NovelToon NovelToon
Benci Jadi Cinta

Benci Jadi Cinta

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Pernikahan Kilat / Menikah dengan Musuhku
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Dewi rani

Artha anak kaya dan ketua geng motor yang dikagumi banyak wanita disekolahan elitnya. Tidak disangka karna kesalahpahaman membuatnya menikah secara tiba-tiba dengan gadis yang jauh dri tipikal idamannya. Namun semakin lama bersama Artha menemukan sisi yang sangat dikagumi nya dari wanita tersebut.

mau tau kelanjutannya....??
pantau trus episodenya✨✨

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 13

Terik panas matahari yang mulai merangkak ke atas kepala menandakan waktu memasuki tengah hari. Untuk pertama kalinya Artha mengajak Naira ke rumahnya. Gadis itu tampak canggung saat mendaratkan kaki pada lantai halaman rumah Artha.

Bukan karena Naira tidak tahu jika Artha anak orang kaya, tetapi dia tak menyangka bila rumah Artha sebesar ini. Tangannya mencengkeram tali tas selempang yang sejak tadi bertengger di bahu. Mata seakan-akan mengawasi permukaan rumah bagian depan yang sangat mencolok, membuat dirinya tampak kecil.

"Ayo, Nai!" ucap Artha sembari menarik tangan

Naira.

Langkah ragu diayunkan ketika Artha tak memberi kesempatan menolak. Entah mengapa Naira mendadak menjadi tidak percaya diri. Ya, bagaimana lagi. Dia hanya tinggal di kontrakan kecil yang disewa oleh mamanya. Dan setiap hari, Artha harus tidur di kasur lantai yang berada di ruang tamu.

Ketika dia dihadapkan pada rumah besar Artha,

sontak saja rasa malu membanjiri jiwanya. Dia tak sanggup menatap Artha. Rasa percaya dirinya runtuh seketika.

"Kita mau ngapain kemari?" tanya Naira kikuk. Pandangannya masih mengawasi, menyapu ke segala penjuru ruangan yang ternyata lebih besar dari dugaannya.

"Gue laper. Lo kan nggak sempet masak. Jadi kita makan di sini aja."

Naira mengangguk paham. Artha mengajaknya langsung menuju meja makan karena mereka akan makan siang bersama.

"Tante Siena mana?"

"Paling ke kantor. Papa selalu minta ditemeni saat makan siang. Menyebalkan sekali. Sudah tua juga."

Artha berkata sembari membalikkan piring yang terletak di atas meja makan. Naira terkekeh. Kehidupan orang tua Artha sepertinya sangat harmonis. Dia jadi merindukan papanya.

"Kok lo malah bengong? Nggak suka makanannya?" tanya Artha saat mendapati Naira hanya diam, tak mengambil apa pun. Piringnya pun masih dalam kondisi tengkurap.

"Eh, enggak, kok? Ini semua terlalu enak."

"Ya udah. Buruan makan. Katanya mau nengokin mamamu ke rumah sakit?"

"Heem." Naira pun mulai membalikkan piringnya, mengambil nasi beserta lauk dan sayurnya sekali. Matanya mendadak memanas, hingga buliran bening itu tak sanggup lagi ditahan.

"Lo kenapa, Nai?"

Naira menggeleng, menyendokkan makanan ke mulutnya. Gadis itu menahan tangis supaya tidak pecah. Melihat makanan sebanyak ini, dia teringat akan mamanya. Ah, sayang sekali sang mama masih berada di rumah sakit. Padahal apa yang Naira makan siang ini adalah makanan kesukaan mamanya. Ya, bukan dianggap kesukaan, melainkan dia pernah mendengar mamanya ingin makan gulai ikan saat gajian mendatang.

Seperti apa yang Artha katakan, Naira diantar menjenguk mamanya setelah makan siang. Artha nyatanya melakukan apa pesan kedua orang tuanya, yaitu selalu menjaga Naira di mana pun gadis itu berada. Awalnya ada rasa berat akan beban yang tengah dijalani. Namun, seiring waktu tinggal bersama Naira, beban itu berubah menjadi kebiasaan. Dia sudah terbiasa ada Naira di sampingnya. Dan tentu hal tersebut tak membuatnya mempermasalahkan keberadaan

Naira yang selalu mengekor ke mana pun diirinya pergi.

