Prita dihantui mimpi-mimpi samar tentang sosok misterius dan sosok asing bernama Tana' Bulan. Di tengah kesehariannya yang tenang di Loka Pralaya bersama sahabat-sahabatnya, Wulan dan Reida, serta bimbingan bijak dari Nyi Lirah, mimpi-mimpi itu terasa lebih dari sekadar bunga tidur.
Sebuah buku kuno berkulit, Bajareng Naso, menjadi kunci misteri ini. Ditulis oleh Antaboga, legenda di dalamnya menyimpan jejak masa lalu Prita yang hilang—ingatan yang terkubur akibat pengembaraannya melintasi berbagai dunia. Nyi Lirah yakin, memahami legenda Bajareng Naso adalah satu-satunya cara untuk memulihkan kepingan-kepingan memori Prita yang berserakan.
Namun, pencarian kebenaran ini tidaklah mudah.
Akankah Prita berhasil memecahkan misteri mimpinya dan memulihkan ingatannya yang hilang? Siapakah tamu tak diundang itu, dan apa hubungannya dengan rahasia yang dijaga oleh Luh Gandaru?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Margiyono, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langkah Awal
Tidak semua hal yang diketahui harus diceritakan, begitulah yang diyakini oleh Nyi Lirah, walaupun firasat dan pandangan mata batinnya jernih menembus tabir rahasia yang tersembunyi, namun bukanlah sebuah kebijaksanaan jika apa saja yang diketahuinya kemudian diceritakannya kepada orang lain. Ada hikmah di balik setiap peristiwa, dan takdir pasti akan melukiskan ceritanya sendiri, begitulah prinsip yang dipegangnya, sehingga walaupun sebenarnya ia tahu hal-hal yang tak mampu dicerna oleh orang lain, dengan sikap bersahajanya ia tetap menunjukkan sisi lemahnya sebagai orang biasa, bersikap seperti orang yang tidak mengetahui banyak hal. Ia tidak ingin mendahului takdir.
Kampung Londata terdiri dari tiga marga utama, yaitu Marga Bei, Marga Luh dan Marga Nyi. Marga Bei dan Marga Luh adalah dua marga besar yang mendominasi wilayah Kampung Londata, sedangkan marga Nyi merupakan minoritas di sana. Nyi Lirah sendiri berasal dari marga Nyi, oleh karena itu, walaupun posisinya adalah sebagai tetua klan, namun ada pertentangan yang besar yang terjadi di dalamnya, terutama berasal dari marga Bei dan marga Luh. Kondisi ini sudah berlangsung sejak lama, semenjak dirinya dipilih sebagai tetua klan, ada peristiwa tragis yang melatar belakanginya.
Roda perekonomian klan Lontara dikuasai sepenuhnya oleh marga Luh, pusat pembuatan Lesung Orembai dan produksi lentera dari daun meditrana adalah dua pilar utama penopang perekonomian kampung Londata. Hasil produksinya dijual sampai ke negeri lain di luar kampung Londata. Dan dua elemen penting ini dijalankan oleh keluarga besar Luh Gandaru yang berasal dari marga Luh.
Sedangkan untuk bidang militer dikuasai oleh marga Bei, segala jenis persenjataan dan perlengkapan perang dihasilkan dari pusat-pusat produksi yang dikelola oleh beberapa keluarga besar yang berasal dari marga ini. Bei Tantra dan Bei Rangga adalah salah satu tokoh penting di kampung Londata yang berasal dari sini. Mereka memiliki ketrampilan yang mumpuni dalam ilmu kemiliteran dan pembuatan senjata.
Sedangkan marga Nyi yang minoritas, kebanyakan dari mereka bekerja sebagai buruh kasar di pusat-pusat produksi Lesung Orembai maupun sebagai petani dan pedagang kecil biasa.
Wilayah kampung Londata membentang dari sebelah utara dibatasi oleh pantai Sambutara, sebelah selatannya adalah pegunungan Sembuyan yang berbatasan dengan wilayah negeri klan Anggana, sebelah timurnya dibatasi oleh sungai lebar yang bernama sungai Kinara yang merupakan perbatasan dengan wilayah klan Gendhing dan klan Lawe. Untuk sebelah baratnya, klan Lontara berbatasan dengan negeri terbesar kedua yang ada di Loka Pralaya, yaitu klan Sirani.
