NovelToon NovelToon
Kejamnya Mertuaku

Kejamnya Mertuaku

Status: sedang berlangsung
Genre:Ibu Mertua Kejam
Popularitas:5.8k
Nilai: 5
Nama Author: Mira j

Anjani, gadis manis dari kampung, menikah dengan Adrian karena cinta. Mereka tampak serasi, tetapi setelah menikah, Anjani sadar bahwa cinta saja tidak cukup. Adrian terlalu penurut pada ibunya, Bu Rina, dan adiknya, Dita. Anjani diperlakukan seperti pembantu di rumah sendiri. Semua pekerjaan rumah ia kerjakan, tanpa bantuan, tanpa penghargaan.

Hari-harinya penuh tekanan. Namun Anjani bertahan karena cintanya pada Adrian—sampai sebuah kecelakaan merenggut janin yang dikandungnya. Dalam keadaan hancur, Anjani memilih pergi. Ia kabur, meninggalkan rumah yang tak lagi bisa disebut "rumah".

Di sinilah cerita sesungguhnya dimulai. Identitas asli Anjani mulai terungkap. Ternyata, ia bukan gadis kampung biasa. Ada darah bangsawan dan warisan besar yang tersembunyi di balik kesederhanaannya. Kini, Anjani kembali—bukan sebagai istri yang tertindas, tapi sebagai wanita kuat yang akan menampar balik mertua dan iparnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 6

Begitu masuk ke dalam mobil, ia segera mengeluarkan ponselnya dan menelepon orang kepercayaannya. "Aku ingin kau menyelidiki kecelakaan yang dialami Papi. Cari tahu apakah ini benar-benar kecelakaan biasa atau ada sesuatu di baliknya."

Di seberang telepon, suara pria itu terdengar tegas. "Baik, Tuan. Saya akan segera mengurusnya."

William menutup telepon dan menyandarkan kepalanya ke jok mobil, matanya menatap kosong ke luar jendela. Ia tidak pernah percaya pada kebetulan.

Sesampainya di kantor, langkahnya terhenti sejenak di lobi ketika melihat sosok yang dikenalnya dengan baik—Adam, asistennya, tengah berdiri menunggunya dengan ekspresi serius.

William melangkah mendekat. "Ada apa, Adam? Kenapa menungguku di sini?"

Adam menatapnya dengan tatapan tajam, lalu berkata pelan tetapi tegas, "Tuan, ada sesuatu yang harus Anda lihat. Ini tentang kecelakaan Pak Robert."

William menatap Adam dengan tajam. "Apa maksudmu, Adam? Apa yang kau temukan?"

Adam melirik sekeliling, memastikan tidak ada orang lain yang bisa mendengar. "Lebih baik kita bicara di ruang kerja Anda, Tuan."

Tanpa banyak bicara, William melangkah cepat menuju kantornya, diikuti Adam. Begitu sampai, Adam menutup pintu rapat-rapat dan menyerahkan sebuah amplop coklat.

"Ini laporan awal dari penyelidikan saya, Tuan. Ada sesuatu yang tidak beres dengan kecelakaan Pak Robert," katanya serius.

William membuka amplop itu dan mengeluarkan beberapa dokumen serta foto-foto lokasi kejadian. Matanya menyipit saat membaca hasil analisis dari timnya.

"Rem mobil Pak Robert tidak blong secara alami… ada indikasi sabotase," lanjut Adam.

Rahang William mengeras. "Jadi, seseorang sengaja mencelakakan Papi?"

Adam mengangguk. "Dan lebih mencurigakan lagi, seseorang membayar mekanik yang terakhir kali mengecek mobil Pak Robert. Saya masih menelusuri siapa dalangnya."

William mengepalkan tangan. "Cari tahu siapa yang bertanggung jawab atas ini. Aku ingin semua informasinya secepat mungkin."

"Baik, Tuan. Saya akan segera mengurusnya," jawab Adam tegas sebelum keluar dari ruangan.

William menyandarkan punggungnya ke kursi, pikirannya berputar cepat. Siapa yang ingin mencelakakan Papi?

Ia tahu dunia bisnis ayahnya penuh persaingan, tapi apakah ini hanya soal bisnis, atau ada sesuatu yang lebih besar di baliknya?