****

Naira masuk ke ruangan yang hanya ditinggali

satu orang saja. Menggunakan pakaian steril, Artha dan Naira melihat kondisi Maya yang masih belum juga sadar. Tarikan napas berat yang terdengar dari masker oksigen yang menutupi mulut dan hidung menunjukkan bahwa pasien masih dalam kondisi kritis.

"Ma, ini Naira. Mama baik-baik saja, kan?"

Naira menyentuh tangan pucat Maya. Gadis itu duduk di kursi kecil yang ada di sana, menyeretnya tepat di sisi kiri brankar.

"Kapan Mama bangun? Bukankah Mama sudah lama nggak melihat Naira? Mama nggak kangen apa adu mulut sama aku."

Wajah pucat Maya masih terlihat sama. Tak ada pergerakan dari tubuh, mata, tangan, maupun gerak bibir. Semua dalam kondisi sama. Naira yang memperhatikan tiada kemajuan kondisi mamanya hanya bisa menahan isak tangis. Dia menenggelamkan wajah pada telapak tangan

mamanya.

"Janji jangan tinggalin Naira, ya, Ma? Jangan

mau diajak Papa pergi. Naira sendiri." Bahunya bergetar. Isakan tangis mulai terdengar. Sepertinya Naira tidak sanggup lagi menyembunyikan kesedihan. Gadis yang selalu menguncir rambutnya menangis di sana, pada telapak tangan mamanya. Dia sudah terbiasa

menahan rasa sakit saat dihina maupun diganggu

teman-temannya, tetapi melihat kondisi sang mama seperti ini membuatnya tak sanggup jika harus berpura-pura tabah.

Artha menyentuh bahu Naira, sedikit melakukan gerakan meremas. Walaupun Artha seorang laki-laki, tetapi jika menyangkut seorang ibu, hati mana yang tak rapuh. Dia pun begitu menyayangi mamanya. Bahkan, setiap sang mama marah dan menangis karena ulahnya, hatinya pun turut merasakan pedih.

Artha masih berdiri di sana, menunggu di samping Naira yang terisak, berusaha menghentikan tangis. Lelaki itu hanya bisa menatap tanpa sanggup berkata. Dia pun cukup paham apa yang kini sedang dirasakan Naira. Sampai sebuah pesan masuk mengalihkan perhatiannya.

"Ta, anak-anak udah ngumpul. Lo di mana?"

Seperti rencana awal, seharusnya Artha sore ini berkumpul dengan teman-temannya. Akan tetapi, karena mengantar Naira ke rumah sakit, dia

sampai melupakan janjinya.

"Bentar lagi gue otw!" Artha mengetikkan pesan balasan dengan cepat yang hanya membutuhkan

waktu beberapa detik mendapatkan centang biru.

Smartphone dimasukkan kembali ke saku jaketnya. Agak tidak enak jika harus meninggalkan

Naira sendiri di sini. Apalagi gadis itu sedang

dalam kesedihan. Namun, apa yang Artha cemaskan tak berlangsung lama karena detik itu juga Naira mengusap air mata menggunakan punggung tangannya.

"Ta!" panggilnya dengan suara serak.

"Ya, lo nggak papa?" tanya Artha setelah mendengar panggilan Naira.

Naira menggeleng pelan.

"Bukannya lo ada janji sore ini? Kalau lo mau pergi, pergi saja! Gue mau di sini dulu. Gue mau nemenin Mama." Terlihat jelas mata Naira masih merah dan sembab. Gadis itu benar-benar dalam kerapuhan, tetapi masih memikirkan Artha.

"Tapi...."

"Gue nggak papa, kok! Lo bisa pergi sama temen-temen lo!" Bibir Naira mengembangkan senyum tipis. Begitu kontras dengan tatapan matanya.

"Kabari gue kalau lo mau balik. Gue jemput.Okey!"

"Heem." Naira menjawab sembari mengangguk.

Telapak tangan besar Artha mengusap lembut kepala Naira sebelum akhirnya mengatakan.

"Janji, kabari gue kalau lo mau balik. Jangan pulang sendiri! Bahaya!"