Malam itu, di saat yang sama dengan kepergian Banu dan Bani menuju lereng Sembuyan, di ruang tengah Gubuk Manah, nampak Nyi Lirah, Wulan dan Gadis tanpa nama - yang sudah mempunyai nama sementara Prita, tampak sedang terlibat dalam pembicaraan serius. Seperti biasa, Nyi Lirah tersenyum ramah kepada Prita.
“Prita, “ tanya Nyi Lirah membuka pembicaraan mereka.
Gadis tanpa nama itu tersipu malu mendengar Nyi Lirah memanggil dirinya dengan nama baru itu.
“Iya Nyi Lirah.” Jawab Prita singkat.
“Aku rasa, nama yang diberikan Wulan kepadamu itu sangat cocok.” Tatap Nyi Lirah seperti ingin mengatahui reaksi lebih lanjut dari gadis itu. Prita hanya mengangguk malu, dirinya tetap diam mendengarkan apa yang akan dikatakan oleh Nyi Lirah, sementara Wulan hanya tersenyum melirik ke arah Prita.
“Iya, Nyi, nama itu bagus. Walaupun aku merasa agak risih saat memakai nama itu, karena aku masih belum bisa mengingat siapa diriku sebenarnya.” Jawab Prita sambil menundukkan kepalanya.
“Tidak apa-apa Prita, “ jawab Nyi Lirah. “Nanti kamu juga akan terbiasa, dan aku harap kamu tidak terlalu memikirkan masalah itu.” kata Nyi Lirah.
“Iya Nyi.” Jawab Prita singkat.
“Nyi Lirah,..” Tanya Wulan kepada Nyi Lirah.
“Iya Wulan, ada apa?” jawab Nyi Lirah.
“Selama beberapa hari ini, aku lihat sudah banyak perkembangan yang ditunjukkan oleh Prita,” kata Wulan sambil melirikkan matanya kepada Prita.
“Oh iya?” tanya Nyi Lirah penuh rasa ingin tahu.
“Iya, Nyi,” lanjut Wulan, “setidaknya dirinya sudah mulai bisa menerima keadaannya, walaupun hingga saat ini kita belum bisa membantunya menemukan kembai ingatannya,” jawab Wulan.
Mendengar jawaban Wulan, Nyi Lirah hanya tersenyum menatap mata Prita seperti meminta pengertian dan kesabarannya.
“Waktu yang akan membuka semuanya untukmu Prita, bersabarlah dan saat itu pasti akan datang.” Kata Nyi Lirah meyakinkan Prita.
“Iya Nyi, saya akan selalu mendengarkan apa saja yang dikatakan Nyi Lirah.” Jawab Prita.
Nyi Lirah nampak lega mendengar jawaban Prita, kemudian ia melanjutkan ucapannya.
“Ada beberapa hal yang ingin aku sampaikan kepada kalian berdua.” Kata Nyi Lirah
“Iya Nyi,” jawab Wulan. Sementara Prita hanya menganggukkan kepalanya.
“Terutama untukmu Prita.” Kata Nyi Lirah menatap Prita
“Baik, Nyi” jawab Prita singkat.
“Tadi siang, aku sudah bertemu dengan Tana’ Bulan, “ Nyi Lirah berhenti sejenak untuk mengambil nafas, Prita nampak terkejut saar mendengar ucapan Nyi Lirah, sedangkan Wulan sepertinya sudah biasa mendengar ucapan itu dari bibir Nyi Lirah.
“Tana, Bulan?” tanya Prita penasaran.
“Iya, dan aku akan memberitahumu tentang Tana, Bulan.” Jawab Nyi Lirah melihat Prita belum mengetahui perihal Tana, Bulan.
Prita besiap mendengarkan penjelasan mengenai Tana’ Bulan. Kemudian Nyi Lirah menceritakan bahwa Tana’ Bulan adalah Roh Suci pelindung klan Lontara, sementara Nyi Lirah tengah menceritakan semua hal yang berkaitan dengan Tana, Bulan, Prita nampak begitu bersungguh-sungguh mendengar cerita itu.
“Wulan?” tanya Nyi Lirah kepada Wulan, setelah selesai menceritakan tentang Tana, Bulan kepada Prita.