Setelah puas belanja, Bu Rina dan Dita akhirnya berpamitan dengan Anggun. Mereka pulang dengan membawa beberapa kantong belanjaan, wajah mereka tampak puas setelah menghabiskan waktu bersama Anggun yang begitu dermawan.

Sesampainya di rumah, Bu Rina melepas sepatunya dengan lelah dan duduk di sofa. "Aduh, capek juga. Tapi lumayanlah, banyak barang yang kita dapat."

Dita ikut duduk di sebelahnya sambil membuka ponselnya. "Iya, untung Anggun baik. Nggak rugi kita dekat-dekat dengannya."

Namun, ketika Bu Rina mengedarkan pandangannya ke sekitar rumah, wajahnya langsung berubah kesal. Ruangan berantakan, dapur kotor, dan lantai penuh dengan sisa makanan yang entah sejak kapan ada di sana.

"Dita, bereskan rumah ini. Lihat, berantakan sekali!" ujar Bu Rina sambil menunjuk ke arah meja dan lantai yang penuh barang berserakan.

Dita mendengus kesal. "Kenapa harus aku? Kan ada Anjani, harusnya dia yang bersihin!"

Bu Rina memutar matanya. "Anjani lagi di rumah sakit! Masa iya kita harus nunggu dia pulang dulu baru rumah ini bersih?"

Dita mendengus lebih keras, melempar ponselnya ke sofa. "Pokoknya aku nggak mau! Aku capek, tadi udah jalan seharian!"

Tanpa menunggu jawaban ibunya, Dita langsung berdiri dan berjalan cepat menuju kamarnya, membanting pintu dengan keras.

Bu Rina mendengus kesal. "Dasar anak manja! Susah sekali disuruh beres-beres."

Ia menghela napas panjang, mengumpat pelan sambil menatap rumahnya yang masih berantakan. "Seandainya saja Anjani ada di sini… paling tidak ada yang bisa disuruh-suruh."

Bu Rina masih berdiri di tengah ruang tamu, menatap rumah yang berantakan dengan ekspresi kesal. Ia mencoba memanggil Dita lagi, tetapi putrinya tidak juga keluar dari kamar.

"Anak ini benar-benar! Mau enaknya saja!" gerutunya.

Dengan terpaksa, Bu Rina akhirnya mulai membereskan rumah sendiri. Ia mengelap meja, menyapu lantai, dan merapikan barang-barang yang berserakan sambil mengomel sepanjang waktu.

Saat ia sedang membuang sampah ke dapur, tiba-tiba bel rumah berbunyi. Dengan napas tersengal karena kelelahan, Bu Rina berjalan menuju pintu sambil menggerutu, "Siapa lagi yang datang malam-malam begini?"

Begitu pintu dibuka, ia sedikit terkejut. "Bu Mira?"

Di depannya berdiri Bu Mira, salah satu teman arisannya, dengan senyum lebar di wajahnya. "Bu Rina! Wah, kebetulan sekali saya lewat sini, jadi mampir sebentar. Nggak ganggu kan?"

Bu Rina buru-buru merapikan rambutnya yang berantakan dan tersenyum canggung. "Oh, nggak, nggak sama sekali! Silahkan masuk!"

Bu Mira melangkah masuk, matanya langsung menyapu ruangan yang tampak masih sedikit berantakan. "Wah, lagi sibuk beres-beres, ya?" tanyanya dengan nada menggoda.

Bu Rina tertawa kecil, mencoba menutupi rasa malunya. "Iya, biasalah… pembantu lagi nggak ada."

Bu Mira mengangguk mengerti. Namun, setelah duduk, ia langsung menatap Bu Rina dengan penuh arti. "Oh iya, Bu… saya dengar kabar kurang enak tentang keluarga Bu Rina. Katanya menantu Ibu mengalami kecelakaan? Benar nggak?"

Bu Rina tertegun sejenak. Ia tidak menyangka kabar itu sudah menyebar begitu cepat. Dengan cepat, ia menyusun kata-kata di kepalanya sebelum menjawab. "Ah, iya… tapi hanya kecelakaan kecil. Anjani sudah membaik."

Bu Mira menyipitkan mata, seolah tidak begitu percaya. "Tapi saya dengar ada yang bilang kalau dia sampai keguguran?"