Naira hanya tersenyum menanggapi, menatap Artha yang sudah menjauh dan menghilang dari balik pintu. Senyum yang terbit makin lama semakin menciut. Tangan Naira menyentuh kepalanya bekas telapak tangan Artha yang baru saja mengusap di sana. Pria itu terkadang konyol, tetapi juga manis. Kehidupan Naira jadi lebih berwarna ketika Artha bersamanya.

"Mama lihat, bukan? Dia baik. Dia ... selalu jagain aku. Walaupun kami hanya menganggap hubungan ini sekedar pertemanan, tetapi aku merasa nyaman dengannya." Kembali tangannya menyentuh tangan sang mama, mengusap telapak tangan pucat itu dengan sapu tangan yang dia bawah dari rumah, membersihkan bekas air matanya yang tadi ditumpahkan di sana.

Sementara itu Artha mengendarai motor sport merah untuk menuju ke tempat pertemuan anggota geng Mahattan. Ini adalah ulang tahun kedua dibentuknya geng tersebut dengan Artha menjadi pimpinannya. Mengingat Artha sudah tak lagi bersekolah di tempat yang sama membuat mereka menyelenggarakan pesta sekaligus permainan.

"Akhirnya ketua kita dateng!" Dirga langsung berseru begitu melihat motor Artha telah

diparkirkan.

Artha mendekat ke arah teman-temannya setelah meletakkan helm pada tempatnya.

"Lama amat, Bos!"

Nizan, cowok paling soleh di antara anggota geng Mahattan baru pulang dari umroh. Walaupun begitu, tak membuatnya menjadi pribadi yang sok agamis. Dia tetap bergaul dengan teman-temannya seperti biasa.

"Eh, lo udah balik?" tanya Artha ketika sudah

mendaratkan pantatnya pada salah satu kursi.

"Baru dua harian."

"Udah jadi Aba sekarang dia. Aba Nizan," seloroh Dirga yang ditanggapi cengiran Nizan.

"Btw, anak-anak ngadain balapan. Lo mau ikut nggak, Ta? Harusnya lo ikut, dong! Enggak asik kalau ketua malah nggak ikut partisipasi."

Artha menyeruput softdrink langsung pada wadahnya sembari mendengarkan ocehan teman

temannya.

"Hadiahnya apa?" tanya Artha kemudian.

"Duit sama cewek."

"Apa?" Artha langsung melongo mendengar

jawaban Dirga.

"Canda, Bos." Dirga mengarahkan tatapannya ke depan yang diikuti oleh Artha. Pandangan Dirga ternyata mengarah pada seorang gadis berambut panjang yang kini sedang duduk bersama teman

temannya yang lain.

"Mesa?" Artha berkata lirih. Ternyata Mesa sudah berada di tempat sesuai janji.

"Dia sendiri?" tanyanya pada Dirga.

"Dia jomlo. Kesempatan buat lo!" Julian yang baru bergabung langsung menimpali.

"Sebelum diambil orang lagi."

Artha hanya diam mengamati. Tentu teman-temannya sangat tahu bagaimana dulu Artha selalu membahas Mesa, berniat menembak gadis itu. Sayangnya, Artha kalah cepat. Mesa sudah memiliki pacar saat itu sehingga Artha harus menerima kenyataan dan mundur teratur. Bukan karena Artha yang tidak mengusahakan cintanya, melainkan sudah mendapat peringatan oleh gadis itu agar tidak mengganggu hubungannya.

"Lupakan cewek. Sudah waktunya ini." Mahesa berkata sembari melihat jam yang ada di pergelangan tangan kiri.

"Lo ikut kan, Bos?" tanyanya pada Artha.

"Sip. Lo siapin sana! Gue ambil motor.” Artha berdiri setelah mengatakannya, menuju motor untuk bersiap mengikuti balapan liar. Baru beberapa langkah terayun, pandangannya bertemu oleh mata Mesa. Gadis itu tersenyum, berdiri dari

duduknya mendekat pada Artha.

"Hai!" Senyum itu tampak menawan.

Kecantikan Mesa memang memesona. Bahkan

saat usianya semakin dewasa, gadis itu tampak

semakin menarik.

"Hai, sudah lama?" Artha bersikap ramah.

Rasanya kembali bernostalgia saat-saat masa lalu.

"Baru lima belas menit yang lalu. Lo sendiri?" tanyanya sambil memperhatikan sekeliling Artha.

"Di mana sepupu lo?"