“Iya Nyi.” Jawab Wulan.
“Apakah kamu masih menyimpan batu-batu Zato yang dahulu pernah aku berikan padamu?” tanya Nyi Lirah.
“Masih Nyi, masih saya simpan dengan baik.” Jawab Wulan.
“Syukurlah kalau begitu,” kata Nyi Lirah sejenak, “aku ingin kau memperlihatkan batu-batu Zato itu kepada Prita.” Ujar Nyi Lirah selanjutnya.
“Baik Nyi.” Jawab Wulan singkat.
Nampaknya Prita belum tahu arah pembicaraan Nyi Lirah saat menyinggung batu Zato.
“Iya, aku ingin kau melatih Prita untuk mengendalikan energinya,” kata Nyi Lirah, “aku sudah merasakan bahwa getaran energi yang dipancarkan Prita saat memegang bunga Sambutara itu begitu luar biasa.” Kata Nyi Lirah, sepertinya ia masih ingin melanjutkan ucapannya.
“Dan kamu juga harus tahu, Prita.” Kata Nyi Lirah mengalihkan pandangannya ke arah Prita.
“Baik, Nyi Lirah.” Jawab Prita singkat.
“Bahwa energi yanga ada di dalam dirimu itu ada kaitannya dengan Tana, Bulan.” Kata Nyi Lirah.
Prita tertegun mendengar nama Tana, Bulan dikaitkan dengan dirinya.
“Maksud Nyi Lirah?” tanya Prita Kemudian.
“Iya, getaran energi yang kau pancarkan saat memegang bunga Sambutara itu adalah pencaran energi Tana, Bulan, aku dapat merasakannya.” Jawab Nyi Lirah. Prita masih tertegun mendengar penjelasan Nyi Lirah dan ia masih menunggu kelanjutan dari ucapan Nyi Lirah itu.
“Saat kau memegang bunga Sambutara itu, secara tidak sadar engkau telah memancing reaksi energi yang tersembunyi di dalam dirimu, “ kata Nyi Lirah sejenak, “dan seperti yang telah kau saksikan sendiri, Wulan.” Kata Nyi Lirah sambil mengalihkan pandanannya kepada Wulan.
“Energi itu mampu membuat bunga Sambutara kembali segar seperti masih di atas tangkainya, dan aroma yang kau cium itu adalah aroma khas energi Tana, Bulan.” Kata Nyi Lirah kepada Wulan dan Prita.
Prita dan Wulan hanya mengangguk dan menunggu penjelasan lebih lanjut dari Nyi Lirah.
“Dan sesuatu yang lebih penting dari itu adalah bahwa, energi Tana’ Bulan adalah energi mentah yang sangat besar kekuatannya, “ Nyi Lirah menghela nafas sebentar, “Jika sang pemillik tidak mampu mengendalikannya, maka akibatnya akan sangat berbahaya.” Kata Nyi Lirah.
“Berbahaya?” tanya Prita seperti merasa khawatir terhadap ucapan Nyi Lirah.
“Iya, Prita,” jawab Nyi Lirah, “Jika kau tidak mampu mengendalikannya, maka ia dapat berubah menjadi energi yang merusak, bahkan menghancurkan.” Jawab Nyi Lirah. Prita terdiam mendengar penjelasan itu.
“Oleh karena itulah aku meminta kepada Wulan untuk melatihmu mengendalikan energi itu.” Ujar Nyi Lirah. Prita seperti sadar dan paham akan maksud Nyi Lirah.
“Terimakasih, Nyi Lirah, saya tidak tahu harus berkata apa, namun kebaikan Nyi Lirah ini akan selalu saya ingat, walapun saya sendiri tak mampu membalas semua kebaikan Nyi Lirah kepada saya.” Jawab Prita
“Jangan terlalu merisaukan hal itu Prita, itu adalah tugasku sebagai tetua Klan ini, dan juga itu merupakan kewajibanku” balas Nyi Lirah penuh kebijaksanaan.
“Baiklah kalau begitu, Wulan!” panggil Nyi Lirah kepada Wulan, “tolong besok tunjukkan batu-batu zato itu kepada Prita, ya?” pinta Nyi Lirah kepada Wulan.
“Baik Nyi.” Jawab Wulan singkat.