Bu Rina langsung merasa hatinya mencelos. Dari mana wanita ini tahu sejauh itu?

Ia harus berhati-hati menjawab, atau gosip ini bisa semakin melebar ke mana-mana.

Bu Rina tersenyum tipis, menutupi kegelisahannya. "Mungkin belum rezekinya, Bu Mira. Ya, namanya juga takdir."

Bu Mira mengangguk seolah memahami, lalu mendekat sedikit. "Sebenarnya, kedatangan saya kesini bukan cuma mau menjenguk, Bu. Saya ingin menawarkan sesuatu yang bisa mengubah hidup kita jadi lebih makmur."

Bu Rina mengangkat alis. "Maksudnya?"

"Ini soal investasi, Bu Rina," ujar Bu Mira bersemangat. "Saya baru saja bergabung dalam investasi di bursa saham. Keuntungannya besar, lho! Dalam beberapa bulan saja, saya sudah dapat puluhan juta. Kalau Ibu mau, bisa gabung sama saya."

Mata Bu Rina langsung berbinar mendengar kata "puluhan juta". Ia memang selalu tertarik dengan hal-hal yang berbau keuntungan cepat.

"Investasi saham? Bukannya itu ribet dan butuh modal besar?" tanyanya, mulai tertarik.

Bu Mira tertawa kecil. "Ah, sekarang sudah banyak jalan pintasnya, Bu. Nggak perlu modal besar. Bahkan dengan lima juta saja, Ibu bisa mulai dan lihat sendiri hasilnya."

Bu Rina mulai berpikir. Lima juta memang jumlah yang lumayan, tapi kalau benar bisa berlipat ganda dalam waktu singkat, kenapa tidak?

"Gimana? Mau coba?" desak Bu Mira sambil tersenyum penuh keyakinan.

Bu Rina menimbang-nimbang. "Kalau memang bisa untung besar… sepertinya menarik."

Bu Mira langsung menepuk tangan. "Bagus! Nanti saya kenalkan dengan orang yang mengelolanya. Pokoknya dijamin aman dan menguntungkan!"

Dalam hati, Bu Rina sudah mulai membayangkan hidup yang lebih mewah tanpa harus terus bergantung pada Anggun atau menunggu uang dari Adrian. Ia hanya perlu memastikan modalnya cukup untuk bergabung.

Bu Rina akhirnya mengangguk mantap. "Baiklah, Bu Mira. Saya ikut! Tapi uangnya saya transfer beberapa hari lagi. Harus atur dulu keuangan."

Bu Mira tersenyum puas. "Wah, keputusan yang tepat, Bu Rina! Pokoknya Ibu nggak bakal nyesel. Ini peluang emas!"

Bu Rina ikut tersenyum, meski dalam hati masih ada sedikit keraguan. Namun, iming-iming keuntungan besar membuatnya yakin bahwa ini adalah kesempatan yang tidak boleh dilewatkan.

"Kalau begitu, nanti saya hubungi, ya," lanjut Bu Rina.

"Siap, Bu! Saya tunggu kabarnya. Jangan lama-lama, ya, biar cepat dapat hasilnya," kata Bu Mira dengan semangat.

Setelah berbasa-basi sebentar lagi, Bu Mira akhirnya pamit. Bu Rina menutup pintu dengan perasaan campur aduk. Ia menatap ruang tamunya yang masih agak berantakan, tapi pikirannya kini sibuk dengan rencana investasi ini.

"Kalau ini berhasil, aku nggak perlu terus berharap dari Adrian atau Anggun," gumamnya sendiri.

Ia mulai membayangkan kehidupannya yang lebih makmur. Namun, tanpa disadarinya, ia baru saja melangkah ke dalam sesuatu yang bisa jadi lebih besar dari yang ia pikirkan.

Bu Rina duduk di sofa dengan wajah termenung. "Uang dari mana?" gumamnya.

Lima juta memang bukan jumlah kecil baginya saat ini. Selama ini, ia terbiasa mendapatkan uang dari Adrian atau memanfaatkan Anggun untuk keperluan pribadinya. Tapi sekarang, ia harus memutar otak untuk mendapatkan modal investasi.

