang keputusan yang mereka ambil. Dibran mengatakan jika mereka akan memberitahu besok saja. Ia pun berlalu ke kamarnya.

Setelah masuk kamar, Dibran langsung bersih-bersih. Kurang lebih lima menit, Dibran menyelesaikan ritual mandinya. Hanya menggunakan sehelai handuk, Dibran keluar dan segera memakai pakaian. Setelah semuanya selesai, laki-laki tampan itu segera menghempaskan badannya ke kasur.

Ia menghela napas lega setelah seharian tidak menyentuh kasur. Kemudian badannya bergerak membenahi posisi tidur lalu memeluk guling. Menarik selimut, kemudian memejamkan mata dan mulai masuk ke alam mimpi.

***

Keesokan harinya setelah Hana pulang kampus dan Dibran yang tidak memiliki jadwal mengajar, keluarga Dibran datang kerumah Hana. Mereka akan memberitahukan keputusan yang akan mereka pilih dalam perjodohan ini.

Pagi-pagi sekali, setelah Dibran selesai shalat subuh, Hana tiba-tiba menelponnya untuk datang ke rumah. Dengan tujuan untuk memberitahu keputusan mereka.

Hana juga ingin mereka bertemu supaya lebih enak dan lebih sopan. Maka dari itu, Dibran dan kedua orang tuanya sudah duduk dan mengobrol dengan orang tua Hana.

Sedangkan Hana sendiri masih dikamar sedang memantapkan hatinya jika keputusannya kali ini memang benar. Perihal Galang, dia akan membicarakan hal itu nanti. Lagi pula cowoknya itu sedang sibuk dikafe-nya, katanya. Saat ini hanya hanya bisa mempercayai kata-kata itu. Sebab ia pun masih belum bergerak untuk memastikan apalah Galang sedang berulaah dibelakangnya atau tidak.

Hana kemudian menghembuskan napasnya dan bangkit. Ia keluar kamar lalu menuruni rangkaian anak tangga dan bergabung bersama orang tuanya dan orang tua Dibran. Hana menyalami Damian dan Sovia lalu duduk disamping Dibran.

Suasana menjadi hening tetapi tidak tegang. Damian, sovia, Evan, dan Lidia hanya tersenyum. “Gimana kabarnya, sayang?” tanya Sovia pada Hana.

Hana tersenyum dan mengangguk. “Alhamdulillah, baik Tante. Tante sama Om, gimana?”

Baik Damian dan Sovia mengangguk dengan elegan.

“Alhamdulillah, kami baik,” jawab Sovia.

“Bagaimana dengan kuliah kamu?” Giliran Damian yang bertanya.

“Baik juga, Om. Semuanya baik,” jawab Hana membuat semuanya tersenyum lega.

“Kalau perihal kalian, bagaimana?” pertanyaan yang dilontarkan Lidia mewakilkan tiga kepala yang ada di sana, Evan, Damian, dan Sovia menanti jawaban yang akan diberikan oleh anak mereka.

Sejenak Hana dan Dibran saling berpandangan, dan Dibran memberikan kode pada Hana kalau ia akan menerima apapun keputusan perempuan itu. Kemudian kembali menatap orang tuanya dan orang tua Dibran.

Seketika senyum bahagia bisa dilihat oleh Hana saat ia menganggukkan kepalanya dan mengatakan jika ia menerima perjodohan ini. Apalagi sang papa yang langsung bangkit dan Memeluknya dengan erat sembari mengucapkan, “terimakasih, sayang.”

Demi Papa

***

1
minato
Nggak sabar buat lanjut ceritanya!
Linechoco
Ngangenin banget ceritanya.
Aerilyn Bambulu
Alur ceritanya keren banget!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!