Menyelipkan tangan pada saku jaket, Artha menatap bingung wajah kemerahan yang sedang

bicara padanya.

"Sepupu?"

"Ya, cewek yang sama lo tadi siang."

"Oh, Naira." Seketika Alka teringat akan kejadian di salah satu toko pakaian.

"Tidak, dia ada perlu. Lo sendiri?"

"Gue juga sendiri," jawab Mesa malu-malu. Matanya kemudian menatap ke depan di mana banyak anak yang sedang berkumpul dan terdengar riuh.

"Ada balapan, ya?" Mesa bertanya seketika.

"Heem, gue mau siap-siap."

Mesa mengikuti Artha menuju parkiran motor. Entah mengapa gadis itu seakan-akan sengaja mendekati Artha kembali. Padahal saat Artha menyatakan perasaannya dulu, dia menolak mentah-mentah.

Mesa beralasan jika Artha terlalu muda. Sementara dia sedang berpacaran dengan pria yang berusia lima tahun lebih tua darinya. Tentu lebih mapan karena sudah menghasilkan uang sendiri.

Saat mereka berada di parkiran dengan Artha mulai mengenakan helm, Mesa meminta satu hal pada Artha.

"Gue pengen tahu rasanya balapan. Apa bisa gue ikut balapan?"

"Lo mau ikut? Bukannya lo nggak suka balapan?" tanya Artha dengan menaikan kaca helm full face yang menutupi wajah.

Mesa terkekeh. Menyelipkan anak-anak rambut ke belakang telinga, dia berkata,

"Itu dulu. Gue nggak berani mencoba banyak hal. Tapi sekarang, gue pengen mencoba semuanya. Gue pengen ikut lo."

Awalnya Artha tak terlalu menanggapi. Namun, ketika Mesa tak kunjung beranjak dari depan motornya, dia mulai luluh.

"Naiklah! Gue ngasih kesempatan lo ikut balapan."

"Dengan senang hati." Mesa tersenyum senang. Tanpa banyak bertanya lagi, dia menaiki motor Artha dan langsung memeluk punggung lelaki itu. Mesin motor mulai dinyalakan, dan dalam

hitungan detik Artha melajukan motor itu ke arena.

Beberapa motor lain sudah berada di lintasan

sebelum mereka memulai balapan.

Julian mendekati Artha, mengangsurkan helm

untuk dikenakan Mesa. Dia mengangkat ibu jari

Tinggi-tinggi ke arah Artha setelah melihat lelaki itu berhasil mengajak Mesa menaiki motornya. Julian menganggap jika Artha lah yang bersusah payah membujuk Anggita agar mau diajak balapan.

Padahal sebenarnya Artha tak melakukan apapun. Seorang gadis berpakain minim mengibarkan berdera, mengayunkan di depan semua peserta sebagai penanda jika lomba dimulai. Suara knalpot digeber terdengar bersahut-sahutan. Asap pun bergelung membumbung di udara menambah pekatnya malam itu. Mesa memeluk erat Artha,

dan motor semua peserta mulai melaju gesit.

Teriakan penonton bersahut-sahutan, terdengar riuh dan sangat seru. Beberapa ada yang sengaja mengabadikan, merekam menggunakan kamera ponsel. Balapan yang sudah beberapa bulan tak pernah lagi diselenggarakan membuat antusias penikmat acara ini membludak. Padahal mereka hanya tahu dari mulut ke mulut tanpa ada undangan khusus. Apalagi pesertanya bukan dari kalangan luar, melainkan hanya tim inti dan beberapa anggota baru. Hal itu tak menyurutkan penonton yang entah dari mana karena mereka tiba-tiba saja datang sendiri.

Balapan tidak terlalu lama. Hanya sekitar lima belas menit dengan rute gang-gang dan jalanan yang dianggap tidak terlalu ramai. Mereka baru tampak kembali ke sirkuit. Seperti biasa, sebagai pimpinan geng, Artha memang tidak mengecewakan. Tampak di sana motor sport merah Artha berada di posisi utama dengan Mesa berdiri meletakkan tangan di atas bahu pria itu. Cukup beberapa detik kemudian, motor Artha dan disusul oleh motor-motor lain berhasil melewati garis finish.

1
Indriani Kartini
lanjut thor
karina
up lagi
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!