"Masa minta Adrian? Pasti dia bakal tanya-tanya. Kalau Anggun... ah, belum tentu dia mau kasih segitu banyak tanpa alasan jelas," pikirnya.

Ia mulai mencari ide. Menjual perhiasan? Tidak mungkin, ia terlalu sayang dengan koleksinya. Meminjam ke tetangga? Itu akan merusak gengsi.

Tiba-tiba, sebuah ide muncul di kepalanya.

"Ya, ini jalan terbaik," batinnya.

Anjani duduk di bangku taman rumah sakit, menikmati hangatnya sinar matahari pagi. Angin sepoi-sepoi menyapu wajahnya yang masih terlihat pucat. Lima hari dirawat membuat tubuhnya lemah, tapi setidaknya ia merasa sedikit lebih baik.

Ia menghela nafas pelan. "Sudah lima hari... tapi Bu Rina bahkan tidak pernah datang menjenguk lagi," batinnya pahit.

Adrian pun lebih banyak sibuk di kantor, sementara ibu dan bapaknya baru saja pulang ke kampung karena merasa sudah terlalu lama meninggalkan pekerjaan mereka. Anjani sendiri yang meyakinkan mereka bahwa keadaannya sudah jauh lebih baik dan sebentar lagi ia bisa pulang.

Ia menggenggam kedua tangannya erat, mencoba menahan perasaan yang berkecamuk. "Apa aku benar-benar sendirian dalam pernikahan ini?"

Tiba-tiba, langkah kaki mendekat. Anjani menoleh dan terkejut melihat seseorang berdiri di hadapannya. "Kak Anggun?"

Anggun tersenyum kecil, mengenakan pakaian modis seperti biasa. Ia membawa satu kantong plastik berisi buah-buahan. "Hai, Anjani. Gimana kabarmu?" tanyanya, duduk di sebelah Anjani.

Anjani mengernyit curiga. Sejak kapan Anggun peduli padanya? Apa maksud kedatangannya kali ini?

Anjani menatap Anggun dengan bingung. Ia tidak begitu mengenalnya. Yang ia tahu, Anggun hanyalah teman Adrian, itu pun karena pernah melihat mereka berbicara sesekali. Adrian sendiri tak pernah bercerita banyak tentang wanita ini.

"Kak Anggun, ya?" tanya Anjani pelan.

Anggun tersenyum, lalu menyodorkan kantong plastik berisi buah-buahan. "Iya, aku dengar kabar kamu dari Adrian. Makanya, aku datang menjenguk."

Anjani menerima kantong itu dengan ragu. "Makasih, Kak... tapi maaf, Adrian nggak pernah cerita tentangmu sebelumnya."

Anggun tertawa kecil. "Ah, ya wajar. Mungkin dia nggak mau kamu salah paham. Aku ini teman lamanya. Kami sudah kenal sebelum dia menikah denganmu."

Anjani mengangguk pelan, tapi hatinya mulai merasa tak nyaman. "Kenapa tiba-tiba dia datang? Apa yang sebenarnya dia inginkan?" pikirnya.

Anggun memperhatikan wajah Anjani dengan tatapan lembut, tapi ada sesuatu di balik matanya yang sulit ditebak. "Aku kasihan sama kamu, Jani. Aku dengar dari Adrian, rumah tangga kalian sedang tidak baik-baik saja."

Anjani langsung menegang. "Adrian cerita apa ke dia?"

Ia mencoba tersenyum tenang, meski hatinya mulai terusik. "Aku baik-baik saja, Kak. Kalau ada masalah, itu urusan rumah tangga kami."

Anggun tersenyum tipis, lalu menepuk tangan Anjani dengan lembut. "Aku cuma ingin bilang, kalau kamu butuh teman curhat, aku ada."

Anjani merasa semakin aneh. Niat baik atau sekadar ingin tahu lebih dalam tentang hubungannya dengan Adrian?

"Terima kasih, Kak. Tapi kami masih baik-baik saja sekarang," jawab Anjani dengan senyum yang dipaksakan.

Ia tidak ingin orang lain tahu tentang masalah rumah tangganya, terutama seseorang yang tidak begitu ia kenal. Meski dalam hati, ia bertanya-tanya apa tujuan Anggun sebenarnya.

Tak berselang lama, suara langkah roda kursi terdengar mendekat. Anjani menoleh dan melihat Pak Robert duduk di kursi roda, didorong oleh istrinya, Rose. Mereka berdua tersenyum lembut ke arahnya.

"Anjani, ternyata kamu di sini!" kata Rose ramah. "Kami tadi ke kamarmu, tapi kosong. Untung saja kami melihatmu di taman."

Anjani tersenyum tulus kali ini. Kehangatan pasangan itu terasa berbeda, tidak ada kepalsuan atau niat terselubung.

"Iya, Bu. Saya cuma ingin menghirup udara segar sebentar," jawabnya.

Pak Robert menatapnya penuh perhatian. "Bagaimana keadaanmu sekarang, Nak? Sudah merasa lebih baik?"

Anjani mengangguk. "Sudah jauh lebih baik, Pak. Terima kasih sudah menjenguk saya."

Rose tersenyum, lalu melirik Anggun sekilas. "Oh, kamu ada tamu, ya? Maaf kalau kami mengganggu."

Anggun yang sejak tadi diam, akhirnya berdiri. "Nggak apa-apa, Bu. Saya memang mau pamit juga. Anjani, semoga cepat pulih, ya," katanya sebelum pergi meninggalkan mereka.

Setelah Anggun pergi, Pak Robert dan Rose bergabung duduk di dekat Anjani. Suasana berubah lebih nyaman. Tanpa Anjani sadari, pertemuan ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar dalam hidupnya.

Pak Robert menatap Anjani dengan penuh penyesalan. "Nak Anjani, sekali lagi saya ingin meminta maaf. Saya tahu, kesalahan saya tidak bisa ditebus hanya dengan kata maaf. Tapi saya benar-benar menyesal atas kejadian itu."

Rose mengangguk setuju, matanya terlihat berkaca-kaca. "Kami merasa sangat bersalah. Kalau saja kejadian itu tidak terjadi..." suaranya melemah, merasa tak pantas melanjutkan kalimatnya.

Anjani tersenyum tipis, mencoba menenangkan mereka. "Saya sudah memaafkan, Pak, Bu. Yang penting sekarang, semuanya sudah berlalu."

Pak Robert menghela nafas lega, lalu bertanya, "Setelah pulang dari rumah sakit, kamu akan pulang bersama keluargamu, kan?"

Anjani terdiam sesaat, lalu menggeleng pelan. "Tidak, Pak...

Pak Robert dan Rose saling berpandangan, jelas mereka bingung dengan jawaban Anjani. "Lalu... kamu akan pulang ke mana, Nak?" tanya Rose hati-hati.

Anjani menunduk, menggenggam jemarinya sendiri. "Saya belum tahu... Tapi saya tidak mau kembali lagi ke sana."

Pak Robert mengernyit. "Maksudmu, ke rumah suamimu?"

Anjani mengangguk pelan. Ada kesedihan di matanya, tapi juga keteguhan hati. Ia tak ingin kembali ke tempat di mana ia selalu diperlakukan tidak adil. Namun, ia juga masih bingung harus ke mana setelah ini.

Rose meraih tangan Anjani dengan lembut. "Kalau begitu... kamu mau tinggal di mana, Nak? Kalau kamu kamu mau kamu bisa tinggal bersama kami”.

Anjani menggigit bibirnya, pikirannya masih kalut. "Saya belum tahu, Bu..." suaranya terdengar lirih.

Pak Robert dan Rose semakin khawatir. Jelas terlihat bahwa Anjani sedang menghadapi dilema besar.

1
Anto D Cotto
menarik
Anto D Cotto
lanjut crazy up Thor
Arsyi Aisyah
Ya Silahkan ambillah semua Krn masa lalu Anjani tdk ada hal yang membahagiakan kecuali penderitaan jdi ambil semua'x
Arsyi Aisyah
katanya akan pergi klu udh keguguran ini mlh apa BKIN jengkel tdk ada berubahnya
Linda Semisemi
greget ihhh.... kok diem aja ya diremehkan oleh suami dan keluarganya....
hrs berani lawan lahhh
Heni Setianingsih
Luar biasa
Petir Luhur
seru banget
Petir Luhur
lanjut.. seru
Petir Luhur
lanjut kan
Petir Luhur
lanjut thor
Petir Luhur
bagus bikin geregetan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!